Demi melanjutkan pendidikannya, Anna memilih menjadi magang di sebuah perusahaan besar yang akhirnya mempertemukannya dengan Liam, Presiden Direktur perusahaan tempatnya magang. Tak ada cinta, bahkan Liam tidak tertarik dengan gadis biasa ini. Namun, suatu kejadian membuat jalan takdir mereka saling terikat. Apakah yang terjadi ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Black moonlight, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hari Kedua
Alarm ponsel Anna berdering sebelum matahari terbit. Ia membuka mata dengan berat seperti ada beban batu di kelopaknya. Seluruh tubuhnya menjerit protes—bahu pegal, pinggang nyut-nyutan, kaki serasa habis berlari maraton. Tangannya bahkan sedikit gemetar saat mencoba mematikan alarm.
Ia mengusap wajah dan mendesah panjang.
Belum pernah seumur hidupnya ia bekerja sekeras kemarin. Bahkan ketika menjadi staf administrasi part-time di kampus dulu, ketika harus mengatur jadwal sidang mahasiswa atau memasukkan data ribuan formulir sekalipun—semuanya tidak sebanding dengan tekanan hari pertama sebagai sekretaris pribadi Liam.
Tapi tidak ada pilihan. Hari kedua harus tetap dilalui.
Dengan tubuh remuk redam, ia memaksa diri bangun, menarik napas panjang, dan menguatkan hati. “Tahan, Anna. Jangan sampai tumbang,” bisiknya pada diri sendiri.
Ia mandi dengan air yang lebih dingin dari biasanya, berharap sensasinya cukup untuk mengusir rasa ingin menyerah. Setelah merias wajah seadanya, ia berangkat meski langkahnya sedikit goyah.
⸻
Lantai eksekutif sudah terang ketika Anna tiba. Ia berharap Liam belum datang, tapi tentu saja harapannya terlalu muluk. Lampu ruangannya sudah menyala, dan pintu sedikit terbuka. Liam sudah mulai bekerja.
Dengan sisa tenaga, ia masuk dan mengetuk pintu.
“Selamat pagi, Pak.”
Liam tidak menjawab. Hanya melirik sekilas, lalu kembali ke layar laptop.
“Rangkuman vendor kemarin,” kata Liam tanpa angkat wajah.
Anna mengangguk. “Sudah saya letakkan di meja Bapak semalam.”
Liam melemparkan map biru ke atas meja kecil di dekat Anna. Map itu terjatuh dengan suara keras.
“Saya sudah lihat.”
Nada itu dingin, rapih, menusuk.
“Kurang.”
Anna menelan ludah, diam beberapa detik. “Kurang yang bagian mana, Pak? Agar saya bisa revisi secara tepat.”
“Kurang semuanya.”
Kalimat itu seperti palu memukul dadanya.
“Saya ingin kamu ulang dari awal,” lanjut Liam. “Pastikan ini selesai sebelum jam dua.”
Jam dua.
Padahal dokumennya lebih dari 200 halaman.
Anna mengangguk pelan. “Baik, Pak. Saya kerjakan.”
Belum sempat ia berbalik, Liam menambahkan, “Dan siapkan dua versi presentasi untuk rapat sore ini. Satu untuk internal, satu untuk partner eksternal. Gaya penyampaiannya harus berbeda.”
Anna diam sejenak, memproses banyaknya tugas.
“Kamu juga bertanggung jawab untuk pengecekan ulang jadwal saya hari ini. Ada tiga pertemuan yang waktunya bentrok. Pastikan semua berjalan lancar.”
Hari baru saja dimulai.
Dan Liam sudah menenggelamkannya dengan beban berlipat dari kemarin.
⸻
Anna duduk di meja kecil itu dan mulai bekerja. Jari-jarinya bergerak cepat di keyboard, mencoba mengikuti arus kesibukan yang tak pernah berhenti. Sesekali ia merasakan nyeri menusuk di bahu, tapi ia menepisnya. Tidak ada waktu untuk mengeluh.
Gema muncul sekitar pukul setengah delapan, membawa dua gelas kopi.
“Kamu… kelihatan kayak habis diperas hidup-hidup,” katanya sambil meletakkan gelas di meja.
Anna mencoba tersenyum, walaupun wajahnya tidak bisa menutupi letih yang menumpuk. “Saya baik, Pak. Sedikit lelah saja.”
“Bukan sedikit itu namanya. Kamu tidur berapa jam?”
“Dua jam… mungkin tiga.”
Gema menghela napas, memperhatikan Liam dari kaca pintu. “Dia makin galak hari ini.”
“Ada kemungkinan saya yang tidak cukup cepat, Pak.”
“Bukan kamu. Dia memang sengaja,” gumam Gema. “Saya bisa lihat.”
Anna tidak menanggapi. Ia kembali mengetik. Ia tidak mau fokus pada apa pun selain menyelesaikan tugas sebanyak mungkin.
⸻
Pukul sepuluh pagi, Liam memanggilnya.
Ketika Anna masuk, ia melihat meja Liam penuh dengan dokumen berwarna-warni seperti pelangi yang kacau. Liam menatap layar, ekspresi wajahnya tidak bisa dibaca, tapi nada suaranya sudah cukup menggambarkan mood-nya.
“Jelaskan bagian ini,” katanya sambil menunjuk grafik yang jelas bukan bagian dari dokumen yang ia kerjakan.
Anna melihatnya bingung. “Maaf, Pak. Itu bukan hasil kerja saya.”
“Seorang sekretaris pribadi harus tahu apa pun yang saya kerjakan.”
“Baik, Pak. Saya pelajari sekarang.”
“Sekarang?” Liam menatapnya tajam. “Saya butuh kamu menguasai konteks sebelum saya minta. Itu dasar bekerja bersama saya.”
Anna mengangguk cepat, menyembunyikan rasa ingin menyerah yang mulai naik ke tenggorokan.
Ketika ia hendak keluar, Liam menambahkan satu tugas lagi.
Satu tugas yang membuat lututnya hampir lemas.
“Cari seluruh data rapat internasional dua bulan lalu. Semua notulensi. Saya ingin kamu satukan dalam satu laporan lengkap. Hari ini.”
Hari ini.
Seolah jam yang tersedia bisa diperpanjang hanya dengan kemauan.
⸻
Siang hari, Anna belum sempat makan. Bahkan belum sempat minum kopi yang tadi diberikan Gema. Ia terus berpindah dari satu file ke file lain, dari spreadsheet ke email, dari laporan vendor ke presentasi.
Lantai eksekutif terasa sunyi, tapi otaknya bising. Ia merasa seperti sedang dikejar dari semua arah. Waktu. Deadline. Liam. Ekspektasi. Ketidakpastian. Ketakutan akan gagal.
Terkadang ia memejamkan mata beberapa detik, hanya untuk menyadari air mata hampir keluar karena tubuhnya terlalu lelah. Namun ia paksa hilang. Ia tidak boleh menangis. Tidak di kantor. Tidak di lantai ini.
Pukul satu lewat, ia memanggil Gema.
“Pak, maaf mengganggu… Saya butuh data notulensi rapat internasional. HR bilang Bapak yang mengarsipnya.”
Gema mengerjap. “Sekarang? Itu data yang banyak sekali, An. Kamu butuh apa?”
“Semuanya… dalam satu laporan.”
Gema langsung tahu: itu perintah Liam.
“Ya ampun…” Ia mengusap wajah. “Kasihan banget kamu.”
Anna tersenyum lirih. “Tidak apa. Saya usahakan.”
⸻
Sore hari, wajah Anna semakin pucat. Ketika presentasi selesai dibuat, Liam meninjau sebentar—hanya beberapa detik—kemudian berkata:
“Ini terlalu biasa.”
“Baik, Pak. Saya revisi.”
“Kamu hanya mendengar. Kamu tidak memahami. Saya mau sesuatu yang beda. Sesuatu yang… profesional.”
Anna menelan kepedihan kecil di dada. “Saya akan coba lagi, Pak.”
Ia kembali duduk, menatap layar kosong, merasakan tubuhnya semakin berat. Tapi tangannya tetap bergerak.
⸻
Waktu berlarut sampai kantor mulai sepi. Jam dinding menunjukkan pukul sembilan malam. Anna masih bekerja. Wajahnya lelah, rambutnya berantakan, tapi fokusnya tidak pernah benar-benar hilang.
Gema datang untuk terakhir kalinya sebelum pulang. “Kamu masih disuruh revisi?”
Anna mengangguk. “Masih banyak yang kurang.”
“Ini sudah gila… kamu harus istirahat.”
“Tidak bisa.”
“Liam sengaja ingin membuatmu menyerah.”
Anna tersenyum tipis—pucat, tapi tegar. “Mungkin. Tapi saya tidak akan menyerah. Bukan di hari kedua.”
⸻
Pukul sebelas malam, ia masuk ke ruangan Liam untuk menyerahkan revisi terakhir. Liam melihatnya sebentar, lalu mengangguk.
“Hm.”
Hanya itu.
Tidak ada pujian. Tidak ada ucapan terima kasih. Tidak ada pengakuan atas kerja kerasnya.
“Hari ini cukup,” katanya kemudian.
Anna menunduk pelan. “Baik, Pak. Selamat malam.”
Ketika ia berjalan menuju lift, langkahnya pelan, hampir goyah. Punggungnya sakit. Dadanya berat. Tapi di balik semua itu, ada satu hal yang tetap bertahan dalam dirinya:
Ia masih di sini.
Ia masih berdiri.
Dan ia belum kalah.
Hari kedua begitu berat, tetapi Anna tahu satu hal:
Besok ia akan datang lagi.
Dan lagi.
Dan lagi.
Sampai Liam tidak bisa mengabaikannya lagi.