NovelToon NovelToon
Pembalasan Dendam Sangkara

Pembalasan Dendam Sangkara

Status: sedang berlangsung
Genre:Mafia / Lari Saat Hamil / Anak Yatim Piatu / Identitas Tersembunyi
Popularitas:3.6k
Nilai: 5
Nama Author: apriana inut

Sangkara, seorang pemuda yang menjadi TKI di sebuah negara. Harus menelan pil pahit ketika pulang kembali ke tanah air. Semua anggota keluarganya telah tiada. Di mulai dari abah, emak dan adek perempuannya, semuanya meninggal dengan sebab yang sampai saat ini belum Sangkara ketahu.

Sakit, sedih, sudah jelas itu yang dirasakan oleh Sangkara. Dia selalu menyalahkan dirinya yang tidak pulang tepat waktu. Malah pergi ke negara lain, hanya untuk mengupgrade diri.

"Kara, jangan salahkan dirimu terus? Hmm, sebenarnya ada yang tahu penyebab kematian keluarga kamu. Cuma, selalu di tutupin dan di bungkam oleh seseroang!"

"Siapa? Kasih tahu aku! Aku akan menuntut balas atas semuanya!" seru Sangkara dengan mata mengkilat.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon apriana inut, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 6

“KARAAAAA…!!!”

Dika berlari masuk ke dalam rumah, mendekati Sangkara yang tergeletak di lantai. Jantung laki-laki muda itu berdetak kencang. Dia takut apa yang terjadi pada keluarga Sangkara, sekarang menimpa Sangkara juga.

Setelah memeriksa tubuh Sangkara, Dika menghela napas lega. Sahabatnya masih hidup, dia mungkin tidak sadarkan diri. Karena terlalu merasa bersalah atas apa yang sudah terjadi pada keluarganya.

Dengan susah payah, Dika mengangkat Sangkara untuk pindah ke dalam kamarnya. Lalu dia mencari cara untuk menyadarkan sahabatnya itu.

“Sa-sakiit!” lirih Sangkara yang baru saja sadar.

“Kara, kamu gak apa-apa? Mau minum?” tawar Dika membantu Sangkara untuk bangkit dan duduk. Dia memberikan segelas air putih, yang langsung di terima oleh Sangkara.

“Kara… Jangan kayak gini terus. Jangan salahkan diri kamu sendiri,” ujar Dika mencoba untuk menasehati sahabatnya. Dia melihat keluar kamar, memastikan tidak ada orang yang menguping pembicaraannya. Baru dia melanjutkan lagi, “hmm, sebenarnya ada yang tahu apa yang terjadi sama keluarga kamu. Namun, dia bungkam, tepatnya bukan dia, tapi mereka di bungkam oleh seseorang.”

Sangkara menoleh kearah Dika, “maksud kamu apa, Dik? Ada yang tahu? Emang apa yang terjadi sama keluarga aku? Siapa yang tahu? Kasih tahu aku, Dik?” cerca Sangkra.

“Maaf, Kara. Sebenarnya aku dan semua warga desa ini tahu apa yang terjadi sama keluarga kamu. Tapi, kami di ancam sama seseorang agar tidak menyebarkannya. Bahkan polisi saja tidak tahu. Pokoknya semuanya benar-benar di rahasiakan!”

Mata Sangkara menajam, dia tidak melihat Dika sebagai sahabat lagi. Melainkan seseorang yang harus dia interogasi, “apa yang terjadi sama keluarga aku?” tanya Sangkara dingin, tegas dan datar.

Dika mendadak gugup, dia sama sekali tidak berani menatap wajah Sangkara yang mendadak berubah. “A-aku tidak tahu pasti, yang jelas keluarga kamu di temukan sudah meninggal dunia.”

“Dimana? Dan bagaimana mereka meninggal.”

“Di-di rumah ini, Kara,” sahut Dika gugup.

“Ceritakan!”

Dika mulai menceritakan semuanya dari awal yang dia ketahui. Dari sejak kedua orangtua Sangkara menemui dirinya saat baru tiba di desa. Hingga esok paginya di temukan tidak bernyawa di dalam dan teras rumah.

“Jadi, setelah keluarga aku di temukan. Kepala desa langsung mengajak warga mengurus jenazah keluarga aku. Tanpa melaporkan ke polisi dan di lakukan autopsi?”

Kepala Dika mengangguk, “maaf, Kara. Maaf, karena aku tidak kasih tahu kamu. Maaf, karena aku tidak lapor polisi. Kami terlalu takut dengan ancaman kepala desa. Kami semua di bungkam sama kepala desa!” ucap Dika merasa bersalah kepada sahabatnya.

Mendengar semua yang di sampaikan oleh Dika, Sangkara memejamkan mata, tangannya mengepal kuat, dadanya turun naik. Mencoba menahan emosi yang ingin segera meluap. Apalagi Dika mengatakan fakta yang menyakiti hatinya, yaitu emaknya di temukan dalam keadaan tidak berbusana di teras rumah. Itu artinya, emaknya mengalami pelecehan. Entah itu sebelum meninggal, saat sekarat atau setelah meninggal dunia.

Sakit kepalanya yang tadi sudah reda, sekarang kembali menyerang. Tapi kali ini, Sangkara tidak mau menyerah. Dia mencoba bertahan dan melawan rasa sakit itu. Tidak kuat, Sangkara meraih tas kecil yang terletak di atas tempat tidur. Dikeluarkanya satu botol obat, lalu meminum dua butir obat sekaligus.

“Kara…”

“Terimakasih, Dika. Kamu sudah menceritakan semuanya sama aku. Mulai sekarang, jangan pernah hentikan apa yang aku lakukan! Dan kamu benar, aku tidak boleh menyalahkan diri aku sendiri. Karena ini bukan salah aku, tapi salah bajingan yang sudah menghabisi nyawa keluarga aku!” seru Kara tegas.

“Kamu akan cari tahu siapa pelakunya, Kara? Kamu yakin?”

“Iya, aku akan cari tahu siapa pelakunya. Dan membuat para pelaku merasakan apa yang di rasakan keluarga aku!”

“Kara…”

“Jangan pernah hentikan dan nasehati aku dengan kata-kata sabar serta takdir. Ini bukan tentang takdir, tapi tentang pembunuhan. Aku akan balas dendam!”

Dika terdiam, dia tidak bisa berkata apa-apa lagi. Sedikit ada rasa penyesalan karena sudah mengungkapkan semuanya. Tapi jika tidak dia ungkapkan, Sangkara akan selalu merasa bersalah dalam hidupnya.

Di tengah keheningan, Sangkara mendengar suaa langkah yang mendekati rumahnya. Dia langsung bangkit dan melesat ke depan. Sikapnya sangat waspada, berbeda jauh dari sebelumya.

“Kamu siapa???” seru Sangkara pada seorang laki-laki asing yang membelakanginya. Di tangan Sangkara sudah memegang sebuah pisau yang di ambil dari meja, lalu todongkan tepat di leher belakang laki-laki itu.

“Sa-saya Indra, pak. Bapak i-ingat saya? Saya polisi yang bertemu dengan bapak di kantor.”

“Indra? Polisi?” ulang Sangkara.

“I-iya, pak!”

Sangkara terdiam sejenak, lalu menurunkan tangannya dari leher Indra. “Ada apa? Apakah anda informasi baru tentang keluarga saya?”

Kepala Indra menggeleng, “saya mau jujur sama bapak.”

“Jujur apa? Apa yang sudah kamu perbuat terhadap keluarga saya? Kamu yang sudah bunuh  keluarga saya?”

“Tidak, pak! Tidak!!! Saya tidak pernah bunuh siapa-siapa! Dan, eh? Keluarga bapak di bunuh? BerartI Rara di bunuh, pak? Bukannya dia pindah ke luar kota?” seru Indra cepat.

Dahi Sangkara mengernyit. Di tariknya Indra ke dalam rumah lalu di hempaskan ke sebuah kursi kayu.

“Kepala saya lagi sakit, dan kondisi saya lagi tidak fit! Jadi, saya harap kamu mengatakannya yang sebenarnya? Jangan ada yang kamu tutupi lagi. Paham?”

“Pa-paham, pak!” sahut Indra gugup. Dia sangat terkejut dengan perubahan yang terjadi pada Sangkara. Saat menemuinya, Sangkara layaknya laki-laki biasa dan sopan. Tapi, kali ini Sangkara berubah menjadi laki-laki yang punya aura tak terkalahkan. Setiap tatapan yang di layangkan serta kata yang dia keluarkan penuh dengan intimidasi. Membuat lawan bicaranya tidak bisa berkutik lagi.

“Kara, dia siapa?”

Sangkara melirik sekilas kearah Dika, lalu kembali fokus menatap Indra. “Ayo, mulai!” serunya.

“Hmm, saya indra. Saya sebenarnya kekasih dari Rara, adek bapak. Tapi, lima tahun yang lalu Rara menghilang tanpa jejak. Saya tanya warga sini, katanya Rara kecelakaan. Tapi, saya tanya kakak saya. Tidak ada kecelakaan pada bulan itu. Jadi, saya simpulkan kalau Rara pindah ke suatu daerah karena tidak tahan sekolah di sana.”

Indra menarik napas sejenak, kepalanya tertunduk tidak berani menatap Sangkara. “Rara di bully di sekolahnya. Saya bukannya tidak mau bantu, tapi saya dan Rara beda sekolah. Rara sekolah di SMA negeri. Sedangkan saya di SMA swasta dekat kantor lurah itu!”

“Rara di bully? Oleh siapa? Dan kenapa dia di bully?”

“Saya tidak tahu jelas, pak. Selama ini saya hanya mendengar cerita dari Rara sendiri. Dan memang terkadang saat saya jemput sekolah, penampilan Rara acak-acakan. Bahkan sesekali ada luka lebam di pipinya. Dia tidak kasih ta…”

Mulut Indra langsung tertutup saat tangan kanan Sangkara terangkat.

“Aaaaaaarkkh…!”

Braaaakh… Bruuuukh…

“Kara! Stop!!!”

“Bastrad!!!”

“Kara…”

“Stop calling me Kara, Kara and Kara. You are all bastards!!! You are all cheaters!!!” seru Sangkara kencang. “Aku akan balas semuanya! Aku akan balas semua yang menyakiti keluarga aku! Tunggu saja waktunya!!!”

1
Nurhartiningsih
waduh...jangan2 dokter Adit bagian dari mrk..
Pelita: Hmm, mungkin kali ya kak...? Tunggu aja bab berikutnya...

Hmm... Mungkin kali ya kak? Jawabannya tunggu di bab selanjutnya...😁
total 1 replies
Taufik Ukiseno
Karya yang keren.
Semangat untuk authornya... 💪💪
Taufik Ukiseno
😍
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!