Reva Maharani kabur dari rumahnya karena di paksa menikah dengan pak Renggo ,ketika di kota Reva di tuduh berbuat asusila dengan Serang pria yang tidak di kenalnya ,bernama RAka Wijaya ,dan warga menikahkan mereka ,mereka tidak ada pilihan selain menerima pernikahan itu ,bagaimana perjalan rumah tangga mereka yang berawal tidak saling mengenal ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anjay22, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ancaman warga dan pernikahan
Pagi itu Udara pagi yang seharusnya segar terasa pengap, seperti dipenuhi asap kemarahan dan prasangka.
"Baiklah ,kalau memang kalian meminta kami bergi dari sini ,kami akan pergi ." sahut Raka dengan suara lirihnya
"kamu gila ! kalau aku pergi dari sini,aku mau tinggal dimana ? aku belum gajian dan aku tidak mempunyai uang !" sahut Reva dengan nada tinggi .
"kalau masalah itu kamu nggak usah khawatir ,itu biar menjadi urusanku ,sebaiknya kita keluar dari sini,bantu aku badanku lemas ."
Reva masih terduduk di lantai kontrakan , tubuh mereka terasa lemas , hati mereka remuk. Tapi sebelum mereka sempat berdiri dan melangkah pergi, Pak RT kembali muncul—kali ini dengan wajah lebih garang, ditemani dua orang preman kampung yang biasa jadi tukang pukul saat ada “urusan moral”.
“Kalian pikir bisa pergi seenaknya?” bentak Pak RT, suaranya menggelegar seperti guntur palsu.
Reva menatapnya, mata merah karena air mata yang ditahan. “Bukankah kalian tadi meminta kami pergi? jadi Biarkan kami pergi ”
“Enak saja ! ini tidak semudah itu !” potong Pak RT. “Kalian sudah mencemarkan nama baik lingkungan ini!"
Reva dan Raka saling pandang .
"Setelah kami berdiskusi ,kami masih kasih kalian jalan keluar,sehingga kalian tidak perlu pergi dari kontrakan ini .”
Reva mengerutkan dahi. “Apa maksud Bapak?”
Pak RT melangkah maju, suaranya rendah tapi penuh ancaman. “Kalian berdua—belum nikah, tapi serumah semalam. Itu dosa besar. Tapi kalau kalian mau menikah hari ini juga, di depan penghulu dan saksi warga… maka aib ini bisa ditutup. Kalian boleh tetap tinggal di sini. Bahkan… kami bantu urus suratnya.”
Reva terbelalak. “Menikah? Dengan dia?!”
Raka juga terkejut. “Tapi kami bahkan belum saling kenal!”
“Diam!” bentak salah satu preman, sambil mengacungkan tangan. “Kalian pikir ini main-main? Ini soal harga diri kampung!”
"Nggak ! kami nggak mau menikah ! kami juga tidak saling kenal !" sahut Reva dan Raka bersamaan .
Pak RT hanya tersenyum mendengarnya ,kemudian ia melanjutkan, suaranya dingin seperti besi. “baiklah ! kalau kalian menolak… maka hukumannya berat. Kalian akan ditelanjangi—dibuka bajunya di sini, di depan semua orang—lalu diarak keliling kampung sebagai tontonan umum. Baru setelah itu, kalian diusir. Dan kalau berani kembali… kami serahkan ke polisi dengan tuduhan asusila.”
Mendengar ucapan pak RT Raka dan Reva sama sama terkejut .
Reva gemetar. Bukan karena takut diarak—tapi karena **kemarahan** yang membakar dada. Ini bukan keadilan. Ini **pemerasan moral**. Mereka dipaksa memilih antara kehormatan palsu atau penghinaan nyata.
“Kalian gila!” teriak Reva, suaranya pecah. “Kami tidak berbuat apa-apa! Dia luka parah! Aku hanya menolongnya!”
"Iya ,kalian jangan gila ! kami tidak melakukan apa apa ! mbk ini hanya menolongku saja ,se enaknya saja menyuruh kami menikah ,kenal saja nggak kok suruh menikah ." sahut Raka dengan marah sekaligus kesal ,walaupun badannya masih lemas.
“Yang kelihatan itu kalian berdua di kamar tertutup semalaman!” potong seorang ibu dari kerumunan. “Kalau nggak salah, kenapa sembunyi?”
“Kami nggak sembunyi ,semalam hari sudah malam ,dan kami tidak sempat minta izin sama pemilik kontrakan ,apa bu siti tidak membaca surat yang saya selipkan di bawah pintu ?"
"Surat ? aku tidak melihat surat ?"sahut Bu Siti ,ibu pemilik kontrakan
"Tapi semalam saya sudah menyelipkan surat di bawah pintu untuk memberitahu kalau Raka akan menginap di kontrakan saya ,karena dia sedang sakit ,dan saya tidak bisa meninggalkan dia sendirian di luar dalam keadaan malam dan hujan ,kalau itu sampai aku biarkan aku takut Raka bisa mati ,jadi semalam saya meminta izin pada ibu melalui surat itu ,karena hari sudah malam ,dan ibu sudah tidur karena lampu rumah sudah mati ."Reva berusaha memberi penjelasan pada ibu pemilik kontrakan ,dia berharap ibu pemilik kontraknya itu mau mengerti dan mau membelanya .
"Iya,semalam aku memang tidur agak sore ,disamping hari hujan ,aku juga lagi kurang enak badan ,tapi aku benar benar tidak melihat surat yang kamu katakan ."
"Tapi saya nggak bohong ! Saya benar benar menulis surat ,dan aku masukkan di bawah pintu ."
"Sudah ! sudah ! kamu nggak usah banyak alasan ! kalian harus menikah hari ini ,juga ! kalian sudah membuat kampung ini tercemar !"
Warga tidak mau mendengarkan alasan dan pembelaan Raka dan Reva ,mereka tidak peduli. Warga sudah bulat. Mereka ingin “membersihkan aib” dengan cara mereka sendiri—cara yang kejam, primitif, dan penuh kebencian terselubung.
Bu Siti berkata, kali ini dengan wajah muram. “Reva… ini satu-satunya jalan. Kalau kalian menolak, kalian benar-benar hancur. Di sini, di Jakarta, siapa yang percaya pada kalian? Kalian cuma dua orang asing tanpa keluarga, tanpa pembela.”
Reva menatap Bu Siti—perempuan yang dulu memberinya tempat tinggal, yang ia kira punya hati. Tapi kini, ia hanya melihat kepasrahan pada kekejaman massa.
Raka menarik lengan Reva pelan. “Jangan… jangan biarkan mereka telanjangi kamu. Aku nggak tahan lihat itu.”
Reva menatapnya. Di matanya, ia melihat ketakutan—tapi juga keinginan melindungi. Dan di sanalah ia sadar: ia tak punya pilihan.
Bukan karena ia ingin menikah.
Bukan karena ia mencintai Raka.
Tapi karena **dunia ini tak memberinya ruang untuk jujur tanpa dihukum**.
"Tapi ,aku belum siap menikah ,lagi pula kami berdua tidak saling kenal ." air mata keluar ,Reva merasa hidupnya hancur .
"Siap nggak siap ,kamu harus siap ,ini demi kebaikan kamu !" ucap bu siti
"kalian bisa saling kenal setelah kalian menikah ,lagi pula kamu seorang perempuan ,kamu disini merantau tidak ada sanak saudara ,kamu mau kalau nama kamu hancur dan kamu tidak menikah seumur hidupmu ,karena tidak ada lelaki yang menerima kamu ?"
mendengar pertanyaan Bu Siti ,Reva hanya menggeleng lemah .
"Makanya sebaiknya kamu menikah saja ! Demi kehormatan kamu !" Reva nampak terdiam ,air matanya kembali mengalir dari pelupuk matanya .
Dengan suara serak, Reva berkata, “Baik. Kami menikah.”
"Nah Begitu kan enak ! jadi kampung kita tidak akan terkena sial!" sahut warga desa
"Bagaimana kamu ? Reva sudah bersedia menikah ?" tanya pak RT menatap kearah Raka yang masih tertunduk ,Diam .
Raka mendongak .
"Apa tidak ada jalan lain pak RT ?" tanyanya dengan suara lirih .
"Tidak ada pilihan lain,kamu sendiri tadi sudah dengan kalau kamu menolak menikah ,maka kamu akan ditelanjangi,dan diarak warga keliling kampung ,jadi menurutku ,menikah lebih baik dari pada kamu malu seumur hidupmu ." pak Rt mencoba memberi nasehat .
Raka nampak terdiam .
"Baiklah ,kalau tidak ada jalan lain dan kami harus menikah ,aku bersedia !"
"Hore ! ahirnya kampung kita terbebas dari aib !" teriak salah satu warga
Kerumunan warga bersorak—bukan sorak bahagia, tapi sorak kemenangan. Seperti mereka baru saja “menyelamatkan akhlak” dengan memaksa dua orang asing mengikat diri dalam ikatan suci yang lahir dari ancaman.
***