Quin didaftarkan ke acara idol oleh musuh bebuyutannya Dima.
Alhasil diam-diam Quin mendaftarkan Dima ikutan acara mendaftarkan puisi Dima ke sayembara menulis puisi, untuk menolong keluarga Dima dari kesulitan keuangan. Sementara Dima, diam-diam mendaftarkan Quin ke sebuah pencarian bakat menyanyi.
Lantas apakah keduanya berhasil saling membantu satu sama lain?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon imafi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3
Kosong. Lembar demi lembar diperhatikannya baik-baik. Quin punya banyak tulisan puisi, tapi tidak ada yang menurutnya lebih baik dari puisi yang pernah dia baca di buku puisinya Dima seminggu yang lalu.
–
Waktu itu tidak sengaja Dima meninggalkan buku puisinya di meja kantin. Ibu Kantin memberitahukan Quin untuk mengembalikannya pada anak ganteng yang tadi beli es teh manis di sini. Quin ingin muntah mendengar Dima dibilang anak ganteng, tapi rasanya ada benarnya juga.
Sambil berjalan di lorong sekolahan, Quin membaca salah satu puisinya Dima.
Dia dan Hujan
Hujan datang di kala sendu
Rintiknya membentuk rasa di antara abu-abu
Di setiap tetes ada harap dan rindu
Dia datang menghilangkan galau di hatiku
Namun badai pergi seolah mengerti
Ada malam yang menanti pagi
Seperti hujan yang pergi meninggalkan pelangi
Dia pergi meninggalkan jejak di hati
“Aduh!”kata Quin kesal karena tiba-tiba dia menabrak seseorang. Dan seseorang itu adalah Dima.
Dima berdiri di depan Quin dengan tatapan tajam yang membuat Quin lemas. Tidak karena takut, tapi sesuatu yang membuat pipinya Quin memerah.
“Kalau jalan liat-liat dong!” jawab Quin gugup.
Dima terdiam. Dia mengambil bukunya, lalu pergi meninggalkan Quin.
“Makasih ya udah diambilin di kantin!” teriak Quin kesal.
–
Kini dia hanya bisa menatap buku puisinya yang penuh tapi kosong itu. Ingin rasanya ikut lomba puisi, karena memang Quin sebenarnya ingin bisa bikin lagu. Tapi karena tidak bisa main musik, Quin hanya bisa rajin mengulik puisi.
“Halo!” Nisa menjentikkan jarinya di depan muka Quin yang sedang bengong memikirkan puisi yang dulu dibacanya itu.
“Iya?”
“Bengong mikirin apa sih?” tanya Nisa yang lalu mengikat rambutnya ke atas dan merapikan tasnya, memakai kaos kaki untuk bersiap pulang.
“Apa gue bikin puisi baru aja ya, kayanya puisi yang udah gue bikin ini nggak bagus,” jelas Quin berbohong. Tentu saja dia tidak mungkin menjawab kalau sebenarnya dia sedang mengingat-ingat puisi tentang hujan yang dibacanya dibukunya Dima.
“Kata gue, mending elu tanya sama Dima!”
“Minta bikinin dia?” tanya Quin kesal dan terdengar tidak setuju.
“Minta dia yang ikutan! Terserah deh!” Nisa bangkit lalu keluar kamar. “Aku pulang dulu, udah mau magrib.
Quin turun ke lantai 1 menemani Nisa pamit pada Mamanya Quin yang sedang menyiapkan makanan yang dibelinya di luar.
“Eh ada Nisa,” kata mamanya Quin.
“Pamit dulu, Tante,” jawab Nisa sambil salim.
“Nggak makan malem dulu?” tanya Mamanya Quin beneran menawarkan makan malam.
“Makasih, Tante. Lain kali aja,”jawab Nisa sambil melangkah ke teras. Quin mengikuti dari belakang.
“Kalau makan di sini, emak gue bisa ngamuk, makanannya nggak ada yang masak,” kata Nisa berbisik pada Quin. ”
Quin berdiri di ambang pintu, memperhatikan Nisa memakai sepatunya, “Naik ojol?”
“Nggak, jalan aja.”
“Udah malem ih, nggak takut digondol kalong wewe?”
“Elu kira gue bocah?” tanya Nisa kesal. “Daaah!” lalu pergi keluar pagar sambil melambaikan tangannya.
“Hati-hati syong!”
–
Senja sudah hampir pergi. Jalanan komplek ramai dengan mobil dan orang yang pulang dari tempat kerjanya masing-masing. Ada satu dua anak masih bermain di lapangan komplek. Tidak perlu lama, NIsa yang jalan kaki menyusuri komplek akhirnya sampai di depan gerbang. Dia berdiri menunggu angkot, tapi yang datang adalah Dima dengan motornya yang terlihat tua.
“Dari rumah Quin?” tanya Dima yang masih duduk di atas motornya.
“Iya.”
“Mau pulang?” tanyanya lagi.
“Iya.”
“Mau dianter?”
Nisa terdiam sejenak.
Dima memberikan helm penumpang pada Nisa, “Naik!”
Nisa naik ke boncengan motor Dima sambil bertanya, “Elu dari mana?”
Dima menjalankan motornya sambil menjawab, “Dari benerin motor ini. Tadi pagi kan tabrakan sama tukang sampah!”
“Kok bisa?”
“Tetangga gue, minjem terus nabrak tukang sampah gara-gara abis mabok!”
“Ganti rugi nggak?”
“Boro-boro ganti rugi, kerjaan aja dia nggak punya.”
“Ya tapi kan elu jadi rugi dong.”
“Ya gimana lagi, itung-itung sedekah!” jawab Dima yang serius menjalankan motornya mengantarkan Nisa pulang ke rumah.
“Eh betewe!”
“Kenapa?”
“Kalau elu bonceng gue, Quin marah nggak?”
“Lah, kenapa mesti marah?”
“Ya nggak tau, kan kalian emang suka berantem!” goda Nisa. Dia mencoba memancing apa respon Dima.
“Eh, dia yang suka ngajak berantem! Bukan gue!”
“Oooh gitu!”
–
Quin duduk di meja belajarnya mencoba membuat puisi. Dia menulis beberapa kata di kertas, tapi kemudian langsung dicoretnya lagi. Dia buka laptopnya dan membuka chatgpt, lalu menuliskan perintah membuatkan puisi yang bagus tentang orang yang baru saja diputusin pacarnya, tapi kemudian dia langsung menutup laptopnya dan menundukkan kepala di atas mejanya.
“Kenapa tadi aku nggak baca dulu aja buku puisinya?” tanya Quin pada diri sendiri.
“Ngapain baca buku puisi, tumben anak dance baca buku puisi!” Quin menirukan suara Dima.
Dia menoleh ke hape yang ada di mejanya lalu mengambilnya dan melihat lagi media sosialnya Dima. “Masih ada aja orang nggak punya medsos!” kata Quin kesal, lalu menutup hapenya di mejanya.
Terdengar bunyi notifikasi dari hapenya Quin.
Quin bergegas melihat hapenya, ternyata dari Nisa. Quin lalu menelepon Nisa.
“Elu dianter Dima?” tanya Quin penasaran. Diketuk-ketukkannya pulpen ke atas mejanya.
“Iya. Dia abis benerin motornya.”
“Rusak?”
“Iya, katanya tabrakan sama tukang sampah.”
“Iya, itu gue tau,” jelas Quin kesal. “Maksud gue, rusak apanya?”
“Kaya kayanya, karburatornya deh.”
“Karburator?”
“Ya mana gue tau! Emang gue montir! Elu tanya aja sama montirnya Dima, rusaknya sebelah mana!” Nisa nyerocos kesal.
“Santai, santai!” jawab Quin dengan nada memelas, “Sori, nggak usah ngegas gitu. Gue kan kepo aja.”
“Lagian keponya aneh!”
“Terus gimana?”
“Gimana apanya?”
“Ya gimana, abis dianter terus ngapain?”
“Ya, dia pulang.”
“Terus?”
“Terus dia kecebur!”
“Serius?” Quin kaget mendengarnya.
“Ya nggak tau lah, masa gue ngechat dia, udah pulang belum? Emang gue pacarnya. Mending elu aja yang ngechat dia, dia di mana.”
“Yah elah, males banget, emang gue pacarnya juga?”
“Lah itu tau! Elu bukan pacarnya, kenapa kepo?”
Quin terdiam. Dia melihat buku puisinya yang penuh coretan. Seandainya dia menjadi pacar, bukan! Teman, mungkin dia bisa berdiskusi soal puisi dengan Dima.
“Halo?” tanya Nisa heran tiba-tiba suasana hening.
“Yaaa?”
“Lagi mikirin Dima?”
“Nggak!”
“Ah udahah, susah ngomong sama cewek. Bilang nggak taunya iya. Udah sana lanjutin mikirin Dimanya!” Nisa akhirnya menutup telepon.
Quin menghela napas, tidak bisa menyalahkan Nisa, sahabatnya yang serba tahu. Nisa bahkan bisa tahu Quin kapan datang bulannya. Tapi Quin belum bisa berterus terang dengan Nisa soal perasaannya pada Dima. Dia sendiri bahkan tidak tahu apa yang dia rasakan.
Bersambung
queen Bima
mantep sih