Ditolak di pelaminan, Sinta Lestari belajar membangun kembali dirinya dari reruntuhan. Empat tahun kemudian, ia masih menutup rapat hatinya—hingga sebuah malam hujan mempertemukannya dengan Kevin Mahendra, pria asing dengan tatapan hijau keemasan dan senyum licik yang mampu mengguncang pertahanannya. Malam itu hanya percakapan singkat di kedai kopi, berakhir dengan ciuman panas yang tak pernah bisa ia lupakan.
Kini takdir mempertemukan mereka lagi di Pangandaran. Kevin, pria dengan masa lalu kelam dan ambisi membangun “steady life”-nya, tak pernah percaya pada cinta. Sinta, perempuan yang takut kembali dikhianati, enggan membuka hati. Namun, keduanya terikat dalam tarik-ulur berbahaya antara luka, hasrat, dan kesempatan kedua.
Apakah mereka mampu menjadikan hubungan ini nyata, atau justru hanya perjanjian sementara yang akan kembali hancur di ujung jalan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon khayalancha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5
Kevin tahu. Sinta pasti akan kabur.
Sama persis seperti yang terjadi pagi itu, empat tahun lalu.
Sekarang ia duduk di tepi kasur kamar tamunya, ditemani Jane. Kucing yang super galak itu entah bagaimana sudah mencuri hatinya, meski Kevin berusaha keras menyembunyikannya. Jane, warisan dari Bagas, adalah kucing Persia tua yang selalu cemberut, bulunya kusut, dan enggak peduli apa pun selain tidur dan makan. Tidak ada satu pun suara panggilan yang dia indahkan.
Tapi kini, seolah merasakan kesedihannya, Jane melompat ke kaki telanjang Kevin dan duduk siaga. Kehadiran kucing itu meredakan sedikit rasa sakit di dada Kevin.
Sinta.
Nama itu bernyanyi di kepalanya, seperti lagu Mahalani-Sial versi remix yang Ia benci. Kevin tak pernah melupakan malam itu. Enggak pernah. Berminggu-minggu setelahnya, ia mencari wajahnya di keramaian Jakarta, sampai-sampai ia mencium aromanya dan membabi buta mengikutinya ke jalan buntu. Ia memimpikan kaki jenjang Sinta melingkari pinggulnya. Kevin terbangun dengan rasa sakit yang pedih, mengingat bagaimana bibir wanita itu terbuka di bawahnya, seperti bunga yang mekar.
Malam itu, segalanya berubah bagi Kevin. Keintiman mereka melampaui nama. Mereka berbagi isi kepala terdalam, dan itu mengikat mereka.
Ternyata dia salah besar.
Sinta lari, membuat Kevin merasa seperti orang bodoh.
Kevin mengingat lagi pagi itu.
Saat ia menyelamatkan Sinta dari pria iseng, ia sudah tahu wanita itu memikat. Rambut panjangnya lurus berkilauan. Wajahnya sempurna. Tubuhnya memukau. Tapi yang membuatnya terpana adalah reaksi Sinta ketika mata mereka bertemu.
Seperti tersetrum, tubuhnya menegang, merasakan koneksi familiar yang belum pernah ada sebelumnya. Ia ingin tinggal, menyelami lebih dalam. Sinta telah mengubah Kevin. Ia menginginkannya pada tingkat paling dasar. Kevin merasa hidup untuk pertama kalinya. Tidak ada jejak Sinta, selain aroma tubuhnya yang tertinggal di kulit Kevin dan bekas di bantal.
Keputusasaan yang merobeknya enggak masuk akal. Sinta pergi tanpa sepatah kata pun. Meninggalkannya saat ia tidur. Kevin enggak pernah berniat itu hanya seks semalam.
Campuran malu, marah, dan sakit hati bergejolak. Jane mengeong keras, menyadarkannya dari lamunan.
Kini, Sinta kembali.
Kevin tidak berpura-pura terkejut saat mereka bertemu. Tapi Sinta menutup pintu rapat-rapat, pergi tanpa sepatah kata pun. Seolah Kevin bukan siapa-siapa.
Rasa sakit itu menusuk. Kevin enggak pernah berhenti memikirkannya.
Dia duduk, tak nyaman dalam kesunyian yang menyedihkan. Jane terus mengawasi. Perlahan, Kevin sampai pada kesimpulan.
Dia mungkin bodoh, tapi itu enggak memberinya hak untuk memperlakukan Kevin seolah tak berarti. Wanita itu berutang percakapan padanya.
Sinta mungkin lari empat tahun lalu, tapi sekarang enggak ada tempat lagi untuk bersembunyi.
Dan Kevin akan menemuinya.
***
Selama dua hari terakhir, Sinta benar-benar gelisah. Ia menghabiskan waktu berjam-jam mempersiapkan diri untuk konfrontasi. Ia berharap bertemu Kevin setiap kali masuk mobil. Ia terus mengecek ponselnya, yakin Kevin akan mengirim pesan.
Tapi nihil.
Arum bertanya beberapa kali tentang Kevin. Sinta cepat-cepat menepisnya. Kevin memang menarik, tapi jelas bukan tipenya.
Berbohong pada adiknya menyakitkan. Sinta sempat berpikir untuk mengakui kebenaran, tapi lebih baik ia tetap berpura-pura. Mungkin ia bereaksi berlebihan. Sudah empat tahun.
Sinta menutup butiknya dan berkendara pulang. Kegugupannya perlahan mereda. Sinta mencari Kevin di Google, menemukan ia sudah mewujudkan mimpinya. Sayangnya, Sinta menemukan artikel kecil: Dia pernah dipenjara.
Fakta itu mengejutkan. Tuduhan akhirnya dibatalkan. Kevin pasti cuma mampir untuk membantu Bagas. Sinta memarkir mobilnya. Di sana dia menunggu.
Napas Sinta tercekat. Ia menahan diri untuk tidak mengunci diri di mobil. Sebaliknya, ia merasa menyerang balik adalah pilihan terbaik.
Sambil menegakkan punggung, Sinta keluar dari mobil dan berjalan perlahan menuju teras.
Kevin duduk santai di kursi goyang putihnya. Celana linen, kemeja putih, dan sepatu Armani memancarkan aura miliarder yang santai.
"Tempat yang bagus sekali."
Suara serak familiar itu menghantamnya. Sinta lupa betapa kuat auranya.
"Terima kasih. Senang sekali kamu datang tanpa diundang."
Bibir bawahnya berkedut. "Kupikir kamu enggak mau membicarakan ini di depan umum. Tapi kalau kamu lebih suka menunggu, aku bisa pergi sekarang."
"Enggak, kamu benar. Lebih baik cepat selesai."
Satu alisnya terangkat. "Kedengarannya seperti bertemu denganku kayak janji dokter gigi."
"Maaf, aku gak sadar satu ciuman tanpa nama bertahun-tahun lalu memberimu hak untuk muncul di terasku."
Matanya berkilat. "Kurasa enggak. Tapi karena Arum dan Bagas sudah bersama, kupikir kita perlu ngobrol."
Sinta berusaha tenang. "Kamu benar. Maaf aku lengah. Apa yang ingin kamu bicarakan?"
"Kamu pura-pura tidak mengenalku."
Sinta mengangkat dagunya. "Aku panik."
"Dimengerti. Tapi kamu kabur lagi. Kenapa?"
Dia berusaha jujur. "Kupikir lebih baik kita berdua melupakannya. Aku gak mau ada kecanggungan. Aku gak tahu apa reaksimu, jadi aku lari."
Dia memiringkan kepala. "Kamu dapat poin untuk kejujuran."
"Ini bukan permainan. Kamu sudah setuju aturannya. Jangan berpura-pura ada hubungan lebih dari itu."
Kata-kata Sinta menyentuh titik sensitif. Kevin bangkit. Wajahnya tegang. "Itukah yang kamu yakini? Bahwa malam kita hanya tentang ciuaman panas.Itukah sebabnya kamu kabur secepat kilat, takut menghadapiku besok pagi?"
Saat itu, Sinta menyadari kebenaran.
Dia peduli.
Sinta memilih jalur kedua. Hatinya mencapnya pengecut.
Dia memaksakan tawa kecil. "Jangan salah paham, Kevin. Seksnya luar biasa. Tapi sungguh? Melihatmu muncul di kehidupan nyataku membuatku sedikit takut." Sinta menatap matanya. "Bukan masalah besar. Senang sekali kita bisa menyelesaikan masalah ini sekarang. Maaf aku kasar."
Dia mundur selangkah. "Aku mengerti."
Sinta mendesak lebih keras untuk menutupnya. "Kau mengerti, kan? Aku punya reputasi di kota ini. Jauh lebih baik aku mengaku tidak tahu apa-apa dan tidak merusak liburanmu."
Rasa jijik melintas di wajah Kevin. Dia berbalik dengan dengusan mengejek. "Oke. Aku tidak akan bilang apa-apa. Kita anggap saja ini tidak pernah terjadi."
"Maafkan aku, Kevin."
"Tidak juga. Itu persis yang ingin kudengar. Sampai jumpa."
Dia terlonjak saat pintu mobil terbanting.
Lalu dia pergi.
Sinta masuk, tangan gemetar. Otaknya mengingatkannya bahwa itu pilihan yang tepat.
Dia mengabaikan kekosongan itu dan menikmati rasa aman.
Selesai.