NovelToon NovelToon
Blood & Oath

Blood & Oath

Status: sedang berlangsung
Genre:Kehidupan Tentara / Perperangan / Fantasi Timur / Action / Fantasi / Balas dendam dan Kelahiran Kembali
Popularitas:671
Nilai: 5
Nama Author: Ryan Dee

Tharion, sebuah benua besar yang memiliki berbagai macam ekosistem yang dipisahkan menjadi 4 region besar.

Heartstone, Duskrealm, Iron coast, dan Sunspire.

4 region ini masing masing dipimpin oleh keluarga- yang berpengaruh dalam pembentukan pemerintahan di Tharion.

Akankah 4 region ini tetap hidup berdampingan dalam harmoni atau malah akan berakhir dalam pertempuran berdarah?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ryan Dee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Act 14 - The green knight of Dornath crag

Kabut dingin menyelimuti langkah kami saat mulai berpencar di jalanan batu yang berlumut.

Kota ini sunyi — terlalu sunyi. Tidak ada suara burung, tidak ada hembusan angin yang menabrak jendela rumah. Hanya gema langkah kaki kami yang memantul di antara bangunan tua yang setengah runtuh.

Aku berhenti sejenak di tengah jalan, menatap teman-temanku satu per satu.

Zein berdiri di sisi kanan, tubuhnya tegap, memegang kapak di bahunya dengan mantap.

> “Kalau ada masalah, tiup peluit ini,” ucapnya sambil menunjukkan peluit besi kecil yang tergantung di lehernya. “Aku bakal langsung datang.”

Sandel memutar pedang pendeknya dan tersenyum kecil, meski senyum itu tampak dipaksakan.

> “Kita baru saja jadi Knight dan langsung disuruh menyelidiki tempat terkutuk, hebat juga Victor.”

> “Anggap saja pemanasan,” balas Zein sambil menepuk bahunya.

Galland memandang sekeliling dengan tatapan tajam.

> “Aneh. Tempat ini... seperti ditinggalkan tergesa-gesa. Tapi tidak ada tanda perang atau kebakaran.”

Celeste tidak berkata apa-apa. Ia hanya memandang ke arah utara, ke pusat kota mati yang tertutup kabut. Rambut pirangnya tertiup angin, berkilau samar di bawah cahaya pucat matahari.

Aku menarik napas panjang.

> “Ingat, ini bukan misi pertempuran. Jika kalian melihat sesuatu, jangan menyerang. Catat, amati, lalu kembali ke titik ini sebelum matahari terbenam. Mengerti?”

Mereka semua mengangguk.

> “Baiklah,” lanjutku. “Kita bertemu lagi di sini saat senja. Jangan terlambat.”

Kami saling menatap satu sama lain sejenak, lalu berpisah ke arah masing-masing — lima bayangan yang perlahan menghilang di balik kabut.

Saat langkah mereka menjauh, aku menatap ke depan. Di ujung jalan, kabut menggulung perlahan seperti makhluk hidup, menelan cahaya matahari.

Jantungku berdetak lebih cepat.

Entah mengapa... aku merasa tempat ini menyimpan sesuatu yang seharusnya tetap terkubur selamanya.

> “Baiklah,” gumamku pelan, menggenggam gagang pedang.

“Mari kita mulai.”

Aku melangkah maju, masuk lebih dalam ke jantung kota mati itu.

Aku terus melangkah perlahan sambil menajamkan pandangan ke sekeliling. Jalanan ini diselimuti kabut tipis yang menari pelan di antara reruntuhan. Setiap langkah kuatur hati-hati, menghindari suara sekecil apa pun yang bisa menarik perhatian.

> “Ini aneh…” gumamku lirih, jemariku masih menggenggam gagang pedang dengan erat.

Biasanya, kabut akan semakin pekat semakin jauh kita melangkah ke dalam kota. Tapi kali ini berbeda — kabutnya justru menipis. Seolah-olah kabut di sekitar hanya digunakan untuk menyembunyikan sesuatu dari dunia luar… untuk menutupi apa yang sebenarnya terjadi di dalam sini.

Aku menatap ke depan. Di tengah kabut yang memudar, berdiri sebuah menara — kokoh, menjulang, seakan baru dibangun dibandingkan bangunan usang di sekitarnya.

Menara itu tampak tidak sejalan dengan usia kota ini. Di tanah di sekitarnya, aku melihat jejak kaki — banyak, bersilangan ke berbagai arah. Seseorang, atau mungkin banyak orang, sering keluar-masuk dari sana.

Tanpa pikir panjang, aku segera mencari tempat untuk bersembunyi di balik salah satu bangunan di dekat menara itu. Dari sana, aku bisa mengintai dengan aman — menunggu untuk melihat apakah ada seseorang yang akan keluar... atau masuk.

Di Atas Tembok — Galland & Celeste

Kabut yang pekat membuat kami kesulitan melihat ke arah kota. Bahkan dari atas tembok pun, jarak pandang kami terbatas. Tapi di tengah hamparan abu-abu itu, aku melihat sesuatu — menara yang sama seperti yang kulihat dari bawah. Dan di puncaknya, tampak samar-samar cahaya yang berkedip lembut.

> “Apa kau lihat itu, Celeste?” ucap Galland lirih sambil menunjuk ke arah secercah cahaya di dekat menara.

“Obor…?” balasku pelan, menatapnya tajam.

Kami segera merunduk, menempel di dinding tembok, berusaha agar tak terlihat dari bawah.

Dari balik kabut, tampak sosok bergerak perlahan menuju menara itu. Satu, dua… mungkin tiga orang. Tapi kabut membuat mereka tampak samar.

Aku dan Galland saling bertukar pandang. Kami sepakat tanpa perlu kata-kata: kami harus tetap diam, dan memperhatikan.

Bagian Selatan Kota — Zein

Kabut di bagian ini jauh lebih tebal. Aku bahkan nyaris tak bisa melihat ujung jalan. Setiap langkah seperti masuk ke dalam mimpi buruk yang sunyi.

> Krakk…

Suara itu memecah keheningan.

Aku menoleh cepat, menatap sebuah rumah tua di sisi kiri jalan. Suaranya berasal dari dalam sana.

Tanpa banyak pikir, aku mendekat — memastikan langkahku tak menginjak puing kayu atau batu.

Pintu rumah itu tidak terkunci. Aku mendorongnya perlahan. Creeeak…

Debu yang pekat langsung menyambut. Udara di dalam lembab dan berat, bau kayu lapuk bercampur jamur.

“Sudah lama sekali… tidak ada yang masuk ke sini,” bisikku pelan.

Aku berjalan menelusuri ruangan itu, mataku menyapu setiap sudut. Tapi tiba-tiba —

> Tap… tap… tap…

Langkah kaki dari luar.

Aku segera menunduk dan merunduk di bawah jendela, mengintip di sela kusen kayu.

Tiga sosok melintas di jalan. Dua di antaranya mengenakan jubah bertudung, dan di tangan mereka berkilau cincin hijau — simbol yang pernah diceritakan oleh Lord Victor.

Jantungku berdegup cepat. Jadi, mereka benar-benar ada di sini…

Bagian Utara Kota — Sandel

“Yang benar saja…” gumamku sambil menggeleng pelan. “Kenapa aku bisa setuju dengan rencana gila ini?”

Berpencar di wilayah musuh? Itu ide paling bodoh yang pernah kudengar.

Kalau saja aku bisa protes lebih keras tadi, mungkin sekarang aku tak harus berjalan sendirian di tengah kabut setebal ini.

> “Tapi… ya sudahlah. Ini kan cuma misi pengintaian,” kataku lagi, mencoba meyakinkan diri sendiri.

“Kita nggak akan bertarung juga, kan?”

Aku menarik napas panjang, lalu menghembuskannya dengan kesal.

> “Tapi kenapa Galland bisa bareng Celeste, sedangkan aku harus sendiri? Kenapa bukan aku dan Zein, hah?”

“Pria besar itu paling nggak bisa bikin aku tenang…”

Aku baru saja mengumpat dalam hati ketika suara langkah kaki terdengar dari kejauhan. Banyak. Teratur.

Aku langsung merapat ke dinding bangunan terdekat dan berjongkok, memusatkan pandangan ke arah jalan.

Dari balik kabut, tiga sosok muncul perlahan.

Yang pertama — seorang ksatria dengan armor khas Dornath, lengkap dengan lambang di dadanya.

Yang kedua — seorang wanita bergaun hijau, rambut merahnya tergerai, berkilau samar di bawah cahaya obor. Gerakannya anggun, namun tajam… seperti ular berbisa yang menyamar jadi bunga.

Dan yang terakhir… sosok tinggi besar, bertubuh hitam legam, bertaring, dengan rambut putih panjang terurai. Setiap langkahnya menimbulkan bayangan besar di balik kabut.

Aku merasakan bulu kudukku berdiri.

> “Makhluk apa itu…?” bisikku nyaris tanpa suara.

Untuk pertama kalinya dalam misi ini, aku benar-benar berharap Zein ada di sampingku sekarang.

Di Depan Menara

Aku bersembunyi di balik reruntuhan, menahan napas saat kabut mulai menipis di sekitar menara itu.

> “Jika ada aktivitas mencurigakan, pasti terjadi di sini…”

Dugaan itu terbukti.

Tiga sosok bertudung muncul dari kegelapan, melangkah serempak menuju menara. Setiap dari mereka mengenakan cincin berpermata hijau — simbol yang telah disebutkan Lord Victor. Tapi langkah mereka terhenti di depan pintu, seolah menunggu sesuatu.

Tak lama, dari arah berlawanan, tiga sosok lain mendekat.

Yang pertama: seorang ksatria dengan armor lengkap, menampilkan sigil dari House Dornath.

Yang kedua: seorang wanita bangsawan bergaun hijau, rambut merahnya menyala samar di bawah cahaya obor.

Dan yang ketiga… sosok raksasa hitam bertubuh tinggi, bertaring, dengan rambut putih panjang menjuntai.

Setiap langkah makhluk itu meninggalkan bayangan besar di tanah yang berlumur kabut.

> “Apa yang sebenarnya terjadi di sini…?” bisikku dalam hati.

“Dornath, bangsawan, dan… monster?”

Tangan kiriku merapat ke gagang pedang.

Tapi sebelum sempat bereaksi lebih jauh —

Di Depan Gerbang Utama

Aku berlari secepat mungkin, menembus kabut yang menelan jalanan kota. Nafasku tersengal, jantungku berdetak kencang.

> “Makhluk itu... tidak wajar sama sekali.”

Di tengah kabut, sosok besar mendekat — Zein!

Aku hampir tak percaya kami bertemu di tengah kekacauan ini.

> “Aku melihat tiga orang bertudung, memakai cincin hijau!” seru Zein.

“Dan aku melihat monster hitam! Lebih besar darimu!” jawabku cepat, masih berusaha mengatur napas.

Zein menatapku serius. “Di mana yang lain?”

Aku menggeleng. “Entahlah… mungkin masih di posisi masing-masing. Tapi jujur, aku lega ketemu kamu. Monster itu... bikin darahku beku.”

Zein mengepalkan tangan. “Kita harus segera memberi sinyal ke yang lain.”

Aku mengangguk. “Dan bersiap... kalau situasi makin memburuk.”

Di Atas Tembok

> “Haruskah kita turun untuk melihat lebih dekat?” tanyaku lirih.

“Belum,” jawab Galland cepat. “Kita belum tahu pasti apa yang mereka lakukan di sana.”

Dari ketinggian, kami bisa melihat cahaya obor bergerak — dua kelompok dari arah berlawanan. Keduanya berhenti tepat di depan menara pusat.

> “Lihat… mereka bertemu di sana,” bisikku.

Tapi sesuatu membuatku tak sabar.

Tanpa pikir panjang, aku melompat dari tembok, mendarat di atap bangunan terdekat. Genteng tua berderak di bawah kakiku.

Galland memekik pelan, lalu ikut melompat di belakangku.

Kami berpindah dari satu atap ke atap lain, semakin dekat ke menara.

Dan di sana — kami melihatnya.

> “Lihat itu…” ucapku pelan, menunjuk ke arah makhluk hitam bertaring.

Galland terdiam. Peluh dingin menetes di keningnya.

“A… apa itu…?” suaranya hampir tak terdengar.

Sebelum sempat kami bereaksi lebih jauh—

> Shush…

Salah satu pria bertudung melempar bola kecil bercahaya ke arah bangunan di seberang menara.

> DUAR!!!

Ledakan keras mengguncang udara. Batu-batu beterbangan, debu mengepul.

Dan dari puing-puing yang terbakar, James melompat keluar — tubuhnya nyaris terkena ledakan.

> “James!!!” seruku.

Kini posisinya telah terungkap. Musuh menoleh serentak ke arahnya.

Tanpa pikir panjang, aku mencabut kapak perangku dan melompat dari atap, menerjang ke arah mereka.

Galland segera mengangkat busur, membidik dengan tenang.

> Shush…

Twang!

Satu anak panah menembus leher salah satu pria bertudung, menjatuhkannya seketika.

Sementara kapakku menghantam kepala pria lainnya, memecahkan topengnya dengan suara berderak mengerikan.

James menatap ke arahku, matanya membesar, terkejut bukan main.

Misi yang seharusnya hanya pengintaian kini berubah menjadi pertempuran terbuka.

> “Tidak ada jalan kembali…” gumamku, mencabut kapak yang berlumuran darah.

1
Mr. Wilhelm
kesimpulanku, ini novel hampir 100 persen pake bantuan ai
Ryan R Dee: sebenernya itu begitu tuh tujuannya karena itu tuh cuma sejenis montage gitu kak, kata kompilasi dari serangan disini dan disana jadi gak ada kata pengantar buat transisi ke tempat selanjutnya, tapi nanti aku coba revisi ya kak, soalnya sekarang lagi ngejar chapter 3 dulu buat rilis sebulan kedepan soalnya bakalan sibuk diluar nanti
total 7 replies
Mr. Wilhelm
transisi berat terlalu cepat
Mr. Wilhelm
Transisinya jelek kyak teleport padahal narasi dan pembawaannya bagus, tapi entah knapa author enggak mengerti transisi pake judul kayak gtu itu jelek.
Ryan R Dee: baik kak terimakasih atas kritik nya
total 1 replies
Mr. Wilhelm
lebih bagus pakai narasi jangan diberi judul fb kek gni.
Mr. Wilhelm
sejauh ini bagus, walaupun ada red flag ini pake bantuan ai karena tanda em dashnya.

Karena kebnyakan novel pke bantuan ai itu bnyak yg pke tanda itu akhir2 ini.

Tapi aku coba positif thinking aja
perayababiipolca
Thor, aku hampir kehabisan kesabaran nih, kapan update lagi?
Farah Syaikha
🤔😭😭 Akhirnya tamat juga, sedih tapi puas, terima kasih, author.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!