‘Dulu, ibuku pernah menjadi permaisuri satu-satunya, dan aku Putri mahkota dalam istana mahligai rumah tangga orang tuaku, tapi lihatlah kini! Kami tak ubahnya sampah yang dibuang pada sembarang tempat!’
Dahayu – wanita berpenampilan sedikit tomboy, harus menelan pil pahit kehidupan. Sang ayah menjual dirinya kepada sosok asing, yang mana ia akan dijadikan istri kedua.
Tanpa Dahayu ketahui, ternyata dirinya hendak dijerumuskan ke jurang penderitaan. Sampai dimana dirinya mengambil keputusan penting, demi sang ibu yang mengidap gangguan mental agar terlepas dari sosok suami sekaligus ayah tirani.
Siapakah sosok calon suaminya?
Mampukah Dahayu bertahan, atau malah dirinya kalah, berakhir kembali mengalah seperti yang sudah-sudah?
Pengorbanan seperti apa yang dilakukan oleh wanita berpendirian teguh, bersifat tegas itu …?
***
Instagram Author : Li_Cublik
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
06 : Kembali pulang
"Caranya ...?” Ijem langsung menyahuti, dia terlihat sangat antusias.
“Kakaknya Wisnu kan bekerja di pengadilan agama, kita minta saja dia buat surat palsu. Nanti tinggal Bapak yang menunjukkan ke Dayu – kalau berkas perceraian sudah masuk ke pengadilan, tinggal menunggu proses berikutnya,” netranya berbinar, ia berbicara dengan ekspresi sumringah.
Bandi terlihat tertarik, kumis melintang tipisnya melengkung ke atas. “Kau yakin kalau Wisnu mau berbuat curang macam itu?”
"Abang ini meragukan putri kebanggaan kita.” Ijem memukul lengan suaminya. “Jelas-jelas mandor Wisnu tergila-gila dengan Fiya. Pastilah dia mau tanpa perlu dipaksa.”
“Kalau seperti itu, lakukanlah! Ingat jangan terlalu mencolok mata – Wisnu baru saja diangkat menjadi mandor lapangan. Kau harus bisa menjaga citranya agar kelak cepat dia naik jabatan lagi.” Bandi beranjak dari sofa, dia berjalan ke belakang rumah hendak memberi makan ayam jagonya.
“Kapan kau akan bertemu Wisnu, Fiya?”
Fiya meneguk sisa kopi dalam gelas. “Kapanpun aku mengirim pesan kepadanya, dia pasti langsung datang. Dah macam Anjing peliharaan saja, susah lepasnya dari sang tuan.”
Tawa Ijem membahana – sekilas dia teringat bagaimana dulu seorang Bandi mengelabui istrinya demi menyelinap berbaring di ranjang kontrakan, agar mereka bisa bergumul, berbagi peluh.
“Fiya, jangan dulu kau siarkan rencana pertunangan kalian! Biarkan saja si anak tiri tak tahu diri itu tetap berharap. Mamak suka sekali mendengar ceritamu bagaimana Dayu sering mengirim makan siang untuk lelaki pujaan hatinya.” Ijem memegangi perutnya, sudut mata membasah dikarenakan kebanyakan tertawa.
“Tentulah Mak. Hal itu menjadi hiburan tersendiri! Tanpa dia tahu kalau aku yang menghabiskan bekalnya ha ha ha!” Kakinya dinaikkan di atas meja.
“Sekarang bertambah bahan tertawaan kita, Mak. Dayu bodoh itu menikah dengan pria tua, berperut buncit. Suka nyawer sahabatnya sendiri kala manggung.” Lagi-lagi Fiya terpingkal-pingkal, kakinya bergoyang-goyang.
“Aku tak sabar melihat tontonan menarik – saat Neli bernyanyi, lalu Bondan jelek itu naik pentas, mengeluarkan lembaran rupiah. Pasti seru kali melihat raut putrinya si gila menahan malu,” ekspresinya penuh kepuasan berbalut kebencian.
Nafiya – membenci seorang Dahayu, mencoba merebut, merusak, apa saja kesenangan sang adik tiri. Karena wanita itu dia sering di ejek anak perebut suami orang.
Dulu banyak yang mengatainya, tetapi seiring berjalannya waktu, dan dikarenakan ayah tirinya seorang mandor buah – cibiran, tatapan menghakimi perlahan sirna. Berganti dengan mulut manis para warga perkebunan yang sengaja mau menjilat.
Dia juga menjalankan skenario kotor nan licik. Tahu bahwa Dayu menyukai pria lulusan sarjana pertanian. Diam-diam Fiya melakukan trik kotor, menggoda Wisnu menggunakan kemolekan tubuh, sehingga pemuda itu tergila-gila kepadanya.
Terlebih profesinya seorang biduan profesional – selalu menjadi pusat perhatian kaum Adam bermata keranjang, hal itu menambah nilai lebih bagi seorang pria yang suka bersaing dalam merebutkan sang wanita.
Setelah terperdaya, Nafiya sok jual mahal, melakukan tarik ulur layaknya bermain layangan. Sampai dimana Wisnu lebih gencar mendekati Dahayu dengan tujuan tertentu – membuat kakak tirinya cemburu.
Ijem, Nafiya, Bandi – mengira kalau suami Dahayu adalah Bondan. Sebab dari awal kesepakatan, laki-laki itu yang selalu hadir menjadi perantara antara Masira dengan pihak kedua, tak pula menampik saat ditanya apakah dia sang calon pria-nya.
***
“Apa cuma itu aturan yang wajib saya hindari?” Dayu enggan menatap Randu – yang baru saja membaca serentetan peraturan dari sang tuan.
"Iya, nyonya muda.” Randu menunduk sopan.
Dahayu tidak protes seperti yang dia lakukan ke Wiwin – pelayan hunian ini. “Terima kasih.”
Kemudian wanita yang telah berganti pakaian kebesarannya, kaos dan celana panjang, menghampiri sang ibu.
“Buk, ayo pulang! Kita nanti mandi di sungai ya, main air.” Bujuknya lembut seraya mengelus lengan sang ibu.
Mendengar kata main air. Bu Warni langsung membuang batu ludo. Dia tadi sedang bermain Ular tangga bersama bi Lis.
“Ayok!” Ditariknya tangan putrinya.
“Pamitan dulu dengan teman baru,” pinta Dahayu.
Bak anak kecil, bu Warni langsung meraih dan mencium takzim punggung tangan bi Lis, lalu Wiwin.
Kedua pelayan villa sangat terkejut, tetapi urung protes saat melihat kode mata sang nyonya muda.
***
Dahayu memastikan ibunya sudah duduk nyaman, aman di atas jok motor, baru dia melajukan kendaraannya.
“Nyonya muda kita sangat berbeda ya dengan nyonya Sira – dia tak banyak berbicara, terkesan dingin. Namun, aku kagum melihat interaksi hangatnya kepada sang ibu, kelihatan sekali sangat menyayangi bu Warni,” kata Wiwin, yang langsung diiyakan oleh bik Lis.
.
.
🎶 Naik-naik kepuncak gunung tinggi-tinggi sekali. Kiri kanan kulihat saja banyak pohon Cemara.
Bibirnya mengikuti suara fals sang ibu, tetapi matanya berembun dan buliran bening mulai menetes.
Sepanjang jalan yang memakan waktu sekitar 15 menit itu – bu Warni melantunkan lagu anak-anak. Sementara Dayu menangis dalam diam, beruntung jalanan sepi dikarenakan jam kerja warga perkebunan telah usai.
‘Bohong rasanya bila aku baik-baik saja, hati ini sangat jujur mengatakan kalau tengah bersedih, merasa ditipu, ditekan, dimanfaatkan dengan kejam.’ Tangannya menghapus kasar pipinya.
‘Ya Tuhan, hamba tak ingin meminta berlebihan – cukup kuatkan hati ini, untuk menerima takdir ketentuan-Mu. Berpisah dengan bayi yang nanti hamba kandung bukanlah perkara mudah, belum apa-apa diri ini sudah dilanda kesedihan.’
“Dasar cengeng kau Dayu.” Tangan kirinya mencubit perutnya, mengatai diri sendiri.
“Adik! Adik! Ada Moh!” Bu Warni menepuk kuat punggung sang putri, jarinya menunjuk kawanan Lembu yang sedang merumput di dalam kebun sawit.
“Bagaimana bunyinya, Buk?!” teriaknya lantang guna menghilangkan rasa sedih.
“MOH!”
Ha ha ha
Kedua wanita itu tertawa, satu dengan binar bahagia – satunya lagi berekspresi nelangsa.
Motor yang dikendarai Dayu memasuki afdeling 5. Perumahan kebun diperuntukkan bagi pekerja. Sampai di mana pada ujung barisan, hunian bergandeng dua.
Seorang wanita berkacak pinggang, menghadang laju motor. "Berhenti kau! Dari mana saja kelen? Pantat tonggek (semok) ku ini sampai tepos dikarenakan terlalu lama duduk menunggu kau tak pulang-pulang, Dayu!"
"Lihat Moh!" Bu Warni turun dari motor.
"Ngapain kau susah payah pergi jauh-jauh kalau cuma mau lihat Lembu, War. Kau tengok saja muka si Nelli – sudah macam Lembu makan sempak dia itu!" Mak Rita menuntun sahabatnya.
"Kurasa mulut Mamak kalau sehari saja tak mengejek ku, langsung kudisan," dengus wanita bernama Nelli, sahabatnya Dahayu. Rumah mereka bersebelahan.
"Nak, dari mana saja?" Sosok pria paruh paya membawa karung yang atasnya terdapat kerak nasi milik Dayu, kemarin sore dijemur diatas seng dapur.
Dahayu meluruhkan bokongnya di teras, matanya menatap sekeliling. Memastikan tidak ada orang yang mendengar.
"Aku baru saja menikah, Yah." Adunya kepada bapaknya Nelli.
Karung beras terlepas dari genggaman pak Jefri. Kerak nasi berjatuhan.
Nelli menganga menatap tak percaya, tetapi ekspresi sahabatnya meyakinkan sekali, bahkan kini sedang menangis tanpa suara.
"Bodat (Monyet) mana yang melecehkan mu? Katakan padaku, Yu!!"
.
.
Bersambung.
belah dagu yg bikin haik,, haik,,,