NovelToon NovelToon
Wifi Couple

Wifi Couple

Status: sedang berlangsung
Genre:Diam-Diam Cinta / Enemy to Lovers / Idola sekolah
Popularitas:1.2k
Nilai: 5
Nama Author: Auraliv

Albar tak bisa terpisahkan dengan Icha. Karena baginya, gadis itu adalah sumber wifinya.

"Di zaman modern ini, nggak ada manusia yang bisa hidup tanpa wifi. Jadi begitulah hubungan kita!" Albar.

"Gila ya lo! Pergi sana!" Icha.

Icha berusaha keras menghindar Albar yang tak pernah menyerah mengejar cintanya. Bagaimana kelanjutan cerita mereka?

*Update setiap hari.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Auraliv, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 6 - Mencarinya

Sore itu, langit mendung menggantung di atas SMA Bintang Jaya. Angin berhembus pelan, menerpa rambut Icha yang berjalan sendirian menuju taman belakang sekolah—tempat yang dulu sering ia hindari, karena tahu di sanalah biasanya Albar nongkrong sambil nyanyi lagu aneh-aneh.

Kini tempat itu kosong.

“Harusnya ada dia di sini,” gumam Icha, tanpa sadar.

Dua hari terakhir, dia diam-diam memperhatikan pergerakan Albar. Tidak frontal. Tidak terang-terangan. Hanya mengamati dari jauh, dari sela-sela pintu kelas, dari pantulan kaca, dari celah antara rak buku di perpustakaan.

Dan yang dia lihat selalu sama: Albar yang diam. Tidak tertawa. Tidak mencari perhatian. Tidak menyapa.

Sesuatu yang dulu dia doakan terjadi… kini terasa mengganggu di tempat yang paling sunyi: dadanya sendiri.

Dinda tentu sudah curiga.

“Tadi lo liatin Albar terus waktu dia jalan ke arah UKS,” kata sahabatnya di kantin siang tadi.

Icha langsung mengelak. “Nggak. Gue cuma… ngeliat lewat doang.”

“Lo suka dia ya sekarang?”

Icha tersedak minuman. “Enggak! Sumpah enggak!”

Dinda memandangnya tajam. “Terus kenapa lo diem-diem ngikutin dia dari belakang waktu pulang kemarin?”

Icha pura-pura sibuk mengaduk es teh. “Kepo aja. Kan dia aneh. Tumben gak ganggu gue.”

Dinda menghela napas panjang. “Cha… kadang kita cuma sadar seseorang penting saat dia udah gak ada.”

Sore itu, Icha kembali ke taman. Ia menyisir area kosong itu, matanya mencari-cari. Tak ada gitar. Tak ada suara. Hanya bangku kayu tua dan daun-daun kering.

Ia lalu berbalik, melangkah ke ruang musik—tempat yang katanya sekarang sering dipakai Albar buat latihan lomba.

Dari kejauhan, ia melihat jendela ruang itu sedikit terbuka. Ia menahan langkah. Berdiri diam. Menyandarkan tubuh ke tembok, mencoba mendengar apa yang terjadi di dalam.

Suara gitar mengalun pelan. Suara khas. Petikan-petikan lembut, tak seceria biasanya.

Lalu suara Rio terdengar samar.

“Bar, lo yakin gak pengen ajak Icha nonton lo manggung?”

“Nggak,” jawab Albar cepat. “Dia udah bahagia dengan hidup tanpa gue. Lagian ada Rayan sekarang.”

“Lo yakin dia bahagia?”

“Gue gak tau. Tapi gue yakin dia lebih tenang.”

Hening.

Icha menggigit bibir. Hatinya terasa panas. Kesal. Tapi bukan pada Albar—melainkan pada dirinya sendiri, karena mendengarkan ini semua dari balik tembok seperti stalker.

“Bodoh. Kenapa gue ngelakuin ini sih?”

Ia berbalik cepat dan pergi sebelum suara mereka menyadari keberadaannya.

Di rumah, Icha membuka galeri HP-nya lagi. Kali ini dia tidak mencari foto. Dia membuka kamera depan dan menatap pantulan wajahnya sendiri.

“Kenapa lo gini banget sih, Cha? Lo pengen dia pergi. Sekarang dia pergi. Kenapa malah nyariin?”

Tapi tak ada jawaban.

Ia membuka Instagram, mengetik nama: @albar.wifi

Akun itu masih aktif. Tapi tidak ada story. Tidak ada postingan baru. Sejak seminggu lalu.

Ia scroll ke bawah.

Ada foto lawas. Saat Albar memegang papan karton bertuliskan: “ICHANET – sinyalnya paling kenceng.” Di caption tertulis: “Kadang sinyal kuat itu bukan soal jarak, tapi soal keinginan buat tetap terhubung.”

Icha menatap layar itu lama.

Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia memberi like.

Keesokan harinya, Icha pura-pura nyari buku di perpustakaan, padahal ia sudah tahu siapa yang akan duduk di pojok barisan terakhir: Albar.

Cowok itu sendiri. Membaca. Sesekali mencatat. Tak melihat sekeliling.

Icha bersembunyi di balik rak, lalu mengintip dari celah. Detak jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya.

“Apa yang gue lakuin sih…” gumamnya lirih.

Tapi saat dia hendak pergi, Albar berdiri. Dan secara tak sengaja… mata mereka bertemu.

Beberapa detik yang terasa seperti selamanya.

Albar kaget. Icha juga.

Tapi cepat-cepat Icha berbalik, pura-pura mencari buku, walau tangannya gemetar saat menyentuh rak.

Langkah kaki Albar mendekat. Hati Icha makin tak karuan.

Lalu suara itu terdengar, pelan… tapi jelas.

“Kamu nyari buku tentang jaringan internet? Atau… tentang sinyal yang ilang?”

Icha menahan napas. Ia tidak menoleh.

“Gue cuma nyari ketenangan. Jangan ganggu.”

Albar tertawa, sangat pelan.

“Oke. Gue gak ganggu lagi, kok. Itu ‘kan yang lo mau.”

Langkah kakinya menjauh. Suara pintu perpustakaan berderit. Hening lagi.

Dan entah kenapa… Icha ingin menangis.

Siangnya, di kelas, Rayan menghampiri.

“Cha, lo gak kelihatan kayak biasanya.”

“Biasa aja kok,” jawab Icha, memaksa senyum.

Rayan duduk di bangkunya. “Gue suka lo, Cha.”

Icha langsung membeku. Pandangannya mengarah ke meja kosong di belakang—bangku yang biasanya penuh suara, penuh gangguan, penuh keluhan… tapi juga terasa hidup.

“Lo kenapa diam?”

Icha menghela napas. “Gue… makasih, Ray. Tapi gue belum bisa jawab sekarang.”

Rayan mengangguk pelan. “Karena Albar?”

Icha menoleh cepat. “Bukan. Bukan karena dia.”

Tapi bahkan dia sendiri tak percaya kalimat itu.

Sore itu, dia berdiri di depan ruang musik lagi. Tapi kali ini, dia tidak bersembunyi.

Ia mengetuk pintu.

Albar yang membuka. Kaget, jelas.

“Eh… Icha?”

Icha berdiri canggung. “Kamu masih latihan?”

“Udah mau selesai. Kenapa?”

Ia menggigit bibir. “Besok… kamu tampil, kan? Di lomba musik?”

Albar mengangguk. “Iya. Tapi gak usah dateng juga gak apa-apa. Gue gak ngarepin lo nonton.”

Icha menunduk. “Gue cuma mau bilang… semangat.”

Beberapa detik, tak ada yang bicara.

Albar menatapnya lama. “Makasih, Cha.”

Icha mengangguk. Lalu pergi.

Tapi saat langkahnya menjauh, ia tahu satu hal:

Ia tidak sedang memberi semangat. Ia sedang mencari alasan untuk tetap terhubung.

Meskipun ia belum mau mengakuinya…

Albar bukan sekadar gangguan. Mungkin dia sudah jadi bagian dari dirinya.

Dan kehilangan dia… rasanya seperti kehilangan sinyal saat paling butuh koneksi.

1
Sari Kumala
bucin ini
Kristina Sinambela
keren
Kristina Sinambela
keren ceritanya
Kristina Sinambela
bagus seru
Kristina Sinambela
keren
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!