Ketika cinta pertama kembali di waktu yang salah, ia datang membawa hangatnya kenangan sekaligus luka yang belum sembuh.
Nora tak pernah menyangka masa lalu yang sudah ia kubur dalam-dalam muncul lagi, tepat saat ia telah memulai kisah baru bersama Nick, pria yang begitu tulus mencintainya. Namun segalanya berubah ketika Christian—cinta pertamanya—kembali hadir sebagai kakak dari pria yang kini memiliki hatinya.
Terjebak di antara masa lalu dan cintanya kini, sanggupkah Nora memilih tanpa melukai keduanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yellow Sunshine, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Terusik
Kamar asrama dipenuhi cahaya senja yang menyusup melalui tirai tipis, memantul di dinding dengan semburat keemasan. Aku berdiri di depan cermin, menatap bayanganku yang tampak sangat berbeda—berkat tangan ajaib Nina. Ia menata rambut panjangku, membuatnya terlihat rapi dan anggun dengan gaya slicked-back dan sanggul rendah—tampak serasi dengan riasan di wajahku, juga gaun panjang berwarna cokelat yang Nina pilihkan, sederhana tapi memukau, mengikuti lekuk tubuhku dengan lembut.
“Tenang saja, Nora. Kamu akan terlihat sempurna malam ini.”, kata Nina sambil tersenyum hangat. “Nick pasti terpesona. Ingat, ini acara gala! Kurasa kamu tidak perlu mempedulikan Alice. Fokus saja untuk menikmati suasana.”
Aku menghela napas panjang, menatap bayanganku sendiri di cermin. Meski Nina meyakinkan, gelisah tetap berdesir di dadaku. Aku membayangkan Alice, dengan sikapnya yang terlalu akrab, yang entah kenapa selalu membuat hatiku bergejolak. “Aku tahu… tapi aku tidak bisa menyingkirkan rasa cemburu ini,” ujarku lirih, hampir pada diriku sendiri.
Nina menepuk bahuku lembut. “Kamu tidak sendiri, Nora. Nick milikmu. Ingat itu!”
Beberapa menit kemudian, suara getara ponselku menandai kedatangan Nick. Aku meraihnya untuk memeriksa pesan yang baru saja masuk, dan senyumku langsung mengembang.
"Sepertinya, aku harus pergi sekarang, Nina. Trims untuk bantuannya.", kataku, tersenyum gugup.
"Sama-sama, Nora. Selamat bersenang-senang!", katanya sambil tersenyum hangat.
Aku melangkahkan kaki menyusuri lorong asrama yang masih cukup ramai. Lalu, di luar sana, aku melihat Nick baru saja keluar dari mobilnya, dengan kemeja abu-abu, rambut rapi dan senyuman hangat seperti biasa. Matanya langsung menangkapku, dan senyum hangatnya membuat detak jantungku berpacu.
“Kamu terlihat… luar biasa, Nora.”, ujarnya, suaranya rendah tapi jelas, hampir seperti bisikan untukku sendiri. Aku merona, menunduk sebentar, sebelum tersenyum malu.
Kami melangkah bersama ke mobil. Perjalanan singkat menuju Fakultas Hukum Levin ditemani percakapan ringan—Nick bercerita tentang persiapan gala, lelucon kecil tentang teman-teman panitia, dan aku tertawa, mencoba menenangkan gelisah yang masih tersisa.
Saat kami sampai di gedung besar yang dihias elegan dengan lampu gantung kristal, karpet merah membentang di depan pintu masuk. Mahasiswa hukum berdandan rapi, sebagian mengenakan jas formal, sebagian lain gaun panjang, berjalan sambil mengobrol dan menatap brosur acara. Musik klasik lembut mengalun dari sudut, menambah aura megah dan sedikit intimidatif bagi seorang tamu sepertiku.
Nick berhenti sejenak, menatapku dengan mata penuh arti. “Nora, aku harus membantu beberapa hal di belakang. Aku akan meninggalkanmu sebentar di sini, tapi jangan khawatir, nikmati saja gala ini. Coba lihat sekeliling, ada banyak hal menarik—pameran hukum, dokumentasi, dan tentu saja makanan yang cukup menggugah selera.”
Aku menelan ludah, menahan degup jantung yang cepat. “Ya. Pergilah, Nick! Jangan mengkhawatirkanku.”, kataku, mencoba tersenyum.
Nick tersenyum lembut, menekankan bahuku sebelum berbalik dan berjalan masuk ke arah panitia. Aku berdiri di tengah aula, mencoba menenangkan diri, sambil menatap kerumunan yang berkilau di bawah cahaya lampu gantung. Aroma parfum yang bercampur dengan aroma kopi dan makanan ringan memenuhi udara. Cahaya kristal memantulkan bayangan lembut di lantai marmer, dan langkah-langkah sepatu bergema seperti detak jam raksasa yang mengingatkan bahwa malam ini penuh janji dan godaan kecil.
Aku menghirup nafas panjang, memusatkan perhatian pada setiap detail—tata lampu, suara piano lembut, tawa mahasiswa yang riang tapi formal, dan orang-orang yang sibuk dengan peran masing-masing sebagai panitia atau tamu. Meski Nick pergi, aku merasa kehadirannya tetap di sampingku, memberi keberanian untuk menghadapi malam yang rumit ini—dan mungkin, Alice yang bisa muncul kapan saja.
Aku melangkah perlahan menyusuri aula, mataku terus menoleh ke arah Nick yang sedang sibuk bersama beberapa panitia lain. Di antara mereka, Alice sesekali tertawa, terlalu dekat dengan Nick untuk membuatku merasa nyaman. Setiap kali Nick tersenyum padanya, perutku seperti diremas oleh rasa cemburu yang tak bisa kututupi.
Di sisi lain aula, seorang perempuan berambut sebahu dengan kamera DSLR di lehernya tampak sedang memeriksa beberapa foto yang baru diambil. Aku mengenalinya—Lexi, teman Nina yang meminjamkan lensa kamera beberapa hari lalu. Nafasku sedikit lega melihat wajahnya yang familiar.
“Hai, Lexi!” sapaku, menyeberang ke arahnya.
Lexi menoleh, tersenyum ramah. “Nora? Senang bertemu lagi. Kamu datang sendirian?”
Aku mengangguk, menatap sekeliling. "Tidak. Aku datang bersama Nick, sebenarnya. Tapi, sekarang dia masih sibuk membantu panitia, jadi aku menunggu di sini.”
Lexi memicingkan matanya. "Nick? Ehm, sepertinya kamu memiliki hubungan dengannya. Hari itu kamu dan Nora juga mencarinya, bukan? Apa aku salah?", tebaknya. Sepertinya Lexi belum mengetahui tentang hubunganku dan Nick.
Aku tersenyum canggung padanya. Mencoba menjelaskan tentang hubungan kami. "Ehm, sebenarnya kami berpacaran."
"Ah, aku mengerti sekarang.", balasnya, tersenyum lebar.
Aku berusaha menyusun kata demi kata di otakku. Aku ingim bertanya pada Lexi tentang kedekatan Nick dan Alice. Sepertinya dia bisa memberiku jawaban atas pertanyaan yang ada di benakku. "Ehm, Lexi!", panggilku, ragu. "Apa aku boleh bertanya sesuatu?"
"Tentu, Nora."
"Ehm. Ini tentang... Alice."
Lexi mengangguk, seolah memahami tanpa harus kusebutkan semuanya. “Ah, aku mengerti. Dia memang teman satu jurusan dan panitia acara, jadi wajar dia dan Nick sering terlihat bersama. Tapi jangan khawatir, Nora. Dari apa yang kulihat, Nick tetap… profesional, seperti biasa. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan terlalu jauh.”
Aku menghela napas, mencoba menenangkan diri. “Benarkah? Aku hanya merasa mereka cukup... dekat.”
Lexi tersenyum lembut, menepuk bahuku sebentar. “Kamu sedang cemburu, dan itu wajar, Nora. Artinya, kamu peduli dengan Nick. Tapi, jangan biarkan api itu membakar rasa percaya yang sudah kalian miliki. Aku bisa memberitahumu, Nick bukan tipe pria yang akan menyakiti orang yang dicintainya. Percayalah padanya!”
Aku menunduk, menatap cangkir teh hangat di tanganku. Kata-kata Lexi menenangkan, tapi kedua mataku tetap tak bisa lepas dari arah Nick. Alice baru saja menyingkir sejenak untuk membantu mendistribusikan dokumen, dan Nick menatapku dari jauh, seakan menyadari kehadiranku.
“Kalau kamu ingin, aku bisa menunjukkan beberapa dokumentasi acara.”, kata Lexi. “Kamu bisa ikut melihat dari dekat sambil menunggu Nick.”
Aku tersenyum tipis, mengangguk. “Trims, Lexi. Itu ide bagus. Aku memang ingin… menjaga diriku tetap sibuk. Setidaknya itu bisa mengalihkan pikiranku.”
Kami berjalan bersama, Lexi menjelaskan detail tiap sudut dokumentasi—kamera yang dipasang di atas tripod, layar monitor yang menampilkan feed langsung dari berbagai sisi aula, dan arsip foto digital yang sedang diperiksa. Setiap langkah menuntunku sedikit menjauh dari rasa gelisah, tapi tetap tak sepenuhnya menghilangkan bara cemburu yang tersembunyi.
Di sela percakapan, aku tak sengaja menatap Nick dan Alice lagi. Alice tertawa lepas, menepuk bahu Nick sambil mengisyaratkan sesuatu dengan tangan. Dadaku kembali panas. Aku menarik napas panjang, menenangkan diri, dan menatap Lexi.
“Lexi… apakah biasanya mereka sering seperti ini? Nick dan Alice, maksudku. Berdua, terlihat terlalu akrab?” tanyaku, hati berdebar.
Lexi menoleh padaku, menimbang jawabannya. “Terkadang, ya. Tapi jangan khawatir, Nora. Alice memang pandai berinteraksi, itu bagian dari karakternya. Tapi dari apa yang kulihat, Nick tetap menjaga batas. Dia… jelas peduli padamu. Jangan biarkan kesan sementara membuatmu ragu.”
Aku mengangguk, mencoba menerima kenyataan itu, meski rasa cemburu masih mengendap, samar tapi nyata. Setiap tawa Alice yang terdengar dari kejauhan membuat dadaku berdebar, tapi Lexi tetap menjadi jangkar kecil yang menenangkan pikiranku.
Musik piano berubah menjadi lebih riang, pertanda sesi hiburan dimulai. Aula terasa semakin padat, gelombang tamu baru masuk membawa aroma parfum segar bercampur wangi bunga yang tertata di setiap sudut. Lampu gantung memantulkan kilau pada gaun-gaun berwarna mencolok, dan denting gelas beradu dengan tawa tamu yang semakin riuh.
Di tengah hiruk-pikuk itu, mataku menangkap sosok Nick lagi—ia sedang berdiri bersama Alice, kepala mereka nyaris saling bersentuhan saat membicarakan sesuatu sambil menunjuk ke arah panggung. Alice tersenyum lebar, menyentuh lengan Nick dengan cara yang terlalu akrab untuk disebut profesional. Darahku seperti berdesir cepat, ada panas yang merambat dari dada hingga ke ujung jariku.
Aku memalingkan wajah, mencoba fokus pada suara Lexi yang masih bercerita tentang teknis dokumentasi—bagaimana setiap sudut aula punya kamera tersembunyi, bagaimana fotografer harus membaur tanpa mengganggu tamu. “Acara ini memang membutuhkan koordinasi ketat, apalagi banyak pihak penting yang hadir.”, ujarnya. Senyum Lexi ringan, matanya jujur, dan suaranya menjadi jangkar yang membuatku tidak larut sepenuhnya dalam rasa cemburu.
Tapi jangkar itu kadang terlepas. Setiap tawa Alice yang terdengar dari arah Nick membuat telingaku seakan menangkapnya lebih jelas daripada musik gala yang ramai. Setiap kali aku melirik ke sana, aku merasa seperti penonton yang tersisih dari sebuah adegan yang seharusnya bukan milik orang lain.
“Aku tahu kamu ingin menikmati malam ini.”, kata Lexi pelan, seperti membaca pikiranku, “tapi jangan biarkan matamu terus mencari mereka. Itu hanya akan membuatmu lelah sendiri.”
Aku menghela nafas panjang, memaksa diriku menatap wajah Lexi, bukan arah lain. “Kamu benar… tapi entah kenapa, aku merasa sulit berhenti.”
Lexi tersenyum simpati. “Kalau begitu, biarkan aku membuatmu tetap sibuk. Ayo kita lihat booth foto dokumentasi di sisi timur. Kamu pasti akan menyukainya.”
Aku mengangguk, membiarkan Lexi membawaku menyusuri kerumunan. Tapi bahkan saat aku melangkah menjauh, aku tahu bayangan Nick dan Alice yang berdiri begitu dekat akan tetap menempel di benakku malam ini.
Beberapa waktu kemudian, musik gala mulai mereda, menandakan sesi hiburan berakhir. Para panitia mulai merapikan meja, mematikan sebagian lampu, dan mengatur ulang dekorasi yang tergeser. Nick akhirnya kembali dari kesibukannya, menghampiriku dengan senyum yang membuat dadaku sedikit lega.
“Maaf sudah lama, Nora.”, ucapnya sambil menatap mataku. “Acara ini memang cukup menyita perhatian.”
Aku menggeleng pelan. “Tidak apa-apa. Aku… baik-baik saja.”
Nick memandangku dengan raut penuh perhatian, seolah mencoba menembus lapisan kata-kataku yang tenang namun rapuh. “Kalau begitu, mari kita nikmati sisa waktunya.”
Ia menemaniku berkeliling aula, memperkenalkanku pada beberapa temannya, bahkan membawaku mencicipi hidangan penutup di sudut ruangan—puding vanila dengan saus karamel lembut. Perlahan, kehadirannya di sisiku menepis sebagian resah yang sempat menguasai pikiranku. Kami berbincang santai, tertawa kecil, dan aku sesekali lupa kalau beberapa jam sebelumnya aku begitu terhimpit oleh rasa cemburu.
Ketika acara benar-benar selesai, suasana aula berubah menjadi lebih lengang. Para tamu mulai keluar, menyisakan sisa wangi parfum yang melayang di udara. Nick menuntunku keluar menuju mobilnya. Angin malam menerpa wajahku, membawa aroma dedaunan dan sedikit embun.
Perjalanan pulang berlangsung dalam keheningan yang nyaman. Lampu-lampu jalan berkelebat melewati jendela, membentuk garis-garis cahaya di pipi Nick. Aku sesekali mencuri pandang, mendapati ekspresinya tenang namun penuh kesadaran bahwa aku sedang memikirkan sesuatu.
Begitu tiba di halaman depan asrama, Nick memarkir mobilnya dan mematikan mesin. Sunyi sejenak menyelimuti kami, hanya terdengar bunyi angin yang menyapu daun-daun pohon di sekitar. Ia menoleh padaku, sorot matanya hangat namun serius.
“Nora…”, suaranya rendah, nyaris seperti bisikan, “aku tahu kamu sempat merasa… tidak nyaman malam ini. Aku bisa melihatnya dari caramu menatap.”
Aku menelan ludah, tak langsung membalas.
Nick mengulurkan tangannya, menggenggam jemariku dengan hangat. “Tapi aku ingin kamu ingat satu hal—aku tidak akan pernah berpaling darimu. Tidak ada yang bisa mengubah itu. Kamu… satu-satunya yang ada di pikiranku, malam ini dan seterusnya.”
Dadaku terasa penuh, seperti ada sesuatu yang menekan dari dalam dan ingin meledak menjadi air mata lega.
Ia mendekat perlahan, dan aku bisa merasakan hembusan nafasnya yang hangat menyentuh pipiku. Dunia di sekitarku seakan menghilang—hanya ada Nick, tatapannya yang dalam, dan jarak yang semakin menyempit di antara kami. Lalu, bibirnya menyentuh bibirku.
Ciuman itu lembut di awal, seperti pertanyaan yang mencari jawaban. Aku menutup mata, membiarkan tubuhku merespon, jemariku secara naluriah menggenggam kerah kemejanya. Nick memperdalam ciumannya, gerakannya tenang namun penuh rasa memiliki. Ada kehangatan yang merambat dari bibir, menyebar ke seluruh tubuhku, membuat jantungku berpacu lebih cepat.
Ketika kami akhirnya melepaskan diri, Nick menempelkan dahinya di dahiku, senyumnya tak pudar. “Tidurlah dengan tenang malam ini, Nora. Ingat kata-kataku—aku di sini untukmu, selalu. Aku mencintaimu.”
Aku mengangguk pelan, masih merasakan sisa hangat ciumannya di bibirku, lalu melangkah menuju pintu asrama dengan hati yang lebih ringan, meski bayangan gala tadi tetap tertinggal di dalam pikiran.