Seorang wanita modern, cerdas dan mandiri, mendapati dirinya terbangun di tubuh seorang wanita dari masa lalu,seorang janda muda di Tiongkok kuno. Tanpa tahu bagaimana dan mengapa, ia harus menjalani kehidupan baru di dunia yang asing dan penuh aturan kejam, di mana seorang janda tak hanya kehilangan suami, tapi juga martabat, kebebasan, bahkan hak untuk bermimpi.
Di tengah kesendirian dan perlakuan kejam dari keluarga mendiang suami, ia tak tinggal diam. Dengan akal modern dan keberanian yang tak lazim di zaman itu, ia perlahan menentang tradisi yang mengekangnya. Tapi semakin ia menggali masa lalu wanita yang kini ia hidupi, semakin banyak rahasia gelap dan intrik yang terungkap,termasuk kebenaran tentang kematian suaminya, yang ternyata tidak sesederhana yang semua orang katakan.
Apakah ia bisa mengubah takdir yang telah digariskan untuk tubuh ini? Ataukah sejarah akan terulang kembali dengan cara yang jauh lebih berbahaya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anastasia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 6.Pertempuran.
Di tempat lain, perbatasan kota Lan gya.
Kabut pagi belum sepenuhnya sirna saat suara derap ribuan kaki kuda mengguncang bumi.
Di daerah itu sudah selama lima belas tahun perbatasan yang di jaga oleh jenderal Liu dan saudara Zi ning, mengalami peperangan sepanjang tahun dengan negeri Qing.
Di barisan terdepan, Kaisar Xiao, mengenakan zirah perak kebesarannya, memimpin langsung pasukan.
Di sisinya berdiri Jenderal Liu, pria setia berambut abu yang telah mengabdi sejak generasi sebelumnya, dan lima putra gagahnya yang dikenal sebagai "Pilar Lan gya."
Langit tampak muram. Di balik perbukitan utara, bendera musuh berkibar dan warna hitam darah dengan lambang naga bengkok milik negeri seberang yaitu Negeri Qing, bangsa yang selama ini terus mengincar wilayah strategis Lan gya untuk jalur dagang dan sumber daya.
Kaisar Xiao memberikan semangat untuk prajurit dan pemimpin pasukan kota Lan gya.
“Kota Lan gya bukan milik siapa pun kecuali rakyatnya!” seru Kaisar Xiao lantang, suaranya menggema ke seluruh medan. Lima putra Jenderal Liu yun hao, Liu leng he , Liu zhi x un , Liu hao xuan , dan Liu jing tao yang mengangkat pedang mereka bersamaan, menjawab semangat sang kaisar.
Trompet perang berbunyi. Barisan pemanah menarik busur, menanti aba-aba. Pasukan infanteri memasang perisai. Langkah kuda musuh mulai terdengar semakin dekat.
Kaisar Xiao menoleh pada Jenderal Liu. “Hari ini, kita lindungi Lan gya, atau gugur bersama kehormatannya.”
Jenderal Liu mengangguk. “Dengan darah kami, tanah ini akan tetap milik kita.”
Lalu dentuman pertama perang meledak saat dua pasukan besar saling bertubrukan. Pedang beradu, panah melesat, dan teriakan prajurit membelah udara.
Di tengah pertempuran sengit, Kaisar Xiao membuktikan bahwa ia bukan hanya pemimpin di atas takhta, tapi juga seorang pejuang sejati.
Dengan tombak di tangan, ia menerobos pasukan musuh, diikuti oleh kelima putra Liu yang bertempur seperti lima harimau penjaga Lan gya.
Hari -hari telah berlalu, pertempuran saling merebutkan wilayah dua negeri yang akhirnya mulai mencapai titiknya.
Pada hari ke dua puluh di perbatasan Kota Lan gya, kabut pagi menyelimuti perbukitan dan parit-parit di perbatasan Kota Lan gya.
Udara basah dengan bau darah dan tanah yang tercampur hujan semalam. Dentuman genderang perang telah menjadi nyanyian pagi yang tak pernah berhenti, memekakkan telinga hingga tak ada lagi perbedaan antara siang dan malam seakan semuanya kelabu oleh perang.
Di sisi barat, pasukan Qing mulai menunjukkan kelelahan. Tubuh-tubuh para prajurit mereka kurus, kulit menempel ke tulang karena jatah pangan yang makin menipis.
Rakyat di wilayah Qing mengalami gagal panen akibat serangan hama yang merusak seluruh ladang jelai dan padi. Pengiriman suplai tersendat, dan perut para prajurit kerap dibiarkan kosong selama dua hari berturut-turut.
Sementara itu, pasukan dari Kota Lan gya yang dipimpin oleh Kaisar Xiao dan Jenderal Liu, bersama kelima putranya, masih berdiri kokoh.
Mereka bergantian berjaga di menara pertahanan dan barisan depan. Meskipun luka memenuhi tubuh mereka, semangat mempertahankan tanah leluhur membuat mereka tak pernah mundur.
Suara panah melesat bersahutan, bergabung dengan teriakan perintah dan raungan kesakitan.
Tanah perbatasan sudah berubah menjadi lautan lumpur merah, penuh dengan reruntuhan benteng dan tombak patah. Namun, tak satu pun dari kedua belah pihak menunjukkan tanda-tanda menyerah.
Di tengah medan yang porak-poranda itu, seekor gagak melayang di atas langit, menyaksikan pertempuran manusia yang tak kunjung usai.
Perang ini bukan lagi tentang kemenangan, tapi tentang siapa yang paling lama bisa bertahan di neraka yang mereka ciptakan sendiri.
___
Disisi barat kota Lan gya, Saat fajar mulai menyingsing di hari ke-21, dentuman genderang perang di sisi barat mendadak terhenti.
Asap pertempuran yang biasanya menebal di langit kini perlahan memudar. Para prajurit dari pasukan Qing, yang tubuhnya sudah nyaris tak kuat berdiri, mendongak ke arah utusan berkuda yang melaju cepat ke barisan depan.
Dengan gulungan perintah bermaterai emas Kaisar Qing di tangannya, sang utusan mengumumkan di hadapan para petinggi perang yang isinya.
“Atas nama Kaisar Agung Qing, pertempuran ini diperintahkan untuk dihentikan segera. Negeri kita tengah dilanda bencana,ladang-ladang gagal panen, rakyat kelaparan, dan pemberontakan mulai muncul di wilayah selatan. Jika peperangan ini berlanjut, yang binasa bukan hanya para prajurit, melainkan seluruh negeri.”
Para jenderal Qing saling berpandangan dengan wajah pucat dan mata sembab. Beberapa menunduk, sebagian lainnya menggenggam gagang pedang mereka dengan getir. Tapi mereka tahu… keputusan ini bukan kelemahan, melainkan bentuk terakhir dari kebijaksanaan,demi menyelamatkan rakyat yang tak berdosa.
Bendera putih dikibarkan dari menara pengintai sisi barat, lambang niat damai yang perlahan melayang tertiup angin.
Di sisi Kota Lan gya, Kaisar Xiao dan Jenderal Liu memandang dari atas tembok pertahanan. Mereka tak langsung percaya, tapi mereka tahu, jika ini benar, maka ribuan nyawa bisa diselamatkan.
Pintu parit ditutup perlahan, pasukan bersenjata mundur ke garis belakang. Untuk pertama kalinya sejak dua puluh hari terakhir, tanah Lan gya kembali hening. Hanya suara burung pagi dan desir angin yang menemani detik-detik paling sunyi dalam sejarah panjang perbatasan itu.
Di atas menara utama pertahanan Kota Lan gya, Kaisar Xiao berdiri tegak dengan jubah perangnya yang berlumur debu dan darah.
Sorot matanya tajam menatap ke arah barat, tempat bendera putih negeri Qing berkibar di tengah sisa-sisa asap dan reruntuhan. Angin pagi membawa aroma besi, darah, dan tanah basah.
Jenderal Liu, dengan baju zirah yang penuh goresan, mendekat sambil menggenggam helm perangnya. Kelima putranya berdiri di belakangnya dalam diam, tubuh mereka lelah tapi mata mereka menyala, siap menerima perintah selanjutnya.
“Bendera putih…” gumam Kaisar Xiao pelan, “Setelah dua puluh hari pertumpahan darah, akhirnya mereka memilih berhenti.”
“Bisa jadi taktik,” tukas Jenderal Liu hati-hati. “Qing dikenal penuh muslihat. Kita tidak bisa langsung percaya begitu saja. Tapi... kondisi mereka memang telah melemah. Pangan mereka habis, tentara mereka nyaris lumpuh.”
Kaisar Xiao mengangguk perlahan. Ia lalu menatap prajurit pengintai di menara sebelah. “Kirimkan sinyal, kita terima perundingan, tapi mereka harus mendekat tanpa senjata. Hanya lima orang perwakilan. Jika melanggar, panah api dilepaskan.”
Perintah itu langsung dilaksanakan. Di langit, sinyal asap berwarna biru keabu-abuan dilepaskan dengan tanda penerimaan damai bersyarat. Beberapa saat kemudian, para pemanah Lan gya diperintahkan untuk tetap berjaga di tempat masing-masing. Tidak ada yang boleh lengah.
Di sisi lain, rakyat Lan gya yang mengintip dari celah-celah tembok kota bersorak lirih. Perang mungkin belum usai sepenuhnya, tapi ini adalah harapan pertama dalam dua puluh hari yang kelam.
Jenderal Liu lalu berbalik menghadap putra-putranya. “Bersiap. Jika ini benar-benar perundingan damai, maka kita akan menuliskan sejarah. Tapi jika ini tipu muslihat… kita akan pastikan, ini jadi kesalahan terakhir mereka.”
Kaisar Xiao menatap langit yang perlahan cerah. “Lan gya telah bertahan. Sekarang saatnya menentukan apakah kita akan berdamai… atau menuntut balas.”
Akhirnya pesan untuk berunding di kirim dari pihak Qing sendiri, yang membutuhkan bantuan negeri Lan gya.
Setelah perundingan peperangan dua negara pun berakhir, untuk waktu yang sulit di tentukan dan itu membuat kedua negara bisa bernafas dengan lega.
tunggu saja kamu tuan muda hu akan ada yg akan membalasnya Zi Ning😡😡😡