Davian Meyers ditinggal oleh istrinya kabur yang mana baru saja melahirkan putrinya bernama Cassandra Meyers.
Sayangnya Cassandra kecil justru menolak semua orang, selalu menangis hingga tidak mau meminum susu sama sekali.
Sampai dimana Davian harus bersedih hati karena putri kecilnya masuk rumah sakit dengan diagnosa malnutrisi. Hatinya semakin hancur saat Cassandra kecil tetap menolak untuk menyusu. Lalu di rumah sakit Davian menemukan putrinya dalam gendongan seorang wanita asing. Dan mengejutkannya Cassandra menyusu dengan tenang dari wanita tersebut.
Akan tetapi, wanita tersebut tiba-tiba pergi.
Demi kelangsungan hidup putrinya, Davian mencari keberadaan wanita tersebut lalu menemukannya.
Tapi bagaimana jika wanita yang dicarinya adalah wanita gila yang dikurung oleh keluarganya? Akankah Davian tetap menerima wanita itu sebagai ibu susu putrinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Archiemorarty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 13. PANIK
Malam itu, langit di atas kediaman Meyers begitu tenang. Bintang-bintang bertaburan seperti permata yang berkilau di samudra gelap, sementara angin dingin musim gugur berhembus lembut melalui celah jendela kamar kecil Cassandra. Lampu gantung berwarna hangat menyinari ruangan, memantulkan cahaya lembut pada dinding-dinding bercat krem. Suasana seakan ingin menyelimuti seluruh isi rumah dengan rasa damai.
Olivia duduk di kursi goyang, mengayun perlahan dengan gerakan teratur, seolah tubuhnya telah menyatu dengan alunan irama yang hanya bisa didengar oleh seorang ibu. Dalam dekapannya, Cassandra kecil terlelap dengan wajah mungil yang penuh ketenangan. Sesekali, Olivia menundukkan kepala, bibirnya menyentuh kening bayi itu dengan ciuman penuh kasih.
Ketenangan itu terasa seperti hadiah. Setelah hari-hari penuh luka dan bayang-bayang trauma yang menghantui, malam ini seakan memberi ruang bagi Olivia untuk bernafas lebih panjang. Hanya dirinya dan Cassandra kecil sudah cukup membuat wanita itu bahagia.
Namun, ketenangan itu tak bertahan lama.
Cassandra, yang semula tidur pulas, mulai mengerang kecil. Awalnya hanya gumaman halus yang bisa saja diabaikan. Olivia menepuk-nepuk pelan punggung bayi itu, berusaha menenangkan. Tapi, beberapa detik kemudian, tangisan Cassandra semakin keras. Tubuh mungil itu meronta, wajahnya memerah, dan napasnya terdengar lebih berat dari biasanya.
Olivia terkejut. Ia mendekap Cassandra lebih erat, mencoba mengayun lebih cepat, bibirnya bergetar sambil bersenandung lirih. Namun tangisan itu tidak mereda, malah semakin menjadi-jadi. Saat Olivia menyentuh kening kecil Cassandra, tubuhnya seakan membeku. Panas. Panas sekali.
"Tidak ... tidak, jangan ...," bisiknya lirih, kepanikan merambat ke setiap urat nadinya.
Tangisan Cassandra menusuk malam dengan nada yang berbeda, bukan rengekan manja, melainkan jeritan bayi yang kesakitan. Olivia memeluknya semakin kuat, matanya liar mencari pertolongan.
Emily, yang baru saja kembali dari lantai dasar untuk membersihkan perlengkapan bayi segera masuk begitu mendengar tangisan Cassandra yang tidak biasa.
"Miss, Olivia?! Ada apa?! Kenapa dengan Nona Kecil?" tanya Emily panik.
Namun Olivia justru mengeratkan pelukannya pada Cassandra. Tubuh wanita itu gemetar dalam ketakutan.
"Miss. Olivia, biarkan aku melihat Nona Kecil," pinta Emily, cemas.
Namun Olivia justru menggeleng panik. Matanya melebar, wajahnya pucat. "Jangan! Jangan ambil dia dariku!"
Emily mencoba mendekat, tapi Olivia mundur, kursi goyang hampir terguncang keras oleh gerakannya. Pelukannya pada Cassandra semakin kencang, seakan ia takut bayi itu akan menghilang begitu saja jika terlepas dari lengannya. Emily terkejut ketika tahu kalau tangisan Cassandra itu adalah tangisan ketidaknyamanan. Bayi itu sedang tidak sehat.
"Miss Olivia, dengarkan aku. Cassandra butuh ditolong. Dia panas, dia bisa sakit parah kalau-"
"Tidak! Jangan ambil bayiku!" teriak Olivia, suaranya pecah penuh histeria.
Emily tercekat. Ia sudah terbiasa menghadapi emosi Olivia, tapi kali ini berbeda. Ada ketakutan purba dalam sorot mata wanita itu, ketakutan seorang ibu yang pernah kehilangan, dan tidak sanggup kehilangan lagi. Emily tahu, ini bukan hanya tentang Cassandra yang sakit. Ini tentang masa lalu Olivia yang diceritakan oleh Peter, tentang bayi yang dianggap mati, tentang perpisahan yang menghancurkan jiwanya.
Emily tidak berani mendekat lebih jauh. Dengan suara bergetar, ia memutuskan langkah lain. "Mr. Davian ... saya akan panggil Mr. Davian!"
Emily berlari kencang menuju lantai bawah tempat ruangan kerja Davian berada. Segera ia memberitahukan apa yang terjadi pada majikannya itu.
Pintu kamar terbuka keras beberapa menit kemudian. Davian muncul dengan langkah cepat, wajahnya tegang. Matanya langsung tertuju pada Olivia yang duduk di lantai, mendekap Cassandra erat-erat, tubuhnya gemetar. Tangisan bayi itu kini melemah, bukan lagi karena reda, melainkan karena tenaganya terkuras oleh demam.
"Olivia?" suara Davian dalam tapi lembut, berusaha menembus kepanikan yang menguasai ruangan. Ia melangkah perlahan, kedua tangannya terangkat kecil, seperti seorang pria yang mencoba menenangkan kuda liar yang ketakutan. "Berikan Cassandra padaku. Cassandra butuh dokter sekarang."
Olivia menggeleng kuat. Air mata membanjiri pipinya. "Tidak! Kau akan mengambilnya dariku! Kalian semua ingin mengambilnya!"
Davian merasakan jantungnya berdegup keras. Pemandangan itu menghantam sisi terdalam dirinya. Olivia, dengan rambut kusut, mata bengkak, wajah penuh luka batin, tampak seperti seseorang yang tersudut di tepi jurang. Ia ingin marah karena bayi itu dalam bahaya, tapi sekaligus hatinya perih melihat betapa hancurnya wanita itu.
"Olivia, dengarkan aku." Suaranya lebih lembut, nyaris berbisik. "Aku tidak mengambilnya. Aku ingin menyelamatkannya. Jika kau terus menahannya, Cassandra bisa dalam bahaya."
Namun Olivia tetap menggeleng, tubuhnya bergetar hebat. "Kau bohong! Kau akan mengambilnya dariku, sama seperti dulu mereka mengambil bayiku!"
Hening sesaat menyelimuti ruangan, hanya diisi isakan Olivia dan napas tersengal Cassandra.
Davian akhirnya mengambil keputusan. Ia mendekat, meski Olivia berusaha mundur. Dalam satu gerakan tegas namun hati-hati, ia meraih Cassandra dari pelukan Olivia. Teriakan pecah dari bibir wanita itu.
"Tidak! Jangan! Itu bayiku! Jangan ambil dia!"
Olivia meronta, memukul dada Davian dengan kedua tangannya yang lemah, menangis sejadi-jadinya. Tapi Davian tetap menahan bayi itu di pelukannya dengan mantap. Ia menunduk, menatap mata Olivia yang penuh amarah sekaligus putus asa.
"Aku tidak mengambilnya, Olivia. Aku menyelamatkan dia. Percayalah ... aku berjanji, tidak ada yang akan memisahkan kalian. Tapi izinkan aku melindungi putri kecil ini sekarang. Aku akan mengembalikannya padamu saat dia sudah baik-baik saja," ucap Davian dengan suara yang paling tulus yang pernah keluar dari bibirnya.
"Tidak! Kumohon kembalikan bayiku ... kumohon," tangis Olivia penuh kepedihan.
Namun Davian mengabaikan Olivia, saat ini ia harus fokus pada bayi kecil yang tubuhnya terasa panas dalam pelukan Davian ini.
"Panggilkan dokter sekarang!" perintah Davian.
Keadaan rumah menjadi kacau seketika saat tahu kalau Nona Kecil rumah itu kini demam. Serta beberapa pelayan dan juga Maria yang mencoba menenangkan Olivia, walau sepertinya sia-sia. Wanita itu terus terisak dalam ketakutan akan kehilangan bayi kecilnya.
Dokter pribadi keluarga Meyers segera dipanggil. Cassandra diperiksa dengan teliti. Olivia terduduk di sudut kamar, wajahnya terkubur di kedua tangan, tubuhnya terguncang oleh tangis yang tak bisa ia bendung.
"Demam biasa, Mr. Davian," kata sang dokter setelah beberapa lama. "Tidak ada tanda-tanda infeksi serius. Obat sudah saya berikan, dan besok suhu tubuhnya akan menurun. Ia hanya butuh perawatan intensif malam ini."
Davian menghela napas lega, meski tubuhnya masih tegang. Cassandra akhirnya tenang setelah obat bekerja, tertidur pulas di ranjang kecilnya. Para pelayan menjaga di dekatnya, memastikan bayi itu aman.
Sementara itu, Olivia tetap di sudut, wajahnya merah basah oleh air mata. Ia merasa hampa, seakan seluruh dunia telah runtuh. Dalam hatinya, ia mendengar kembali bisikan masa lalu dimana bayinya yang dikatakan mati, lengannya yang kosong, malam-malam panjang penuh jeritan tanpa jawaban. Ketakutan itu masih nyata, dan kejadian barusan membuka kembali luka yang belum pernah benar-benar sembuh.
Davian kembali masuk ke kamar setelah mengantar dokter pergi. Pandangannya langsung menemukan Olivia, masih meringkuk di lantai. Ada sesuatu yang mencengkeram dadanya melihat sosok rapuh itu. Selama ini ia mengenal Olivia sebagai wanita yang keras kepala, penuh amarah, kadang tak terkendali. Tapi malam ini ia melihat sisi lain, sisi yang menjadi alasan kenapa wanita ini terkena gangguan mental; seorang ibu yang begitu hancur karena kehilangan bayinya tanpa wanita ini pernah tahu paras sang bayi bahkan belum sempat menggendongnya.
Ia mendekat perlahan, lalu berjongkok di depannya. Olivia mengangkat wajah, matanya bengkak, pandangannya kosong.
"Olivia?" panggil Davian dengan suara lembut.
Wanita itu terisak, mencoba menjauh, tapi tidak punya tenaga lagi. Davian akhirnya mengambil langkah yang tidak pernah ia lakukan; Davian meraih Olivia ke dalam pelukannya.
Awalnya, Olivia menolak. Tangannya mendorong dada Davian lemah, tubuhnya menegang. Tapi perlahan, seiring detak jantung pria itu berdentum hangat di telinganya, perlawanan itu luntur. Tangisnya kembali pecah, tubuhnya gemetar hebat, lalu ia akhirnya bersandar di dada Davian, seperti anak kecil yang menemukan bahu untuk menangis.
Davian mengusap rambutnya, menahan emosi yang nyaris meledak. "Kau tidak akan kehilangan dia lagi, Olivia," bisiknya, suaranya bergetar namun lembut. "Kau tidak akan kehilangan bayimu. Cassandra sedang sakit dan harus dirawat. Pelayan melakukannya untukmu karena kau sedang histeris. Kau boleh menggendong bermain dengannya lagi saat kau sudah sehat, oke."
Kata-kata itu menusuk hati Olivia. Ia menggenggam erat kemeja Davian, seakan ingin menjaga pria itu tetap di dekat Olivia agar tidak ingkar pada ucapannya barusan.
Malam semakin larut. Cassandra tidur tenang di ranjang kecilnya. Di sisi lain kamar, Olivia akhirnya terlelap dalam pelukan Davian, kelelahan setelah badai emosional yang melandanya. Wajahnya masih dipenuhi bekas air mata, tapi untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia tertidur dengan rasa aman.
Davian menatap keduanya, wanita rapuh yang kini tertidur di dadanya, dan bayi mungil yang menjadi pusat segalanya. Hatinya bergetar hebat. Ia sadar, perasaannya pada Olivia telah tumbuh jauh lebih dalam dari yang ia bayangkan. Ada sesuatu di sana, sesuatu yang lebih dari sekadar tanggung jawab. Hatinya terenyuh melihat bagaimana rasa ketakutan yang teramat dalam dari Olivia tadi. Tak tega jika membayangkan harus memisahkan Olivia dengan Cassandra ketika keduanya sama-sama saling membutuhkan.
Malam tenang yang sempat retak akhirnya mereda, tanpa Davian tahu bahwa badai yang lebih besar sedang menunggu di kejauhan.
Casie mungkin anaknya Davian dengan Olivia?,,dan mungkin ini semua permainan Raymond?
kau yang berjanji kau yang mengingkari
kalo sampe Raymond tau wahh abis citra mu piann, di sebar ke sosial media dengan judul
" PEMBISNIS MUDA DAVIAN MAYER, MENJADI MENYEBABKAN SEORANG WANITA BERNAMA OLIVIA MORGAN BUNUH DIRI " tambah bumbu pelecehan dll wahh habis karir 🤣🤣🤣
bisa diskusi baik² bisa di omongin baik² , suka banget ngambil keputusan saat emosi