Di tengah masalah pelik yang menimpa usaha kulinernya, yang terancam mengalami pengusiran oleh pemilik bangunan, Nitara berkenalan dengan Eros, lelaki pemilik toko es krim yang dulu pernah berjaya, namun kini bangkrut. Eros juga memiliki lidah istimewa yang dapat membongkar resep makanan apa pun.
Di sisi lain, Dani teman sedari kecil Nitara tiba-tiba saja dianugerahi kemampuan melukis luar biasa. Padahal selama ini dia sama sekali tak pernah belajar melukis. Paling gila, Dani tahu-tahu jatuh cinta pada Tante Liswara, ibunda Nitara.
Banyak kejanggalan di antara Dani dan Eros membuat Nitara berpikir, keduanya sepertinya tengah masuk dalam keterkaitan supernatural yang sulit dijelaskan. Keterkaitan itu bermula dari transfusi darah di antara keduanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon OMIUS, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Yang keempat Belas
“Bu, Tara mau tanya, apa benar Ibu rutin kirim paket ke Pak Juanda yang pelukis itu?”
Sang Ibu yang ditanya tampak kaget, tak menyangka putrinya akan bertanya seperti itu. Lantas mengernyitkan keningnya sembari balik bertanya, “Siapa yang kasih tahu, Tara?”
“Berarti memang benar Ibu rutin kirim botol minyak aroma terapi ke alamat Pak Juanda?”
“Ooo ... pasti Irman yang kasih tahu, ya? Itu anak sekarang jadi susah dipercaya.”
“Bukan Kak Irman, Bu. Tara sendiri yang menduganya.”
“Hanya Ibu dan Irman yang tahu soal paket itu. Tara enggak mungkin tahu!”
“Tara tahu dari kertas bungkus paketnya yang sempat dibuang Ibu.” Demi melindungi Irman, Nitara tak ragu membual.
“Kayaknya Tara lagi berbohong ya?” desak Ibunya yang masih saja menaruh curiga. “Tara jarang sekali berkata bohong, sekalinya berbohong, pancaran aura mukamu pasti langsung meredup.
“Memang muka Tara cahaya lampu gitu, sampai bisa meredup segala. Enggak ada yang berubah dari pancaran muka Tara, apalagi karakternya kok, Bu,” sangkal Tara. “Lagian, untuk apa Tara berbohong sama Ibu?”
“Ya untuk melindungi Irman, supaya Ibu tidak memarahi itu anak,” jawab ibunya penuh keyakinan.
“Jadi Ibu enggak merasa pernah membuang kertas pembungkus paketnya?”
“Mana pernah Ibu merobek bungkus paketnya, terus sembarang dibuang.”
Kelihatannya ibunya akan terus bersikukuh jika dirinya berbohong. Tapi, itu bisa berarti pertanda jika ibunya memang sedang berupaya menutupi sesuatu. Oleh karenanya Nitara harus mengubah cara, tak lagi mendesak ibunya, namun menyinggung satu momen. Mengingat memori ibunya mulai membaik, Nitara boleh berharap ibunya masih mengingatnya.
“Mudah-mudahan Ibu masih ingat waktu botol aroma terapinya pecah, terus paketnya jadi basah. Lalu Ibu ganti bungkus paketnya dengan yang baru.”
Ibunya spontan tertegun mendengar penuturannya.
“Tara tahu kejadiannya gara-gara dulu tak sengaja nemu kertas pembungkus paket di keranjang sampah kering. Mungkin bukan Ibu yang buang, tapi Kak Irman. Di kertas pembungkus paket ada tulisan tangan Ibu. Isinya alamat tujuan, serta nama Juanda Effendi sebagai penerima paket.”
Setelah kembali terdiam sesaat ibunya lalu berkata lagi. “Iya memang, Ibu dulu rutin kirim botol minyak aroma terapi untuk Pak Juanda.”
Nitara boleh senang. Memori ibunya ternyata mampu mengingat momen yang tadi disinggungnya.
“Cuma kirim minyak aroma terapi saja sampai harus ditutup-tutupi,” sentil Nitara, “sejak kapan, Bu?”
“Sejak menikah dengan bapakmu.”
“Kok Tara enggak pernah tahu.”
“Ibu sengaja menutupinya. Soalnya kalau bapakmu tahu bakalan ngomel terus. Kalau sesekali diberi mungkin bapakmu nggak keberatan, tapi ini rutin tiap empat bulan sekali.”
“Terus tujuannya apa?”
“Sama seperti temanmu Deli.”
“Sumber inspirasi juga.”
Ibunya mengangguk.
“Kayaknya Pak Juanda senasib dengan Deli, jadi ketergantungan sama wangi uap minyak aroma terapi buat inspirasi melukis.”
“Seperti itu memang.”
“Terakhir kapan Ibu kirim paketnya?”
“Duuuh ... Ibu kok serasa diinterogasi sama polisi.”
“Bukan begitu, Bu. Percayalah, Tara bertanya demi kebaikan Ibu kok!”
“Terakhir dikirim sekira dua tahun lalu, atau dua hari sebelum almarhum meninggal. Malah Ibu masih ingat kalau paketnya dibungkus pakai kertas kado batik parang rusak. Warna kertasnya cokelat.”
Ternyata ibunya berhasil mengingat kembali rupa kertas pembungkus paket. Satu kemajuan meski mungkin kurang banyak memberi manfaat baginya. Kendati demikian Nitara tetap mensyukurinya. Paling tidak semakin bertambah lagi memori ibunya yang pulih. Sebelum-sebelumnya pun dia kerap mendapati ibunya, yang spontan bercerita akan pengalaman semasa muda dulu. Cerita yang sama persis pernah juga didengarnya sebelum ibunya terserang stroke.
“Karena Ibu mengirimnya dua hari sebelum Pak Juanda meninggal, ada kemungkinan paketnya belum dibuka.”
“Eh, benar sekali, Tara! Kenapa Ibu enggak berpikir seperti itu ya?” sahut ibunya sembari mengangkat sepasang alis, serta membelalakkan kedua bola mata. Ibunya tertentang antusias karena serasa beroleh asa baru.
Mendapati antusias yang muncul pada ibunya, Nitara tak ingin menyia-nyiakannya. “Mudah-mudahan kerabat Pak Juanda tidak mengambil isi paketnya.”
“Pak Juanda biasa hidup sendirian, tak pernah disambangi kerabat. Satu-satunya kerabat yang dekat cuma keponakan laki-lakinya yang masih SMA. Kayaknya belum terlalu familier sama minyak aroma terapi.”
“Ibu tahu alamat tinggal Pak Juanda? Kemarin itu Tara enggak detail baca alamat tujuan di sobekan bungkusan paket.”
“Aduuuh ... mana bisa Ibu ingat, Tara. Mana Pak Juanda alamat tinggalnya kerap berpindah-pindah, soalnya ngontrak.”
Nitara cuma bisa mencemberutkan bibirnya. Upaya dirinya untuk memancing-mancing ibunya, sepertinya masih jauh dari harapan akibat persoalan memori.
“Cuma alamat yang terakhir ... sepertinya Ibu masih ingat.”
“Di mana, Bu?” Di luar dugaan ibunya lalu memberinya kejutan. Nitara sontak antusias.
“Ralat! Maksud Ibu, yang masih diingat itu bukan alamat tinggal, tapi batas kontrakannya baru berakhir Febuari tahun depan.”
Karuan Nitara harus kembali mencemberutkan bibirnya.
“Seingat Tara, Pak Juanda dulu pernah berkunjung ke rumah. Semestinya Ibu pernah juga menyambangi kediamannya?”
“Setelah menikah dengan bapakmu, belum sekali pun Ibu datang ke rumah kontrakannya. Selama ini Ibu berhubungan dengan Pak Juanda cuma SMS-an pakai hape jadul.”
“Nomor ponselnya?”
“Nomor ponselnya sekarang jadi enggak aktif, mungkin karena Pak Juanda sudah almarhum.”
“Sebentar, Bu!” sahutnya, “semestinya Ibu punya catatan alamat-alamat kontrakan Pak Juanda. Bukankah Ibu yang dulu nulis alamat tujuan di paket?”
“Ibu memang mencatat semua alamat rumah kontrakannya di buku harian.“
“Kok di buku harian, Bu?” heran Nitara lagi. Memang budaya mencatat generasi ibunya lebih suka serba manual dibandingkan cara digital. Meski begitu tetap saja mencatatkan alamat tinggal di buku harian adalah kurang tepat, atau malah janggal.
“Sebenarnya di buku saku. Tapi, karena buku sakunya kecil, Ibu biasa menyelipkannya ke dalam buku harian.”
“Karena masa sewa rumahnya baru berakhir tujuh bulan lagi, mudah-mudahan barang-barang Pak Juanda masih tetap di kontrakannya saat Tara telusuri nanti. Termasuk botol minyak aroma terapi yang tersisa.”
“Masalahnya buku harian Ibu turut dijarah perampok kemarin.”
“Ngapain perampok ngejarah buku harian segala?”
“Apes saja! Waktu itu buku hariannya Ibu simpan ke dalam brankas.”
Nitara hanya dapat mengangakan mulutnya.
o14o