Tiga tahun Arunika rela menjadi istri yang sempurna. Ia bekerja keras, mengorbankan harga diri, bahkan menahan hinaan dari ibu mertua demi menyelamatkan perusahaan suaminya. Namun di hari ulang tahun pernikahan mereka, ia justru dipaksa menyaksikan pengkhianatan paling kejam, suami yang ia cintai berselingkuh dengan sahabatnya sendiri.
Diusir tanpa belas kasihan, Arunika hancur. Hingga sosok dari masa lalunya muncul, Rafael, pria yang dulu pernah dijodohkan dengannya seorang mafia yang berdarah dingin namun setia. Akankah, Rafael datang dengan hati yang sama, atau tersimpan dendam karena pernah ditinggalkan di masa lalu?
Arunika menyeka air mata yang mengalir sendu di pipinya sembari berkata, "Rafael, aku tahu kamu adalah pria yang kejam, pria tanpa belas kasihan, maka dari itu ajari aku untuk bisa seperti kamu!" tatapannya tajam penuh tekad dan dendam yang membara di dalam hatinya, Rafael tersenyum simpul dan penuh makna, sembari membelai pipi Arunika yang basah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
15. Perang sudah dimulai
Malam berganti pagi, langit kota masih kelabu ketika Rafael duduk di ruang kerjanya di Pentronas. Jendela kaca setinggi langit-langit menampilkan pemandangan kota yang sibuk, namun tatapan Rafael hanya terpusat pada layar laptop di depannya.
Di sampingnya, Arunika masih mengenakan kimono tipis, rambut tergerai setelah malam panjang yang penuh dominasi. Wanita itu menyesap kopi dengan tenang, seolah sedang menonton sebuah pertunjukan.
Di layar, serangkaian grafik dan laporan keuangan milik perusahaan Ardian terpampang jelas. Rafael mengetik beberapa instruksi cepat, menghubungkan jaringan investornya, lalu menghubungi broker-broker papan atas yang selama ini berada di bawah genggamannya.
“Mulai sekarang, buang semua saham Ardian Corp. Buat mereka anjlok,” perintah Rafael datar, nyaris tanpa ekspresi.
“Dan pastikan setiap investor mendengar rumor tentang krisis internal mereka. Aku ingin pasar panik dalam satu hari.”
Suara di seberang telepon langsung mengiyakan. Rafael menutup panggilan, lalu menatap Arunika yang tersenyum samar.
“Permintaan pertamamu…” Rafael menghela napas ringan, lalu menyeringai dingin.
"Sedang berjalan.”
Arunika mendekat, jemari lentiknya menyentuh dagu Rafael.
“Kau membuatnya terdengar terlalu mudah, padahal ini akan menghancurkan seluruh hidup Ardian.”
“Karena bagiku memang mudah, Aru.” Rafael menatap balik dengan sorot mata dingin, tapi ada sedikit bara di dalamnya. “Ardian hanya buaya tambak, aku hiu di lautan.”
Beberapa jam kemudian, portal berita finansial ramai memberitakan keruntuhan mendadak perusahaan Ardian. Arunika tersenyum puas membaca berita itu dari layar ponselnya. Namun, ia belum selesai, dia menoleh pada Rafael yang sedang mengancingkan jasnya, bersiap pergi.
“Bagaimana dengan Shila?” tanyanya lembut, tapi tatapan matanya penuh api.
Rafael melangkah mendekat, tangannya mengangkat dagu Arunika.
“Aku sudah mengirimkan potongan rekaman pesta semalam ke media. Dalam beberapa jam, publik akan tahu siapa Shila sebenarnya. Bukan hanya kehilangan bayinya, dia juga akan kehilangan nama baiknya.”
Arunika terkekeh pelan, menempelkan bibirnya di leher Rafael.
“Lalu … Paman Zhilo?” bisiknya.
Rafael menatap lurus ke depan, sorot matanya gelap.
“Itu akan lebih rumit. Tuan Roman harus dipaksa memandang Zhilo sebagai beban. Tapi percayalah…” Rafael menempelkan bibirnya ke telinga Arunika, suaranya dingin menusuk. "Aku akan membuat ayahmu sendiri mengusirnya tanpa perlu kau mengangkat jari sedikit pun.”
Arunika menutup mata, puas. Di sisi lain, ia sadar, Rafael bukan sekadar suami atau pelindung. Dia adalah mesin perang yang bisa ia kendalikan dengan satu bisikan.
Di pagi yang sama, ruang rapat utama perusahaan milik Ardian dipenuhi wajah-wajah pucat. Laporan keuangan terbaru dibacakan dengan suara gemetar, saham anjlok tajam, kontrak besar dibatalkan, investor kabur satu per satu.
Ardian duduk di kursinya, wajahnya tegang, keringat dingin membasahi pelipisnya. Dia meremas rambutnya sendiri, tak percaya betapa cepatnya kehancuran datang.
“Bagaimana bisa…?!” suaranya serak, penuh kemarahan. “Kemarin kita masih stabil, sekarang … hancur?! Siapa yang berani menjatuhkanku?!”
Namun jauh di dalam hatinya, ia tahu. Nama itu muncul dalam pikirannya, bagai bayangan gelap yang terus menertawakan dirinya, Rafael, orang yang kini akan bertanggung jawab sebagai kehancurannya.
Sementara itu, di rumah sakit, Shila terbaring lemah di ranjang putih. Wajahnya pucat, matanya sembab karena menangis sepanjang malam. Dokter baru saja meninggalkan kamar, meninggalkan kabar pahit, janin yang ia kandung tak dapat diselamatkan.
Tangis lirihnya pecah lagi, menyayat hati perawat yang menjaganya. Namun yang lebih menyakitkan bagi Shila bukan hanya kehilangan bayinya, melainkan layar televisi di kamar rawatnya. Setiap saluran menayangkan berita yang sama,
“Nona muda Arummuda akhirnya muncul di hadapan publik yaitu Arunika resmi mengakui identitasnya.”
Foto-foto Arunika tersebar, wajahnya cantik, tegar, berwibawa. Sementara Shila hanya bisa menatap dengan mata penuh iri dan putus asa.
“Aku … seharusnya aku yang ada di sana…” gumamnya serak, air mata menetes lagi, frustrasi menelannya bulat-bulat. Ardian masuk ke ruang rawat, wajahnya kusut. Dia menatap Shila sekilas, lalu pandangannya beralih ke televisi yang menampilkan Arunika tersenyum elegan di hadapan kamera. Dadanya bergemuruh, penyesalan menyesakkan dadanya.
“Arunika…” bisiknya.
“Aku bodoh … menceraikanmu. Aku harus mendapatmu kembali. Bagaimanapun caranya.”
"Kau masih berani mengatakan itu, brengsek?!" teriak Shila frustrasi yang berbaring di ranjang rumah sakit. Namun kata-kata itu justru membuat Ardian semakin yakin Arunika akan kembali padanya.
Di sisi lain, di kediaman Arummuda, Roman berdiri di ruang kerjanya. Berita yang sama terpampang di layar besar, Arunika dengan bangga memperkenalkan dirinya sebagai pewaris sah keluarga Arummuda.
Roman mendengus kasar, wajahnya memerah. Dengan satu gerakan brutal ia menyapu meja kerjanya, menghancurkan tumpukan berkas dan gelas kristal yang pecah berhamburan di lantai.
“Tidak!” teriaknya, suaranya menggema memenuhi ruangan.
“Tiga tahun aku menunggu momen ini! Tiga tahun aku menyiapkan semua rencana, dan hanya dalam satu malam … semua berantakan!”
Tangannya mengepal, matanya merah penuh amarah. Nafasnya memburu, seperti singa yang siap menerkam.
“Arunika…” desisnya dengan nada membunuh.
“Kau pikir ini kemenanganmu? Tidak. Kau baru saja menyalakan perang yang tidak akan pernah bisa kau hentikan.”
Roman menendang kursinya hingga terjungkal, lalu menatap ke arah pintu. Wajahnya keras, sorot matanya liar. Ponsel Roman berdering, itu panggilan dari Rafael, Pria itu meminta Roman untuk mengadakan rapat besok. Tangan Roman terkepal erat mendengar permintaan itu tetapi dia tak bisa menolak selain menyetujuinya.
"Brengsek!" maki Roman setelah panggilan berakhir.
Salam sehat ttp semangat... 💪💪😘😘
Salam kenal Thor.. 🙏🏻
mikir nihh