Aku ingin kebebasan.
Aku ingin hidup di atas keputusanku sendiri. Tapi semua itu lenyap, hancur… hanya karena satu malam yang tak pernah kusangka.
“Kamu akan menikah, Kia,” kata Kakek, dengan suara berat yang tak bisa dibantah. “Besok pagi. Dengan Ustadz Damar.”
Aku tertawa. Sebodoh itu kah lelucon keluarga ini? Tapi tak ada satu pun wajah yang ikut tertawa. Bahkan Mamiku, wanita modern yang biasanya jadi pembelaku, hanya menunduk pasrah.
“Dia putra Kiyai Hisyam,” lanjut Kakek.
“Lulusan Kairo. Anak muda yang bersih namanya. Cermin yang tepat untuk membasuh aib keluargamu.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fania Mikaila AzZahrah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 29
Pagi itu halaman pondok sudah dipenuhi jamaah ibu-ibu dan beberapa santri yang duduk bersila rapi, mendengarkan kajian dari Ustadz Damar yang tengah menjelaskan tafsir surat Maryam.
Suaranya tenang, penuh wibawa, khas gaya ceramahnya yang disukai banyak orang terutama kaum hawa yang diam-diam memfavoritkannya sejak dulu.
Namun suasana mendadak ricuh ketika seorang santri putri dari kejauhan berteriak.
“Ustadz! Ustadz! Itu istrinya manjat pohon mangga, Ustaaadz!”
Semua kepala langsung menoleh ke arah kebun samping pondok. Beberapa ibu-ibu mulai ribut, ada yang geleng-geleng kepala, ada pula yang menahan tawa.
Di atas dahan pohon mangga, tampak Kia dengan gamis dan sandal jepit berusaha meraih mangga muda sambil sesekali mengomel sendiri.
“Aduh, tinggal sedikit lagi! Yang besar itu, ih, sebel deh mangga ini manja banget!”
Ustadz Damar sempat melongo beberapa detik. Bibirnya berkedut menahan tawa. Ia batuk kecil, lalu berkata di depan mikrofon.
“Maaf, kajian kita ditunda dulu lima menit Saya harus menyelamatkan kehormatan keluarga dari skandal mangga muda.”
Para jemaah pun langsung tertawa. Suasana jadi hangat dan santai.
Damar berjalan cepat ke arah pohon sambil mengangkat sarung sedikit, lalu berseru, “Sayang, turun. Ustadznya malu sama jamaah, tau nggak!”
Dari atas pohon Kia menjawab santai, “Aku ngidam mangga muda sama jeruk Bali. Salah siapa semalem manis-manisnya kebangetan!”
“Ya Allah…” Ustadz Damar mendadak terdiam. Merah mukanya bukan karena marah, tapi karena semua ibu-ibu sudah mulai cekikikan paham maksud ucapannya.
Akhirnya, Damar membantu Kia turun dengan pelan, dan memetikkan sendiri dua mangga besar buat istrinya. Sambil berjalan kembali ke kamar, Kia berbisik manja, “Makanya jangan bikin aku jatuh cinta sampai ke ubun-ubun, aku jadi pengen yang aneh-aneh.”
Ustadz Damar mendesah, “Besok jangan manjat pohon manjat hati saya aja cukup.”
Setelah turun dari pohon dibantu Ustadz Damar, Kia menyeka keringat di pelipisnya. Ia berdiri tegap dengan gamis modis warna olive yang masih sedikit kotor karena sempat bergesekan dengan batang pohon.
Belum sempat ia menata napas, ibu-ibu jamaah langsung mengerubunginya, seperti lebah mencium madu.
"Wah, pantas manjat pohon, pasti ngidam ya..."
"Iya, iya katanya kalau ngidam mangga muda tuh tandanya isi."
"Masya Allah, cepet banget ya, baru sebulan nikah. Alhamdulillaah."
"Anaknya pasti ganteng kek ustadznya!"
Kia sempat melongo beberapa detik, matanya membulat, lalu mengangkat alisnya perlahan. Ustadz Damar yang tadi mencoba kabur pelan-pelan, spontan menahan napas saat melihat ekspresi istrinya berubah drastis dari polos manis jadi aura CEO siap sidak anak buahnya yang telat laporan.
Dengan senyum tipis tapi tajam, Kia menatap ibu-ibu satu per satu.
“Ngidam mangga muda itu bukan berarti hamil, Bu. Itu bisa juga artinya saya sedang lapar dan suami saya nggak nyediain sarapan yang enak.”
Nada suaranya tenang, tapi sengatan sarkasmenya terasa sampai ke ubun-ubun.
Ibu-ibu saling pandang. Tapi Kia belum selesai. Ia melipat tangan di depan dada dan menambahkan.
“Dan satu lagi ya, saya ini bukan gadis 19 tahun yang begitu nikah langsung dikasih kerjaan hamil. Saya masih punya rencana lain, termasuk mengatur jadwal Damar supaya nggak asal semangat malam tapi lupa sarapan paginya.”
Ustadz Damar yang dari kejauhan hanya bisa menunduk malu sambil menutupi wajah dengan serban.
“Hehehe…” suara tawa canggung para ibu pun berbaur dengan desahan takjub. Ada yang bisik-bisik pelan, “Istrinya ustadz fierce juga ya.”
Kia lalu mengangkat satu mangga muda hasil panen, mengangkatnya tinggi-tinggi sambil berkata.
“Yang penting ini halal. Dari pohon halal, dipetik istri halal, buat dimakan berdua sama suami halal. Masalah isi atau nggak, urusan Allah. Bukan bahan ghibah.”
Ibu-ibu pun langsung bungkam. Beberapa santri nyengir, beberapa ustadz senior tepuk jidat. Tapi semua setuju Kia bukan perempuan biasa.
Ustadz Damar akhirnya menghampiri Kia dan berbisik, “Ya Allah, bar-bar banget kamu, Sayang…”
Kia menjawab enteng, “Jangan nikahin CEO kalau nggak siap dikejutkan setiap hari.”
Halaman Pondok Pagi Itu
Suasana halaman Pondok Al Firdaus mulai cair kembali. Para santri kembali sibuk dengan aktivitas masing-masing.
Sebagian ibu-ibu masih berdiri bergerombol, nyengir sambil sesekali melirik ke arah Kia dengan sorot penasaran yang tak bisa disembunyikan.
Tiba-tiba, Bu Musrifah ibu-ibu paling vokal sekaligus paling semangat sedari tadi melangkah cepat menghampiri Ustadz Damar.
Wajahnya penuh tekad, seolah tengah mengusulkan musyawarah nasional.
“Ustadz,” serunya penuh semangat, “demi kebaikan bersama dan menghindari fitnah, saya usul Ustadz beli testpack sekarang juga. Jangan ditunda. Kalau perlu, kami siap jadi saksi!”
Ustadz Damar yang baru saja meneguk air mineral langsung tersedak. Batuk-batuknya mengundang perhatian.
“Saksi apaan, Bu?” tanyanya heran, setengah panik.
“Saksi bahwa istri Ustadz kemungkinan besar sedang berbadan dua! Kalau positif, kita langsung syukuran. Kalau negatif ya, usaha lagi, toh? Rezeki itu harus dijemput,” jawab Bu Musrifah, senyumnya menggoda, dengan semangat khas ibu-ibu jamaah yang rasa kepo-nya sudah mendidih.
Wajah Kia mulai berpendar merah muda. Bukan karena malu, tapi lebih pada campuran jengkel dan geli.
Ia memeluk erat mangga muda yang baru dipetiknya seperti sedang membawa peluru cadangan untuk dilemparkan kapan saja.
“Beli testpack itu bukan karena desakan massa, Bu,” ucap Kia dingin namun tetap sopan. “Itu keputusan personal. Tapi baiklah demi meredam potensi fitnah, kita voting saja. Siapa yang setuju suami saya beli testpack siang ini?”
Seketika halaman pondok bergemuruh: “Setujuuuuuuu!”
Tepuk tangan pun membahana seperti baru saja memenangkan undian arisan bulanan.
Ustadz Damar melirik istrinya panik, lalu berbisik dengan nada putus asa, “Sayang ini kok aku rasanya kayak korban sidang isbat, ya?”
Kia menoleh pelan, senyum manisnya menghantam mental sang suami. “Kalau kamu bisa ceramahin satu mushola penuh soal adab dan kesabaran, masa beli testpack satu aja nggak berani?”
Tiga Puluh Menit Kemudian…
Ustadz Damar berdiri kikuk di depan apotek kecil dekat pasar, ditemani tiga santri remaja yang ditugaskan Kia secara khusus.
“Untuk jaga martabat suami saya yang ulama.”
Dengan wajah waswas, ia membisik ke petugas apotek: “Umm… ada testpack? Yang akurat. Buat istri yang mungkin ya, begitulah.”
Petugas apotek mengangguk dengan senyum lebar. “Oh, yang garis dua atau tiga, Ustadz?”
Ustadz Damar mengerutkan kening. “Lah emangnya ada yang tiga?”
Petugas apotek hanya tertawa, sementara para santri menahan cekikikan di balik masker.
Hari itu, seorang ustadz yang biasa ceramah di hadapan ratusan orang harus menaklukkan satu ujian terberat: membeli testpack, sambil menanggung sorotan jamaah satu komplek.
Tiga santri yang menemani Ustadz Damar malah asyik cekikikan sambil pilih-pilih permen di rak sebelah.
Salah satu dari mereka nyeletuk sambil nyengir, “Ustadz, kalau hasilnya positif, boleh ikut syukuran nggak?”
Ustadz Damar melotot kecil,
“Kalian ikut biar jaga image, bukan buat nambahin keributan,” sergahnya pelan.
Petugas apotek menyerahkan dua bungkus testpack, “Ambil dua sekalian, Ustadz, biar yakin. Yang satu kalau deg-degan, yang satu lagi buat verifikasi,” ujarnya enteng.
Ustadz Damar menatap dua benda itu seperti sedang diberi tugas negara.
“Saya ini ustadz, bukan agen penyelidik,” gumamnya sambil membayar.
Setelah keluar dari apotek, santri paling muda bertanya.
“Mau langsung kita bawa pulang ke Bu Kia, Ustadz?”
Ustadz Damar mengangguk pelan.
“Langsung, jangan mampir-mampir, nanti dikira ngumpet.”
Sesampainya di penginapan, suasana justru sepi. Kia duduk di teras, masih dalam balutan gamis trendy, sedang menggigit mangga muda dengan garam.
Melihat suaminya datang dengan plastik putih transparan, Kia mengangkat alis.
“Lama amat, ini testpack atau surat tanah?” semprot Kia setengah bercanda.
Ustadz Damar menyerahkan bungkusnya pelan.
“Yang mahal dan yang paling akurat. Petugasnya bilang bisa garis dua, bahkan tiga. Aku juga baru tahu,” ujarnya dengan wajah bingung.
Kia menatap plastik itu dengan tenang lalu bangkit.
“Baiklah, aku akan masuk dan pakai ini. Tapi ingat, kamu harus siap kalau hasilnya bikin dunia berputar lebih cepat.”
Ustadz Damar duduk di bangku kayu, menatap langit, “Ya Allah, hamba siap meski deg-degan kayak ujian tafsir dulu,” bisiknya pelan.
Beberapa menit kemudian, suara pintu kamar terbuka. Kia melangkah keluar dengan wajah datar tanpa ekspresi. Ia menggenggam benda mungil berwarna putih itu erat-erat.
Ustadz Damar langsung berdiri,
“Gimana, Sayang? Ada garisnya?” tanyanya gugup.
Kia diam sejenak, lalu menunjukkan hasilnya.
“Aku kasih kamu tiga detik buat nebak sebelum aku lempar ini ke kolam.”
Ustadz Damar mendekat pelan, memicingkan mata.
“Dua garis,” lirihnya,
“Dua garis, Sayang Ya Allah, beneran dua garis...”
Kia menahan senyum, “Ya. Dan kamu bakal digeruduk lagi sama ibu-ibu jamaah sore nanti.”
Ustadz Damar spontan sujud syukur di teras.
“Alhamdulillah...! Ini bukan sekadar garis, ini awal mula garis hidup baru!” serunya penuh haru.
Dari balik jendela, suara santri terdengar,
“Ustadz, kalau anaknya lahir, boleh dinamain Testi atau Packi?”
Kia langsung melempar bantal sofa ke arah suara itu.
“Kalian tuh, ya! Bar-bar semua!”
Tawa meledak di halaman penginapan yang hangat itu.
kia ni ustadz bukan kaleng" kia jdi ngk udah banyak drama 🤣🤣🤣🤣