Aku ingin kebebasan.
Aku ingin hidup di atas keputusanku sendiri. Tapi semua itu lenyap, hancur… hanya karena satu malam yang tak pernah kusangka.
“Kamu akan menikah, Kia,” kata Kakek, dengan suara berat yang tak bisa dibantah. “Besok pagi. Dengan Ustadz Damar.”
Aku tertawa. Sebodoh itu kah lelucon keluarga ini? Tapi tak ada satu pun wajah yang ikut tertawa. Bahkan Mamiku, wanita modern yang biasanya jadi pembelaku, hanya menunduk pasrah.
“Dia putra Kiyai Hisyam,” lanjut Kakek.
“Lulusan Kairo. Anak muda yang bersih namanya. Cermin yang tepat untuk membasuh aib keluargamu.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fania Mikaila AzZahrah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 32
Pagi baru saja menggeliat. Embun masih menempel di dedaunan, dan aroma tanah basah bercampur harumnya teh hangat menyeruak di udara pondok pesantren Al Firdaus. Di area dapur umum, sekelompok santri putri terlihat berkerumun, beberapa masih mengenakan mukena, sebagian lain sudah bersiap dengan kegiatan pagi.
“Eh, eh, seriusan itu bunga gede banget, kayak buat lamaran di drama Korea,” bisik Fatimah sambil menggigit roti tawar, matanya masih berbinar.
“Iya, semalam aku lihat, bentuknya kayak buket raksasa. Mawar, melati, matahari semua dicampur. Masya Allah, romantis banget ustadz Damar,” timpal Laila sambil tersenyum malu.
“Kalau aku dikasih begitu, pasti langsung nyuruh dia nikah lima lagi,” celetuk Nur sambil tertawa kecil.
Yang lain tertawa, beberapa langsung menyodorkan ide absurd. Ada yang bilang mau dikado lemari isi skincare, ada yang ngimpi dibelikan sapi buat mahar.
Di tempat lain, suasana terasa lebih tenang. Di teras rumah Nyai Kalsum, Kia dan ustadz Damar duduk berdampingan. Di depan mereka, nampan berisi sarapan khas Jawa: nasi uduk, telur pindang, serundeng, dan teh melati mengepul hangat.
Ustadz Damar menyendokkan serundeng ke piring Kia pelan-pelan.
“Makan yang banyak, nanti dedeknya ngambek,” ucapnya lembut sambil menyuapi Kia.
Kia menyender ke bahunya, senyumnya tipis tapi matanya berkaca. “Kok kamu bisa segitunya, sih?” katanya pelan.
“Karena kamu satu-satunya wanita yang berhasil jinakin aku,” imbuh ustadz Damar tenang.
Kia tersenyum, lalu mendongak. “Aku ngidam. Pengen bulan madu ke Jepang,” ucapnya cepat.
“Jepang?” serunya heran.
“Iya. Hokkaido pas musim salju. Kita berdua pakai jaket tebal, jalan kaki sambil ngobrol, nonton salju jatuh, terus kamu ceramahin aku soal sabar,” jelas Kia antusias.
Ustadz Damar tertawa pelan. “Kalau itu, aku nggak bisa nolak,” katanya sambil mengusap rambut Kia.
Tiba-tiba Nyai Kalsum keluar membawa mangkuk kecil berisi potongan buah.
“Masya Allah, pagi-pagi udah manis bener ini pasangan,” ucap Nyai sambil duduk di dekat mereka.
Kia buru-buru menegakkan duduk. “Maaf, Nyai,” katanya malu.
Nyai tersenyum lebar. “Kia, kamu sekarang bukan cuma jadi istri anakku, tapi bagian dari keluarga besar Al Firdaus. Nggak perlu merasa kecil atau minder. Masa lalu itu bukan kutukan,” imbuhnya tenang.
Kia mengangguk pelan. Suaranya gemetar. “Saya takut nggak bisa jadi istri yang pantas buat ustadz…”
“Justru karena kamu takut, berarti kamu serius. Allah lihat niat, bukan catatan kelam. Dan aku yakin, kamu wanita yang Allah pilih buat mendampingi Damar,” ucap Nyai mantap.
Suasana makin syahdu. Burung-burung mulai berkicau, langit berangsur biru, dan hati Kia terasa ringan. Untuk pertama kalinya, dia merasa benar-benar pulang.
Pagi itu, langit cerah. Di ruang tamu rumah Nyai Kalsum, suasana haru bercampur semangat menyelimuti semua yang hadir. Kia duduk berdampingan dengan sang suami, wajahnya berseri meski sedikit pucat karena mual-mual yang belum reda.
"Dokternya bilang semua aman, alhamdulillah ya Sayang," ujar Kia sambil meraih tangan suaminya yang hangat.
Ustadz Damar tersenyum lebar, matanya menatap penuh syukur, "Aman dan sehat. Sekarang tinggal bahagiain kamu. Kita siap-siap ke Jepang ya, sesuai ngidammu itu."
Putri, sekretaris Kia, datang membawa berkas tiket dan paspor yang sudah beres.
"Ini semua udah beres, Bu Kia. Tiket, hotel, dan surat rekomendasi medis buat jaga-jaga juga udah lengkap," ucapnya sambil menyerahkan map biru.
Fajar, asisten pribadi yang juga ikut repot, menambahkan, "Koper juga udah diangkut ke mobil. Kita langsung ke bandara atau mampir dulu ke rumah Nyai?"
"Kita pamit dulu, Faj. Masa pergi jauh nggak minta restu," jawab Kia pelan.
Sesampainya di rumah Nyai Kalsum, suasana langsung berubah khidmat. Zahrah memeluk sang kakak ipar dengan mata berkaca.
"Kalau di sana ada apa-apa, jangan sungkan kabarin kami ya Kak Kia," ucap Zahrah pelan.
"Iya dong, aku bawa dua HP. Satu khusus buat grup keluarga, satu lagi buat video call sama Zahrah," seru Kia sambil menahan air mata.
Nyai Kalsum tersenyum sambil membacakan doa panjang, menadahkan tangan bersama semua yang hadir. Suara lantunan zikir terdengar lembut, menambah suasana jadi tenang dan syahdu.
Usai doa, Ustadz Damar mencium tangan ibunya dengan khidmat. "Doakan perjalanan kami lancar ya Ummi, kami ingin bulan madu sekalian syukuran kehamilan ini."
Nyai Kalsum mengangguk sambil mengusap kepala anak menantunya, "Jaga istrimu baik-baik. Perempuan hamil itu hatinya sensitif, tapi doanya manjur. Jangan bikin dia sedih ya."
Kia tersenyum malu sambil merapatkan jaket panjangnya, "InsyaAllah, saya titip semuanya di sini ya, Nyai."
Tak lama, mobil hitam yang membawa mereka perlahan meninggalkan halaman pesantren. Beberapa santri melambai-lambaikan tangan sambil berseru riang.
"Bu Kia, oleh-olehnya jangan lupa ya!"
"Ustadz Damar, romantis terus ya!"
Mereka hanya tertawa dan membalas dengan senyum. Perjalanan panjang ke Jepang dimulai bukan hanya sebagai honeymoon, tapi juga sebagai bentuk awal petualangan baru menjadi orang tua.
Bandara Haneda – Tokyo, Jepang.
Langkah Kia melambat ketika pintu otomatis terbuka. Angin dingin menyambut wajahnya. Aroma khas Jepang yang lama ia rindukan—perpaduan wangi udara bersih, bunga sakura, dan jejak kenangan masa kecilnya—menyergap seluruh panca inderanya.
“Mas… aku pulang,” bisiknya lirih sambil menatap langit Tokyo yang biru pucat, dihiasi awan tipis dan kelopak sakura berterbangan.
Ustadz Damar menggenggam tangannya erat. “Pulang? Ini pertama kalinya aku dengar kamu bilang begitu.”
Kia tersenyum samar. “Karena aku lahir di sini. Dibesarkan sampai umur enam tahun sebelum pindah. Kakek dari Mama kan orang sini. Rumahnya dulu dekat Suginami.”
Damar mengangguk, penuh takjub. “Berarti kamu bukan cuma perempuan cantik. Tapi setengah ninja.”
“Setengah ninja, setengah ngidam,” sahut Kia sambil tertawa kecil.
Setelah check-in di sebuah ryokan sederhana dekat taman sakura, mereka berjalan santai menyusuri jalan kecil di kawasan Asakusa. Bunga sakura mekar sempurna di kanan kiri jalan. Langkah mereka pelan. Sepatu Kia sesekali menyentuh kelopak yang gugur di trotoar.
Tiba-tiba Kia berhenti.
“Mas,” ucapnya sambil menahan perut.
Damar langsung panik. “Kamu mules? Mual? Kontraksi?!”
“Bukan. Aku ngidam.”
“Ngidam apa lagi?” Damar bersiap mental.
“Aku pengen makan onigiri isi durian…”
Damar bengong. “Itu… perpaduan dosa kuliner. Siapa yang jual?!”
Kia nyengir. “Ada kok. Dulu aku pernah makan waktu kecil. Cuma dijual di satu toko kecil dekat Stasiun Kichijoji.”
“Ya Allah…” Damar tepuk jidat. “Oke, kita cari. Demi anak kita yang cita rasanya level lintas budaya.”
Mereka naik kereta ke Kichijoji. Damar sempat kaget melihat Kia fasih sekali berbahasa Jepang saat bertanya arah. Ia seperti melihat sisi lain dari istrinya—lebih bebas, lebih hidup.
Tiba di toko kecil yang katanya “menyimpan kenangan masa kecil”, Kia langsung menunjuk etalase.
“Ini dia!” serunya riang, menunjuk onigiri isi durian yang dibungkus daun bambu.
Damar cuma bisa menatap kosong saat Kia menyantapnya dengan bahagia. “Aku serius, Kia. Anak kita bakal jadi pemecah rekor Guinness untuk rasa makanan paling aneh.”
Kia mengangguk mantap. “Biar dia belajar sejak dalam kandungan: dunia itu penuh warna, Mas.”
Mereka tertawa. Sambil menyantap makanan, sambil menikmati musim semi yang menghangatkan hati, dan menyaksikan kelopak sakura berjatuhan seperti restu dari langit.
Langit Tokyo berwarna pastel sore itu. Angin musim semi mengibaskan helaian jilbab Kia yang menjuntai lembut di pundaknya. Sementara Ustadz Damar menatap kagum ke arah bangunan megah berdiri di hadapan mereka. Kubah biru Masjid Tokyo Camii terlihat bersinar, dilapisi pantulan sinar matahari yang mulai turun perlahan.
“MasyaAllah, ini pertama kalinya aku ke masjid ini,” ujar Damar sambil menggenggam tangan Kia.
Kia tersenyum. Matanya berbinar, tapi ada sedikit sendu di ujung tatapannya. “Dulu waktu kecil, setiap Ramadhan aku diajak ke sini sama kakek. Kadang cuma duduk diam sambil dengerin adzan dari balik jendela. Rasanya kayak pulang,” bisiknya pelan.
Mereka berdua melangkah ke dalam dengan penuh takzim. Suasana masjid begitu hening. Suara adzan Ashar terdengar syahdu, menggema dengan irama khas Turki yang menyatu dalam arsitektur Ottoman di tengah jantung Tokyo.
Di bagian depan, beberapa jamaah sudah mulai membentuk saf. Ustadz Damar dan Kia mengambil wudu, lalu salat Ashar berjamaah. Air wudu yang menyentuh kulit terasa dingin, tapi menenangkan. Kia sempat menahan tangis saat sujud terakhir—doanya panjang, lirih, seolah semua isi hati yang tersimpan sejak kecil tumpah dalam diam.
Setelahnya, mereka duduk bersandar di pilar marmer yang sejuk. Damar menatap istrinya lama, lalu mengusap pipi Kia dengan ibu jarinya.
“Kamu tahu nggak?” gumam Damar pelan, “Waktu kamu nangis tadi, aku juga pengin ikut nangis. Tapi aku tahan, takut nanti ada yang bilang imamnya mellow.”
Kia tertawa pelan, memukul pelan dada suaminya, “Yakin nggak ada yang nangis juga?”
“Liat tadi... mas-mas bule di belakang juga hapus air mata. Mungkin mereka pikir kita pasangan drama Turki,” serunya sambil mengedip nakal.
Kia menghela napas panjang. “Aku senang banget, bisa salat di sini bareng kamu, Mas. Rasanya kayak... semua bagian hidupku nyatu. Masa kecil, keluarga, dan sekarang kamu.”
Ustadz Damar merangkul pelan istrinya, lalu berbisik, “Setelah ini, kita cari takoyaki isi strawberry, yuk. Kata kamu kan ngidam makanan aneh.”
“Eh?! Kamu inget?” seru Kia terkejut.
“Masak nggak inget. Ngidamnya aja udah kayak kode keras,” imbuh Damar sambil tertawa.