Aruna murid SMA yang sudah dijodohkan oleh ayahnya dengan Raden Bagaskara.
Di sekolah Aruna dan Bagas bertemu sebagai murid dan guru.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tsantika, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Outbound Fun
Aruna mendesah pelan saat melihat nama yang tertera di daftar tenda: Aletta R. Mahesa.
Satu tenda. Satu malam. Satu orang yang paling ingin ia hindari hari ini.
Ia meletakkan tasnya di salah satu sisi, berusaha menjaga ekspresi datar meski dadanya sesak. Baru saja ia duduk dan membuka ritsleting kantong tidurnya, Aletta berdiri tanpa bicara sepatah kata pun, lalu keluar dari tenda dengan langkah tergesa.
Aruna hanya bisa menatap punggungnya menjauh dengan alis terangkat.
Di tempat lain, di bayang-bayang bus yang sudah kosong, Aletta berdiri gelisah sambil menggenggam ponsel erat-erat. Jarinya mengetik pesan dengan cepat:
"Kak, bisa ketemu sebentar? Di dekat bus."
Tak lama kemudian, langkah kaki mendekat. Bagas muncul dari sisi barat lapangan, mengenakan jaket hitam tipis dengan name tag pengawas kegiatan di dadanya.
"Ada apa, Al?" tanyanya, suara rendah tapi terdengar lelah.
Aletta menatapnya penuh emosi. "Kenapa tadi malam Kakak nggak datang? Aku nunggu."
Bagas menurunkan pandangannya. "Aku baru sampai rumah jam sebelas lewat. Nggak mungkin ke mana-mana lagi. Lagipula itu sudah larut."
Aletta menghela napas berat. "Orang tuaku... sekarang sudah resmi cerai. Tanda tangan terakhirnya pagi tadi."
Bagas hanya mengangguk pelan. “Aku sudah baca kabarnya.”
“Lalu... malam itu, Kakak pergi ke rumah Aruna, kan?”
Bagas menegakkan bahunya. Pandangannya tajam tapi tidak marah. Lebih ke arah tak ingin diusik. “Itu urusan pribadiku, Al. Aku rasa kamu tahu batasnya.”
Aletta memalingkan wajah, rahangnya mengeras.
“Sekarang lebih baik kamu kembali ke tenda. Acara outbound mau mulai. Jangan bikin yang lain nyariin.”
“Kakak beneran nggak mau jujur?”
Bagas tidak menjawab. Ia hanya menatapnya sebentar, lalu berbalik pergi tanpa sepatah kata pun.
Angin perkemahan berembus pelan, membawa serpihan kecewa yang menggantung di mata Aletta.
Langit berada di atas kepala, menandakan siang yang sempurna untuk memulai kegiatan luar ruang. Aruna berjalan pelan menuju lapangan tempat outbound akan dilangsungkan. Rumput hijau basah sisa hujan malam sebelumnya menempel di sepatu ketsnya.
Dari kejauhan, ia melihat Bagas keluar dari arah gerbang kemah. Wajahnya serius, matanya menatap tanah seperti menyimpan sesuatu yang belum selesai. Tak lama, Aletta menyusul dari arah yang sama—selisih beberapa menit. Aruna memperhatikan keduanya, matanya menyipit, namun ekspresinya tetap netral.
“Pasti habis ngobrol,” gumamnya pelan, sebelum membaur ke kerumunan murid yang sudah berkumpul di lapangan utama.
Suara peluit menggema.
“Semua peserta berkumpul! Kita mulai outbound sore ini!” seru Bu Kamila melalui pengeras suara.
Kerumunan murid menyambut dengan sorak dan tepuk tangan. Wajah-wajah muda itu memancarkan semangat, energi, dan... sedikit ambisi.
“Permainan pertama: Tarik Tambang!” lanjut Bu Kamila.
“Astaga,” desah Aruna pelan, setengah malas setengah penasaran.
Ia melirik ke arah Yunda, Windi, dan Amani yang sudah bersiap dengan senyum lebar.
"Semangat dong, Runa!" seru Windi sambil menggulung lengan jaket olahraganya.
"Tarik tambang bukan keahlian aku," jawab Aruna, melirik tali tambang besar yang digulung di tanah seperti ular raksasa.
“Tenang, kita cuma perlu menang gaya, bukan menang otot,” bisik Yunda sambil tertawa.
Aruna menepuk tangan. “Kita bikin tim tarik tambang, yuk!”
Suara sorakan kecil terdengar dari sekelompok murid yang mengangguk semangat. Aruna segera menunjuk beberapa teman dekatnya. Windi, Amani, Yunda—semua bersedia.
Tapi saat ia melambai ke arah Nadia, yang baru saja kembali dari pengambilan air minum, suara lain memanggil lebih dulu.
“Ayo, Nad. Tim aku masih kurang satu orang,” kata Aletta, sambil tersenyum tipis, seperti senjata rahasia yang mematikan.
Nadia ragu sejenak. Ia melirik Aruna, lalu Aletta. Dan seperti di adegan film yang bikin penonton gemas, ia melangkah… ke sisi Aletta.
Aruna tersenyum kaku. “Gak apa-apa,” katanya dalam hati. “Cuma tarik tambang, bukan tarik nyawa.”
Semua murid berkumpul. Dua tim berdiri saling berhadapan, tangan memegang tali panjang, wajah siap bertempur.
Bagas maju ke tengah lapangan, membawa peluit dan ekspresi serius—serius gemas.
“Perhatian! Tarik tambang dimulai dalam hitungan ketiga. Tali batas harus melewati garis tengah. Yang kalah... boleh minta es krim sebagai penghiburan,” katanya sambil menyeringai, matanya menatap ke arah Aruna sejenak.
Aruna pura-pura tak peduli.
Satu... dua... tiiiiit! Peluit ditiup.
Tali ditarik keras dari dua arah. Debu beterbangan. Jeritan semangat terdengar dari semua sisi.
“Ayo! Tarik! Tarik!” seru Aletta dari sisi timnya, tubuhnya condong ke belakang, kaki mencengkeram tanah.
Aruna mengepalkan tangan erat. Tali rasanya panas dan kasar, tapi ia tak ingin kalah. “Sedikit lagi, teman-teman! Jangan lepas!”
Tiba-tiba, Aletta menyuruh timnya menarik lebih keras. Aruna bisa merasakan tarikan mendadak itu.
Tali pembatas semakin mendekat ke arah Aletta. Garis hampir lewat.
Bagas meniup peluit keras-keras.
“Lepaskan talinya sekarang!” serunya.
Tanpa pikir panjang, Aruna melepas genggamannya—sedetik sebelum Aletta melakukannya.
Bruk!
Aletta jatuh terduduk ke belakang, wajahnya terkejut.
“Tim kanan menang!” kata Bagas, menunjuk ke arah Aletta dan Nadia.
Sorak-sorai terdengar. Beberapa siswa berlari ke arah Aletta untuk membantunya berdiri.
Aruna menatap tangan merahnya. Ia menang, tapi entah kenapa... rasanya kalah juga.
Bagas menghampirinya, menyodorkan air minum.
“Hebat. Tapi kamu nekat banget,” katanya setengah khawatir.
Aruna hanya tersenyum kecil. “Namanya juga tarik tambang.”
“Yang kamu tarik bukan cuma tali, tapi perhatian banyak orang,” kata Bagas sambil menyeringai.
Aruna menatapnya heran. “Termasuk kamu?”
“Dari awal, mungkin,” jawabnya cepat.
Lalu ia pergi sebelum Aruna bisa membalas dengan kalimat apapun.
Peluit kembali terdengar, menandai berakhirnya ronde tarik tambang. Bu Kamila segera mengambil alih suasana yang mulai kacau oleh sorakan kemenangan dan kekalahan.
“Selanjutnya, giliran dari tim berikutnya!” seru Bu Kamila, menyebut nama-nama muridnya.
Kerumunan murid bergeser, memberi ruang untuk peserta baru. Sorak-sorai tetap meriah. Di tengah itu, Aruna mengibaskan debu dari lutut celananya dan berdiri, matanya menyusuri sekeliling lapangan.
“Ayo, Runa! Gabung lagi!” panggil Nadia dari sisi barisan.
Aruna hanya mengangkat tangannya, memberi isyarat, ‘kalian saja.’
Hari itu, tubuhnya ikut dalam permainan, tapi pikirannya melayang-layang. Bukan hanya karena Bagas yang terus muncul di sudut pandangnya, atau karena Aletta yang tak henti menunjukkan semangat kompetitifnya, tapi karena ada rasa aneh yang mengganjal sejak dari bus.
Di permainan sebelumnya—balap karung, estafet, hingga lempar bola—Aletta tampak berusaha tampil di setiap kesempatan, seolah ingin membuktikan sesuatu. Bahkan sesekali melempar pandangan ke arah Aruna. Tersirat tantangan yang tidak langsung terucap.
Aruna menyadarinya. Tapi ia tidak menanggapi. Tidak dengan emosi, tidak juga dengan senyum kemenangan.
"Aku ikut lomba bukan buat adu siapa yang paling dekat sama Bagas," bisiknya pada diri sendiri.
Matahari mulai condong ke barat ketika lomba terakhir diumumkan. Suasana semakin ramai. Tapi Aruna malah berjalan pelan ke pinggir lapangan, duduk di atas rumput yang sudah mulai mengering.
Ia melepas sepatunya, meluruskan kakinya, dan menikmati angin yang berembus pelan.
“Capek?” suara dari belakang mengejutkannya.
Bagas.
Aruna tidak menoleh, hanya mengangguk singkat. “Sedikit.”
“Kamu nggak ikut lomba terakhir?”
Aruna menggeleng. “Lagi nggak pengen.”
Bagas ikut duduk di sampingnya, menjaga jarak. Tangannya bersandar di lutut, pandangannya lurus ke arah permainan.
“Dari semua orang, kamu yang paling nggak bisa ditebak,” gumam Bagas.
Aruna menoleh, matanya sempit menatapnya. “Kamu juga. Tapi kamu lebih ahli dalam bikin orang salah paham.”
Bagas tersenyum tipis. “Aku nggak bermaksud bikin kamu bingung.”
“Kamu cuma terlalu baik ke semua orang.”
“Kalau aku baik cuma ke satu orang, kamu tahu nggak siapa itu?” suara Bagas melembut, nyaris seperti gumaman.
Aruna tak menjawab. Ia kembali menatap lapangan, membiarkan permainan terakhir berlangsung... dan membiarkan pertanyaan itu menggantung di udara sore yang mulai redup.