NovelToon NovelToon
Two Bad

Two Bad

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Selingkuh / Murid Genius / Cinta pada Pandangan Pertama / Cinta Seiring Waktu / Bad Boy
Popularitas:594
Nilai: 5
Nama Author: Aalgy Sabila

"Yang kalian lakukan salah."

Baik Meyra maupun Fero tidak mempedulikan apa yang mereka lakukan itu salah atau benar. Yang mereka tau ialah mereka senang dan puas karena melakukan hal yang mereka inginkan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aalgy Sabila, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Eating Sate

...—...

...Sederhana, tapi bermakna....

...—...

Fero menarik tangan Mayra, menyeretnya ke arah yang berlawanan.

"Kenapa ditarik sih?!" protes Mayra.

Fero menatap datar Mayra, "Emang lo tau dimana motor gue?"

Cengiran lebar diberikan Mayra. Saking semangatnya sampai jalan aja lempeng gak belok-belok. Gak tau aja kalau itu bukan arah ke tempat motor Fero.

Fero menaiki motornya, tapi tidak dengan Mayra.

Mayra mengamati dengan seksama motor hitam yang telah dinaiki oleh sang mpunya itu. Ia mengetukkan jari pada dagunya. "Kok kayak pernah liat," gumam Mayra.

Sang mpunya motor sadar akan pengamatan Mayra, ia menaikan satu alisnya. Tingkah Mayra benar-benar absurd. Segala tingkahnya sangat berkebalikan dengan tampang polosnya itu.

"Kenapa?"

"Kayaknya gue kenal sama motor ini," Mayra berkacak pinggang.

Fero menaikkan sebelah alisnya. Bukannya ia tak pernah bertemu Mayra sebelumnya, kecuali saat di club. Namun mengapa Mayra bilang mengenal motornya ini.

Mayra berjingkrak bahagia, "Si motor areng. Akhirnya Mayra yang cantik menemukanmu!"

Berani-beraninya ni anak ngatain motor gue, motor areng!

"Maksud lo?"

Mampus gue, ngomong apaan tadi gue? Nada ngomongnya udah kayak mau nerkam gitu. Apalagi matanya njir, udah melotot-melotot ala-ala genderuwo.

"Eh, nggak. Emang tadi gue ngomong apa?" tanya Mayra pura pura tak tau, yang dibalas Fero dengan tatapan datarnya.

"Naik."

Mayra mengagguk dan menjulurkan tangannya ke arah Fero—yang hanya ditatap sedemikian rupa. Gadis bermata sipit itu memutar bola matanya jengah, "Minjem tangan lo, gue mau naik, susah."

Akhirnya Fero mengulurkan tangannya dan membantu Mayra naik ke motor besarnya.

"Le, di depan ada tukang sate. Berenti di sana," ucap Mayra sambil menunjuk spanduk bertuliskan 'Sate jomlo'.

Fero mengernyitkan dahinya mendengar panggilan 'Le' dari Mayra.

"Eh, sorry. Gue manggil lo 'Le'," ujar Mayra sambil turun dari motor Fero.

"Kenapa?"

Mayra berdiri menghadap pada Fero yang masih belum ingin beranjak dari motornya.

"Lo itu 'kan emang sering dipanggil Bule, ya nggak?"

Fero menggangguk.

"Jadi, nggak masalah 'kan kalau gue panggil lo—Le?"

Fero mengangguk dan menggeleng.

Mayra menyatukan alisnya. "Loh, kok?"

Fero menggeleng, "Kayak orang Jawa."

Setelah mengucapkan itu Fero turun dari motor hitamnya.

Otak Mayra memang benar-benar lemot ya, liat ajja—Fero ngomong gitu masih ajja tuh alis nyatu. Badan boleh tinggi, tapi otaknya benar-benar berkebalikan dengan tinggi badannya itu.

Apa maksudnya si Bule coba?

Alis Mayra semakin menukik tajam, sementara Fero mengamati tempat pedagang sate ini. Sate Jomlo, kenapa dikasih nama Jomlo? Pikir Fero.

"Ah, udahlah. Pusing gue mikirinnya." Gumam Mayra.

Tangan Fero ditarik Mayra untuk memasuki kedai sate yang hanya diberi pelindung terpal di atasnya disertai meja dan kursi di setiap mejanya.

Mereka mendudukan bokong mereka di kursi yang masih kosong.

Fero mengamati sekitarnya. Tempat ini bisa dibilang cukup ramai, walau ada beberapa meja yang kosong, beberapa pengunjung mengamatinya secara terang-terangan, tapi Fero tak peduli. Si penjual bertubuh kurus, namun gerakannya sangat lincah. Keringat bercucuran di dahinya karna harus berhadapan dengan arang panas yang berasal dari batok kelapa. Daging yang telah ditusuk berjejer di atas arang dengan penghalang besi-besi silinder kecil menyerupai penjara satu sisi. Lalu yang terakhir, spanduk bertuliskan 'Sate Jomlo' bertengger di atas sana.

"Kenapa?" tanya Fero dengan tetap melihat pada spanduk itu.

Telunjuk Mayra mengarah pada pandangan Fero. "Oh, itu?"

Fero mengangguk.

"Nggak tau." Mayra mengedikkan bajunya.

"Penjualnya jomlo."

Mayra mendengar dengan jelas apa yang diucapkan Fero dan ia tak bisa menahan untuk tidak tertawa. Ia tertawa terpingkal-pingkal sambil memukul-mukul meja, hingga membuat beberapa orang menoleh padanya.

"Kenapa?"

Mayra mengusap dadanya berulang kali, untuk meredakan tawanya.

"Lo bilang kenapa? Lo itu bisa lucu juga ya," ucap Mayra sambil berusaha meredakan tawanya. "Eh, gue baru nyadar. Lo dari tadi bilang kenapa udah tiga kali deh, untung gue ngerti apa yang lo maksud."

Fero tidak bergeming.

Mayra menghadap sepenuhnya pada Fero. "Sebelum lo nanya kenapa gue ngajak lo kesini," Mayra menarik napasnya. "Jadi ceritanya gue mau nraktir lo makan sate disini, soalnya lo udah nyelamatin gue dari bayang-bayang masa lalu."

Fero mngernyitkan dahinya. "Masa lalu?"

"Tadi gue lagi sama Ica ngobrol gitu ya, terus tiba-tiba ajja gue pengen ngeliat ke sebrang jalan. Pas gue nengok, eh ada mantan sama pacarnya. Gue tatap-tatapan sama dia, lama banget. Di jalan juga nggak ada motor atau mobil yang lewat, tapi nggak lama kemudian motor lo—si areng, lewat depan gue, jadi deh gue udahan tatap-tatapan sama si mantan."

Di akhir kalimatnya, Fero melihat ada binar sedih di mata Mayra. Apakah Mayra tak mengharapkannya untuk datang pada saat itu?

"Lo tau nggak sih Fer?"

Fero menggeleng.

"Sate kambing nggak enak," ucap Mayra sambil mengerutkan dahinya tak suka.

"Terus?"

"Makannya gue nggak pernah beli sate kambing, selalu belinya sate ayam. Kalau lo sendiri?"

"Sama."

Mayra mendesah kasar. "Untung gue sabar, dari tadi ngomong lo irit banget sih. Nggak punya perbendaharaan kata?"

"Punya."

"Kenapa nggak dipake?"

Fero diam.

"Punya ilmu itu diamalin, bukannya dipendem. Ntar ketimbun sama yang lain jadi lupa deh,"

"Iya deh, iya." Nada suara Fero berubah lebih bersahabat. Dan setelahnya Mayra berjingkrak-jingkrak bahagia. Tanpa sadar Fero ikut menarik bibirnya ke atas.

Kenapa bisa semudah itu dirinya membuka diri pada orang lain yang baru dikenalnya?

Entahlah, Fero juga bingung enggan dirinya sendiri. Mungkin dirinya mulai bisa membuka hatinya setelah kehilangan yang ia rasakan.

"Lucu banget sih kalau senyum," ucapan gemas Mayra menyentaknya dari lamunan. Wajahnya kembali seperti sebelumnya—tanpa ekspresi.

"Senyum lagi dong!"

Fero menggeleng.

Mayra cemberut. Ia menumpukkan kedua tangannya di meja dan kepalanya ia simpan di atasnya.

Mau tak mau Fero tersenyum.

Mayra melirik kesamping—dan saat melirik—ia melihat Fero tersenyum ganteng. Kepalanya langsung ikut menoleh pada Fero. Dan Fero hanya terus tersenyum.

"Ganteng banget sih," gumam Mayra lirih.

Fero semakin tersenyum lebar.

"Fero, gue nggak kuat kalau gini."

Mayra mengenggelamkan wajahnya di meja dengan muka mupengnya itu.

"Udah pesen?" tanya Fero.

Mayra menggeleng.

Fero berdiri dan berniat untuk memesan pesanan mereka.

"No, no, no," ucap Mayra sambil menggelangkan kepalanya ke kanan dan ke kiri.

Satu alis Fero terangkat.

"Gue aja, gue yang traktir, gue yang ngajak, gue pesen, dan terserah gue mau pesen berapa, oke?"

Kepala Fero mengangguk.

Mayra berdecak. "Jawab dong!"

"Iya, terserah lo."

Mayra bergerak mengikuti Fero yang berdiri, dan Fero menggantikan Mayra yang duduk. "Tungguin ya!"

"Iya."

Mayra berjalan dengan riang ke gerobak penjual sate.

"Mang Aseppp! 4O tusuk yaaa!" ucap Mayra tepat di samping telinga Mang Asep.

"Iya, neng Mayra cantik." Mang Asep tersenyum lebar, tak masalah dengan telinganya yang kapan saja bisa rusak karna harus terus mendengar teriakan Mayra.

"Kok, banyak amat Neng Cantik?"

"Sama temen Mang."

"Yang mana?"

"Yang bule Mang, cowok."

Mang Asep mendapati keberadaan Fero. "Oh, yang itu. Pacar kali neng, kasep kitu."

"Temen Mang," elak Mayra. Emang bener kan temen, gak tau deh kalau di masa depan. Hehe.

Mang Asep mengangkat berpuluh-puluh tusuk sate dari panggangannya.

"Nitip ini dulu ya Neng, Mang mau nganterin pesenan."

Mayra mengangguk. Ia sudah sering ke sini dan sudah mengenal baik Mang Asep. Kadang-kadang ia selalu membantu Mang Asep berjualan saat sedang suntuk.

Mang Asep mengantarkan pesanannya ke meja di dekat Fero, ia ingin sedikit berbincang dengan teman si neng cantik.

"Kang?"

"Iya." Fero berusaha bersikap sopan terhadap orang tua dengan menjawab seperti itu, biasanya ia tak menjawab sama sekali.

"Temennya Neng Cantik?"

Fero mengernyitkan dahinya.

Siapa Neng Cantik?

"Maksud Mang, Neng Mayra."

Fero mengangguk. "Iya Mang."

"Saya mau cerita nih kang," mang Asep menarik kursi dan duduk tepat di hadapan Fero. "Neng Mayra ini sudah saya anggap sebagai anak saya sendiri. Kelakuan neng Mayra emang nggak masuk akal, selalu ngelakuin hal-hal aneh. Tapi dia selalu bantuin saya dagang sate kang, walaupun cuma hal sederhana kayak gitu, tapi saya terharu." Mang Asep menatap Fero dengan pandangan sedihnya.

Fero tetap dengan wajah datarnya. Untuk apa menceritakan itu semua padanya?

"Neng Cantik kalau ke sini pasti lagi sedih—tapi kadang-kadang juga suka ke diskotik. Saya sedih dengernya Kang, dulu Neng Cantik baik nggak kayak sekarang jadi nakal."

"Kenapa?"

"Neng Cantik pernah cerita sama saya, kalau dia di–"

"MANG! NGAPAIN SIH?! INI BANYAK PELANGGAN!"

Mang Asep ketar-ketir, ia segera beranjak dari duduknya dan pergi. Tapi sebelum pergi, ia mengucapkan sesuatu pada Fero, "Jagain neng cantik ya."

Fero terdiam—hingga Mang Asep benar-benar pergi dari hadapan mereka.

Dulu Mayra baik? Mustahil. Tapi memang awalnya juga Fero sempat mengira Mayra baik—karena wajahnya itu wajah-wajah polos tanpa dosa, tapi—ternyata oh ternyata itu hanya cover saja, bukan isinya.

"Nih," ucap Mayra sambil menyodorkan dua piring sate lainnya.

Fero mengangkat satu alisnya. Untuk siapa sate sebanyak ini?

Seolah mengerti dengan wajah heran Fero, Mayra menjawab. "Satenya buat kita berdua semuanya, tanpa terkecuali. Jangan bilang kebanyakan, gue percaya semuanya bakal abis."

Fero mengatupkan kembali mulutnya saat Mayra melanjutkan lagi ucapannya, "Jangan protes, gue yang pesen dan gue juga yang bayarin. So, no coment. Just eat this food."

Fero mengangguk pasrah. Terlebih lagi sate ini memang menggiurkan, aromanya membuat Fero tak tahan ingin segera melahapnya—sate kacangnya juga bahkan ... Ah, Fero tak bisa mengatakan ini—bahwa mungkin saja ucapan Mayra soal sate ini yang pasti habis memang benar adanya.

Makanan ini merupakan salah satu makan kesukaannya. Fero bersyukur Mayra mengajaknya ke tempat makan ini, karena jujur dari kemarin ia sangat ingin memakan sate—walaupun dari tadi Fero hanya menampakkan wajah tak berarti, dimana dia seolah tak tertarik datang ke tempat ini.

"Malah ngelamun, dimakan Fer."

Fero mengangguk.

Kumat lagi deh irit ngomongnya. Batinnya

Tanpa banyak berbicara lagi mereka berdua memakan olahan ayam itu.

"Nih minum. Lo nggak keberatan kan—cuman es teh?"

Fero menggeleng.

Mayra berdecak. "Kumat lagi deh."

Fero mengangkat satu alisnya. "Apa?"

"Lo."

"Kenapa?"

Mayra memutar bola mata jengah. "Tuh kan. Ngomongan lo itu, irit banget. Kan gue udah bilang tadi."

"Iya."

Ternyata benar—apa yang dikatakan Mayra. 40 tusuk sate yang dipesannya habis tak tersisa, berikut dengan bumbu kacangnya. Piring-piring bersih tak bercela.

"Abis ini mau kemana?" ucap Mayra sambil membersihkan bibirnya dengan tisu.

"Terserah."

Fero terkaget dengan tindakan Mayra setelahnya—Mayra menyeka sudut bibirnya. Tindakannya itu dilakukan dengan santai—dengan wajah sepolos bayinya.

"Gue udah kenyang nih, enaknya tidur kalau udah gini." Mayra menepuk-nepuk perutnya.

"Gak baik."

"Udah kebiasaan gue,"

"Jangan dibiasain."

Mayra berdecak, "Iya iya."

"Mending pulang aja deh yuk. Udah sore ini."

Fero mengangguk dan beranjak dari duduknya. Mayra mengikutinya dari belakang.

Sebelumnya Mayra sudah membayar sate pesanannya dan berpamitan pada Mang Asep.

Tak lama setelahnya motor hitam Fero sudah berbaur dengan kendaraan lainnya di jalan raya.

"Anter gue pulang ke rumah ya Fer."

"Ok."

Mayra menyebutkan serentetan alamat yang tak asing di telinga Fero. Tak butuh waktu lama motornya sudah bertengger di depan gerbang rumah besar nan sederhana.

1
Curtis
Terharu...
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!