NovelToon NovelToon
Gelora Berbahaya Pria Simpanan

Gelora Berbahaya Pria Simpanan

Status: sedang berlangsung
Genre:Selingkuh / Cinta Terlarang / Suami Tak Berguna
Popularitas:3k
Nilai: 5
Nama Author: Rizky Rahm

Laura tidak pernah membayangkan pernikahannya akan terasa seperti penjara. Nicholas, suaminya, selalu sibuk, dingin, dan jauh. Di tengah sunyi yang menusuk, Laura mengambil keputusan nekat-menyewa lelaki bayaran untuk sekadar merasa dicintai.Max hadir seperti mimpi. Tampan, penuh perhatian, dan tahu cara membuatnya merasa hidup kembali. Tapi di balik senyum memikat dan sentuhannya yang membakar, Max menyimpan sesuatu yang tidak pernah Laura duga.Rahasia yang bisa menghancurkan segalanya.Ketika hasrat berubah menjadi keterikatan, dan cinta dibalut bahaya, Laura dihadapkan pada pilihan: tetap bertahan dalam kebohongan atau hancur oleh kebenaran.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rizky Rahm, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Aku Menginginkanmu

"Aku menginginkanmu," Nicholas berbisik di telinganya. Bisikan yang membuat sekujur tubuhnya tersentak.

Nicholas bangkit dari kursinya, mengulurkan tangan pada Laura. Laura meragu, bingung dengan perubahan Nicholas yang terlalu tiba-tiba.

"Laura," panggilan lembut itu sangat ia rindukan dan hatinya melambung saat menemukan tatapan teduh Nicholas. Tatapan yang dulu selalu ia temukan. Jika sudah begini, Laura akan melupakan segalanya, yang ia tahu hanya Nick.

Laura menyambut uluran tangan Nicholas dan suaminya itu membawanya pergi dari sana.

"Aku tidak bisa menunggu sampai rumah," Nicholas membawa Laura ke lorong, lalu mendorongnya, mencumbunya dengan mesra. "Aku akan memesan kamar, bisakah kamu menunggu sebentar." Suara Nicholas serak, menyisakan gairah.

Laura menganggukkan kepala, hanya bisa menganggukkan kepala. Sel-sel sarafnya terlalu terbuai dengan sentuhan Nicholas. Sudah lama sekali pria itu tidak menyentuhnya dengan menggebu-gebu seperti ini.

Tidak butuh waktu lama, Nicholas kembali lagi dan mereka menuju kamar sambil terus berciuman.

"Kamu cantik sekali, selalu cantik," Nicholas kembali mencumbunya dengan liar.

Mereka bercinta hingga tertidur, atau tepatnya, Laura tertidur di dalam pelukan Nicholas.

Nicholas menatap wajah lelap Laura dengan tatapan kosong. Perlahan dia melepaskan diri dari pelukan Laura. Laura melenguh, mencoba merapatkan diri padanya lagi, mencari kehangatan. Nicholas berhenti sejenak sebelum benar-benar beranjak dari ranjang.

Nicholas mengenakan celananya. Ponselnya berdering saat ia memang ingin menghubungi orang yang ingin dia hubungi.

"Ada apa?" Nicholas berjalan ke balkon, duduk di sana sambil menyalakan sebatang rokok.

"Kamu bercinta dengannya?" Tuduhan yang merupakan fakta itu membuat Nicholas terkekeh pelan, asap rokok melayang di sekelilingnya. “Dia istriku. Apa menurutmu aku tidak akan melakukannya?”

"Bajingan kamu, Nick," sahutan dingin dari seberang telepon.

"Merindukanku?" Mengabaikan umpatan di seberang telepon.

"Dalam mimpimu!"

Nicholas tergelak lagi, "jika kamu sudah bosan bermain-main, temui aku. Aku sungguh merindukanmu."

"Bahkan setelah bercinta dengan istrimu?"

"Aku membayangkanmu."

Terdengar tawa renyah di seberang telepon. "Kamu benar-benar brengsek."

"Kamu tahu itu, Sayang. Dan kamu menyukainya, bukan?"

“Kamu masih sama seperti dulu. Tidak ada yang berubah.”

Nicholas terdiam sejenak, menatap pemandangan malam di depannya. Suaranya menurun, penuh ironi.

“Tidak ada yang berubah, kecuali kamu tidak di sini.”

Suara di seberang melembut, “Aku tidak bisa terus-menerus terjebak dalam permainanmu, Nick.”

Nicholas tertawa pendek, “Permainan? Ini bukan permainan. Kalau itu yang kamu pikirkan, kenapa suaramu bergetar sekarang?”

Suara di seberang berusaha tegar.

“Kamu tidak tahu apa yang kamu inginkan.”

“Aku tahu apa yang kuinginkan. Aku ingin kamu kembali," ucapnya dengan nada tajam.

Hening sesaat di antara mereka. Nicholas mengambil napas panjang sebelum melanjutkan, suaranya berubah menjadi bisikan penuh intensitas.

“Aku ingin kamu di sini, di sisiku, di tempat yang seharusnya.”

“Nick... aku...”

Nicholas menyela, senyum dingin terlukis di wajahnya.

“Aku memberimu waktu. Tapi jangan terlalu lama, Sayang. Kamu tahu aku tidak suka menunggu.”

"Oh, Nick, aku juga merindukanmu."

"Segeralah pulang. Sudahi liburanmu."

Nicholas memutuskan sambungan telepon. Dia kembali ke kamar, menemukan Laura yang meringkuk dan menggigil sambil mengigau.

Nicholas melangkah mendekat, ingin menenangkannya. Namun, ia berhenti dan berbalik, mengabaikan igauan dan isakan Laura. Nicholas memilih tidur di sofa, menutup telinga dan nuraninya meski isakannya terdengar menyedihkan.

Pagi menjelang, Laura bangun setelah sinar matahari menerpa wajahnya. Kebiasaannya, selalu menoleh lebih dulu ke sisi ranjang yang lain. Kosong.

Laura mengigit bibirnya, berusaha meyakinkan dirinya bahwa tadi malam, dia dan Nicholas memang melewati malam penuh romantisme.

"Mungkin dia ada di kamar mandi," Laura segera turun, menahan selimut di tubuhnya, berjalan menuju toilet. "Nick, kamu di dalam?" Tidak ada sahutan sama sekali, tidak ada suara gemericik air. Laura tahu suaminya sudah tidak di sana, tapi ia tetap memastikannya dengan masuk ke dalam kamar mandi.

Sudah hal biasa, namun tetap saja dia kecewa.

Dengan langkah gontai, Laura kembali ke ranjang. Tatapannya tertuju pada secarik kertas di atas meja. Laura menyambar kertas tersebut. Senyumnya langsung mengembang.

Aku tidak ingin mengganggu tidurmu, jadi aku pergi tanpa berpamitan. Habiskan sarapanmu.

Tidak ada yang spesial dari pesan yang ditinggalkan Nichola sebenarnya, tapi bagi Laura, pesan seperti itu sudah cukup. Setidaknya, Nicholas mengingat keberadaannya.

Laura yang tadinya lesu karena kecewa, kini dengan semangat menghabiskan sarapannya. Kemudian dia mandi dan keluar dari hotel. Pulang ke rumah.

"Lau..." Panggilan yang mulai familiar itu menghentikan langkah Laura yang sudah berada di lobi. Laura menoleh ke sumber suara dan menemukan Max mengenakan kemeja hitam dan celana jeans kasual sedang melangkah lebar ke arahnya.

"Kupikir aku salah mengenali," ucap pria itu setelah berdiri tepat di hadapan Laura. Laura menarik napas panjang, berusaha menenangkan dadanya yang terasa sesak. Max berdiri terlalu dekat, dan aroma cologne-nya yang khas menyeruak menciptakan sensasi yang tidak nyaman.

"Apa yang kamu lakukan di sini?" Suaranya terdengar datar, walau sebenarnya jantungnya berdebar tidak nyaman di dadanya. "Menemui klienmu?" Laura mencoba menebak.

Max mengabaikan dua pertanyaannya. "Sepertinya kamu menghabiskan malam di sini?" Max melayangkan tatapan menilai secara terang-terangan padanya. Ya, Laura masih mengenakan pakaian yang sama dengan yang ia kenakan tadi malam. Cara Max menatapnya memicu debaran jantungnya kembali. Dengan susah payah dia berusaha mengabaikan rasa gelisah yang menyelinap setiap kali tatapan Max mengunci miliknya.

"Ya," sahut Laura singkat, buru-buru memalingkan wajah. Dia bernapas lega saat taksi yang dia pesan sudah berhenti di depan hotel. Dia tidak perlu berlama-lama di sini bersama Max. Tanpa berpamitan, dia meninggalkan pria itu.

Max menatap taksi yang perlahan menghilang di tikungan, bibirnya melengkung tipis. Namun, perhatian Max segera teralihkan ketika sebuah suara dingin memanggilnya dari belakang.

“siapa dia,” suara seorang menyapa.

Max berbalik, mendapati seorang wanita berdiri beberapa langkah darinya. Wanita itu mengenakan gaun merah maroon yang membalut tubuh rampingnya dengan sempurna. Rambut hitam panjangnya tergerai indah, namun kontras dengan sorot mata yang tajam dan penuh perhitungan. Bibirnya yang merah menyeringai tipis saat matanya mengikuti arah kepergian Laura.

"Hanya seorang teman," Max tersenyum simpul.

"Teman wanitamu selalu ada di mana-mana." Ucap wanita itu dengan wajah kesal.

"Sepertinya moodmu sedang tidak bagus. Apa yang harus kulakukan untuk menenangkanmu." Max mendekati wanita itu.

Wanita itu mendengus, "benar-benar buaya darat. Heum, aku ingin melihat kemampuanmu. Seperti apa caramu menenangkan mereka para klienmu."

Max tergelak, "bagaimana jika kita memulainya dengan sarapan. Sisanya akan kita diskusikan." Max merangkul wanita itu, membimbingnya menuju resto. "Tidurmu nyenyak?"

"Ya. Sangat nyenyak. Untuk seharian bersamamu tanpa batas waktu, berapa duit yang harus kukeluarkan?"

Max tertawa, "kita akan membahasnya nanti setelah sarapan."

1
lyani
bang iky...vote nya k lau aja y ....elara ngga usah?
lyani
semoga max tak jauh beda dengan Nic.
apakah seila narik uang sepengetahuan Nic?
lyani
korban lagi... kalian mgkn senasib
lyani
nahhhh betul
lyani
paman Robert bukan si yg nyuruh
lyani
pasti
lyani
nahhhh
lyani
sdh menduga ada org dibalik max....nah siapakah?
lyani
ahhhh akhirnya setelah sekian lama terlihat
lyani
nahhhh betul
lyani
kesalahan Laura saat memegang perusahaan sepertinya Krn jebakan
lyani
hati2 dengan dokumen lau
lyani
max ini teman kecil Laura mgkn?
lyani
betul
lyani
ooooooooooo
lyani
max....mata2 ayah Laura kali.....maximal bener penasarannya dahhhhhhh
lyani
seila dan ibunya?
lyani
msh seribu tanya....
lyani
hidup si pilihan lau...
istri itu hrs patuh sama suami tp patuhnya atuh jangan kebangetan. diselidiki dl kek ntu suami
lyani
meninggalnya ortu Nic ada hubungannya dengan ortu Laura atau mungkin dengan Laura sendiri ngga si?
malangnya Laura
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!