Dikhianati oleh dua orang yang paling ia percayai—tunangannya dan adiknya sendiri—Aluna Kirana kehilangan semua alasan untuk tetap hidup. Di tengah malam yang basah oleh hujan dan luka yang tak bisa diseka, ia berdiri di tepi jembatan sungai, siap menyerahkan segalanya pada arus yang tak berperasaan.
Namun takdir punya rencana lain.
Zayyan Raksa Pradipta, seorang pemadam kebakaran muda yang dikenal pemberani, tak sengaja melintasi jembatan itu saat melihat sosok wanita yang hendak melompat. Di tengah deras hujan dan desakan waktu, ia menyelamatkan Aluna—bukan hanya dari maut, tapi dari kehancuran dirinya sendiri.
Pertemuan mereka menjadi awal dari kisah yang tak pernah mereka bayangkan. Dua jiwa yang sama-sama terbakar luka, saling menemukan arti hidup di tengah kepedihan. Zayyan, yang menyimpan rahasia besar dari masa lalunya, mulai membuka hati. Sedangkan Aluna, perlahan belajar berdiri kembali—bukan karena cinta, tapi karena seseorang yang mengajarkannya bahwa ia pantas dicintai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sylvia Rosyta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6
Angin malam berhembus lembut, mengibaskan ujung rambut Aluna yang masih basah oleh air hujan. Di bawah langit kelabu, ia berdiri membeku, membiarkan dunia menggoreskan luka baru di hatinya yang sudah penuh retakan.
Zayyan memandang gadis itu dalam diam. Dadanya terasa sesak melihat Aluna begitu kecil, begitu rapuh—seperti kaca bening yang sewaktu-waktu bisa remuk hanya dengan satu sentuhan yang salah.
Pelan-pelan, Zayyan mengulurkan tangannya, tidak menyentuh, hanya menggantung di udara seolah memberi ruang bagi Aluna untuk memilih.
“Aluna...” suaranya rendah, serak oleh emosi yang sulit ia kendalikan, “Biarkan aku membawamu pergi dari sini.”
Aluna memandangnya dengan mata kosong, seakan kata-kata itu terlalu berat untuk dipahami.
“Kau tidak pantas terus tinggal di tempat yang hanya memberimu luka,” lanjut Zayyan, satu langkah lebih dekat. “Aku tahu ini mendadak, aku tahu kau takut... tapi kau tidak harus sendirian dalam rasa sakit ini, Aluna. Tidak lagi setelah apa yang sudah mereka lakukan padamu.”
Aluna menggigit bibir bawahnya yang gemetar. Setetes air mata jatuh dari sudut matanya, membasahi pipinya yang sudah basah.
Tangannya mengepal erat di sisi tubuhnya, seolah bertarung dengan dirinya sendiri.
"Aku... aku tidak tahu, Tuan," gumamnya lemah. "Aku tidak tahu ke mana aku harus pergi. Ini satu-satunya tempat yang pernah aku kenal..."
Zayyan menatapnya lebih dalam. "Terkadang, satu-satunya cara untuk menyelamatkan diri adalah dengan meninggalkan semua yang menyakitimu, Luna. Kau bisa tinggal bersamaku. Aku akan membawamu ke tempat yang aman."
Nada suaranya bukan sekadar janji kosong. Ada sesuatu di sana—sebuah kesungguhan yang begitu tulus, yang membuat dada Aluna bergetar hebat.
Namun, sebelum Aluna bisa memberi jawaban, suara sepatu hak tinggi menghantam lantai batu halaman dengan keras, memecah ketegangan di antara mereka.
Seorang wanita paruh baya melangkah keluar dari balik pintu besar rumah itu.
Rambutnya disanggul rapi, matanya tajam bagaikan mata elang yang siap mencabik mangsanya. Dari raut wajah dan caranya membawa diri, tak sulit menebak siapa dia.
Ibu angkat Aluna.
Sosok yang selama ini menjadi rumah, sekaligus penjara tak kasat mata bagi gadis itu.
Wanita itu melangkah mendekat, matanya menelisik tajam ke arah Zayyan sebelum beralih pada Aluna.
"Kau,” suaranya lantang, penuh nada otoriter. “Apa yang kau katakan tadi, anak muda?”
Zayyan menegakkan bahunya, tidak mundur satu inci pun.
“Aku bilang... aku ingin membawa Aluna pergi dari sini. Ke tempat di mana dia bisa hidup tanpa ketakutan. Tanpa disakiti.”
Seketika, wajah wanita itu mengeras. Hidungnya kembang-kempis menahan amarah.
“Berani beraninya kau!” suaranya meninggi. “Kau pikir siapa kau, datang ke sini dan ikut campur dalam urusan keluargaku?!”
Zayyan menahan rahang bawahnya yang mengeras, tetap menjaga suaranya tenang meski dadanya terbakar.
“Aku bukan siapa-siapa. Aku hanya seseorang yang tidak bisa diam melihat ketidakadilan yang dialami oleh Aluna.”
Ibu angkat Aluna tertawa sinis, suaranya serak dan penuh cemooh.
“Ketidakadilan? Astaga, anak muda. Kau ini benar-benar tidak tahu apa-apa! Anak ini—” ia menunjuk Aluna dengan jari tajamnya— “anak ini sudah kuberi kehidupan saat semua orang meninggalkannya! Dia seharusnya bersyukur! Tapi lihatlah sekarang? Dia begitu mudah terpengaruh oleh orang asing!”
Zayyan menggenggam erat telapak tangannya, berusaha menahan diri untuk tidak membalas dengan kemarahan.
Ia menoleh pada Aluna, yang berdiri membeku di antara mereka, matanya berkaca-kaca, bibirnya bergetar.
itu sakitnya double
bdw tetap semangat/Determined//Determined//Determined//Determined/