bagaimana jika seorang CEO menikah kontrak dengan agen pembunuh bayaran
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SOPYAN KAMALGrab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
amira kangen
"Kamu lihat, aku tidur di mana?" ucap Andika.
Amira mengedarkan pandangan. Ternyata dia tidur di sofa, bukan di kasur.
"Kamu pasti yang mindahin aku, kan?"
"Nggak ada kerjaanku mindahin kamu," jawab Andika cuek.
Amira bangkit dan langsung menuju kamar mandi. Beberapa menit kemudian, dia keluar sambil menyeringai lebar.
"Ternyata aku masih perawan."
"Iyalah. Lagian siapa juga yang mau tidur sama perempuan kayak kamu."
Amira mengedipkan mata, menggoda.
"Yah, padahal aku cantik dan montok. Kenapa nggak diapapain? Kamu nggak normal ya?"
"Dasar gila."
Tanpa peringatan, Amira mendekat lalu menggigit leher Andika.
"Arghhh! Sakit, gila!"
"Bagus, kan, karyaku? Nenek kamu pasti senang," ucap Amira sambil terkekeh.
Belum puas, Amira kembali menggigit leher sebelah kanan Andika.
"Nah, sekarang sudah sempurna. Aku sudah bantu kamu bikin drama pernikahan kita jadi lebih realistis."
"Dasar gila," gumam Andika dengan wajah kesal.
Tiba-tiba terdengar suara ketukan dari arah pintu.
Tok-tok.
Andika menghampiri pintu dan membukanya. Tampak Renata, ibunya, sudah berdiri di depan bersama Viona, neneknya.
"Nenek kamu mau pulang ke Singapura. Mau bertemu dulu dengan kamu," ucap Renata.
"Oke, Bu. Aku bersiap dulu."
"Nggak usah bersiap. Oma buru-buru, pesawatnya sudah menunggu. Mana istrimu?"
Viona menyahut sambil tersenyum lebar.
"Renata, anakmu sekarang normal. Lihat tuh, di lehernya distempel sama istrinya."
Renata terbelalak. Dalam hati, ia bergumam, “Apakah semalam mereka sudah melewati malam pertama? Kalau iya, baguslah. Berarti Andika sudah mulai melupakan Bianka.”
Tak lama kemudian, Amira muncul dengan senyum merekah.
"Pletak!"
Andika mendapat jitakan dari Viona.
"Dasar pelit! Kenapa istri kamu nggak dibelikan baju?"
"Dibelikan, kok, Oma. Cuma biar lebih romantis saja, aku pakai baju suamiku," jawab Amira dengan santai.
Viona mengelus kepala Amira dengan penuh kasih.
"Anak baik. Jaga suami kamu baik-baik. Kalau dia selingkuh, potong saja belalainya."
"Siap, Oma!" jawab Amira lantang.
Andika melirik kesal ke arah istrinya.
"Kamu harus segera punya anak. Oma sudah lama nggak gendong bayi."
"Baik, Oma."
Dalam hati, Andika menggerutu, “Orang gila! Kalau aku punya anak dari dia, makin panas dan runyam hidupku.”
Viona pun berpamitan, disusul Renata yang tersenyum lega melihat keakraban pasangan ‘pengantin kontrak’ itu.
Renata mengantar mereka sampai ke depan gerbang rumahnya.
Para penjaga tampak membungkukkan badan ke arah mobil Viona.
"Aku akan bongkar pernikahan kontrak Andika dengan wanita itu," ujar Bagus dengan nada penuh tekad.
"Silakan saja, kalau bisa. Dasar anak pungut!"
Ujaran itu menyulut emosi Bagus. Rahangnya mengeras, dan tangan kanannya mengepal kuat.
“Aku memang anak pungut,” gumamnya dalam hati, “tapi akulah yang selama ini bekerja keras membangun perusahaan ini. Aku yang pantas menjadi pewaris, bukan dia.”
Bagus menyimpan dendam terhadap Andika dan ibunya, Renata. Meski ia tahu kemampuannya tak kalah dari Andika, tetap saja posisinya selalu di bawah—pengelola, bukan pemilik. Ia menginginkan lebih: seluruh kekuasaan dan kejayaan keluarga Viona.
Renata, menantu dari Viona, berasal dari keluarga sederhana. Sejak awal, ia tak pernah diterima sepenuhnya oleh keluarga besar suaminya. Viona, pemilik kerajaan bisnis yang menjangkau hingga Asia Tenggara dan berkantor pusat di Singapura, lebih sering bersikap dingin terhadap Renata.
Namun Renata bukan perempuan lemah. Setelah suaminya, Pratama—putra tunggal Viona—meninggal saat Andika berusia 12 tahun, ia membesarkan anak semata wayangnya itu seorang diri. Dengan tekad baja dan disiplin tinggi, Renata mendidik Andika hingga di usia 18 tahun, putranya telah menjabat sebagai CEO salah satu perusahaan inti milik Viona.
Di tangan Andika, perusahaan berkembang pesat. Kinerja dan kepemimpinannya tak terbantahkan. Tapi keberhasilan itu justru membuat Bagus semakin geram. Ia tahu, selama Andika terus bersinar, posisinya akan tetap sebagai bayangan.
Berbeda dari Bagus yang penuh ambisi, Andika tidak terlalu tertarik pada kekuasaan. Ia sebenarnya hanya ingin hidup bebas, tanpa beban warisan atau tanggung jawab besar. Tapi hidup menuntutnya dewasa sebelum waktunya. Demi ibunya, Andika rela mengorbankan masa mudanya untuk mengelola bisnis keluarga.
Andika sangat menyayangi Renata. Ia tahu perjuangan ibunya tidak mudah. Tekanan dari keluarga besar, cibiran karena latar belakang sederhana, dan luka kehilangan suami—semua itu dilalui Renata dengan kepala tegak. Maka ketika sang ibu memintanya menikah demi mempertahankan hak waris, Andika pun setuju.
Viona sendiri menetapkan aturan yang ketat: siapa pun yang ingin menjadi pewaris utama dari kekayaannya, harus menikah terlebih dahulu. Maka ultimatum pun dijatuhkan pada Andika: jika ia tidak segera menikah, seluruh warisan akan diberikan pada Bagus, yang kebetulan sudah menikah.
Pernikahan Andika pun dipercepat. Walau Renata tidak suka dengan Bianka, akhirnya ia menyetujui Andika menikah dengannya. Tapi sayang, tiba-tiba Bianka menghilang di hari pernikahan. Renata dengan secepat kilat mendapatkan Amira yang sedang nongkrong di pangkalan ojek.
Renata hanya mengikuti nalurinya saja. Ia merasa bahwa Amira adalah anak baik meskipun hanya seorang driver ojol—berbeda jauh dengan Bianka yang berasal dari keluarga konglomerat.
Amira melangkah keluar dari rumah Renata dengan percaya diri. Ia mengenakan celana jeans yang mulai memudar, sepatu sneaker KW 5, dan sarung tangan hitam yang biasa ia pakai saat bekerja. Kaos yang melekat di tubuhnya bertuliskan “Bukan Pewaris Tapi Perintis.” Sebuah pernyataan yang mencerminkan semangat hidupnya.
Baru saja ia melewati halaman depan, suara Bagus menyapanya dengan nada mengancam.
"Aku tahu kamu cuma pengantin kontrak. Sebaiknya kamu pergi sebelum hal buruk terjadi padamu."
Amira menoleh pelan dan menatap pria itu tanpa gentar.
"Kamu ngancam?" tanyanya santai.
Bagus menggeram dalam hati. “Sialan. Tukang ojek ini nggak semudah itu aku tindas.”
"Aku cuma memperingatkan," lanjut Bagus, sedikit merendahkan nada. "Lebih baik kamu pergi sebelum semuanya terlambat."
Amira menyeringai.
"Aku akan pergi... kalau sudah dapat banyak."
"Kamu nggak akan dapat apa-apa."
"Kita lihat saja nanti," ucap Amira ringan, lalu melanjutkan langkahnya seolah tak terjadi apa-apa.
“Gila, rumahnya luas banget. Begini amat rumah orang kaya,” batinnya sambil mendongak melihat dinding-dinding tinggi dan taman yang terawat.
Saat mendekati gerbang, langkahnya terhenti ketika melihat sosok Renata berdiri menunggunya.
"Mau ke mana kamu?" tanya Renata lembut.
"Saya mau ke rumah sakit, Bu. Hari ini jadwal operasi Bapak. Terima kasih, ya Bu. Karena bantuan Ibu, Bapak saya bisa dioperasi."
Renata tersenyum tipis.
"Sebaiknya kamu berhenti ngojek. Apa kata orang kalau istri CEO kerja di jalan begitu?"
Amira terkekeh ringan.
"Hehe, pernikahan saya cuma sementara, Bu. Ibu dan Bapak saya masih butuh makan. Saya harus biayai mereka."
"Tapi kenapa harus kamu?"
"Ya, kalau bukan saya, siapa lagi?" jawab Amira mantap.
"Saya pamit dulu, ya Bu."
Renata hanya terdiam di depan gerbang, menatap kepergian Amira yang semakin menjauh dengan langkah ringan. Dalam hati ia bergumam lirih,
“Anak yang menarik... Ia bekerja keras demi keluarganya, meski statusnya hanya pengantin kontrak tapi aku suka sama dia.”
Tak lama, Andika muncul dari dalam rumah dengan penampilan rapi. Jas mahal berwarna abu gelap membalut tubuh tegapnya, dasi hitam pekat terikat sempurna di lehernya. Wajahnya tenang, meski matanya tampak sedikit sayu.
Di halaman depan, ia bertemu dengan Bagus—pamannya sekaligus guru bisnis yang selama ini dihormatinya. Bagi Andika, Bagus adalah sosok yang mengajarkannya banyak hal tentang dunia usaha.
"Aku tahu kamu masih mencintai Bianka," ucap Bagus perlahan, menatap keponakannya penuh simpati.
Andika mengangguk pelan.
"Iya, Paman. Dan aku akan mencarinya. Aku nggak bisa berhenti begitu saja."
Bagus menepuk bahunya.
"Paman dukung. Sebaiknya kamu tinggalkan wanita pilihan ibumu itu. Hiduplah bersama orang yang kamu cintai."
"Terima kasih, Paman," jawab Andika dengan tulus, lalu menunduk mencium tangan pamannya.
Namun di balik senyum dan nasihat lembut itu, hati Bagus dipenuhi kelicikan.
“Dasar anak bodoh. Renata, kamu mungkin bisa merekayasa pernikahan kontrak, tapi aku bisa memanipulasi anakmu yang lugu itu,” gumamnya dalam hati.
Dalam benaknya, rencana demi rencana sudah tersusun rapi—semuanya demi satu tujuan: merebut kendali perusahaan.
tapi kenapa yah oma viona selalu menuduh allesandro setiap ada masalah perusahaan? dan bagaimana nasib andika selanjutnya
seru nih amira hajar terus