Hidup sebatang kara, dikhianati oleh keluarganya, bahkan diusir dari rumah peninggalan orang tua oleh sang tante, membuat Ayuna Ramadhani terpaksa harus bekerja keras untuk mendapatkan pundi-pundi rupiah sebanyak mungkin di tengah kesibukkannya kuliah. Ditambah pengkhianatan sang pacar, membuat Ayuna semakin terpuruk.
Namun titik rendahnya inilah yang membuat ia bertemu dengan seorang pengusaha muda, Mr. Ibram, yang baik hati namun memiliki trauma terhadap kisah cinta. Bagaimana kelanjutan kisah Ayuna dan Mr. Ibram, mungkinkah kebahagiaan singgah dalam kehidupan Ayuna?
Selamat membaca
like like yang banyak ya teman-teman
terimakasih
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
LOWONGAN KERJA
"Apa?" tanya Ayuna bingung saat Arfan menyodorkan ponselnya.
"Beri nomor rekening Mbak!" sudah keputusan Arfan, diam-diam akan membantu kakak sepupunya ini, meski harus bersitegang dengan sang mama. Ketakutan akan sumpah serapah yang diucapkan Ayuna kemarin begitu dalam, sampai masuk ke alam bawah sadar Arfan. Hatinya berontak, tak mau hidup sengsara hingga nanti, keputusan terbaik adalah mengembalikan harta Ayuna meski tidak semua. Sebisa mungkin Arfan akan mengembalikannya.
"Buat?"
"Transfer kebutuhan kamu lah, Mbak!"
"Ck, buat apa sih, Fan. Gak usah."
"Mbak. Kamu gak pernah hidup susah sejak lahir, Pak Poh selalu mengutamakan kebutuhan kamu, Mbak. Tapi sekarang, kamu hidup sendiri, belum ada pemasukan, uang 10 juta kemarin jelas gak cukup, Mbak."
"Ya memang gak cukup, Fan. Cuma aku juga bakal nyari kerja. Gak mungkin aku diam, nangis meratapi nasib begitu aja."
"Ya makanya buat pegangan kamu sebelum dapat kerja, Mbak. Biarkan mama dan keluarga lain tega sama kamu, tapi aku enggak. Sumpah, Mbak aku sangat takut doamu kemarin dikabulkan sangat cepat kepada kami. Toh aku juga punya hati nurani kali, Pak Poh sering banget kasih barang-barang, bahkan saat aku kuliah pun aku sering dikasih uang jajan, aku bukan tipe orang yang gak tahu terimakasih."
Ayuna hanya diam, mengamati ekspresi sang sepupu, tampak kalau dia memang tulus ingin membantu, hanya saja hati kecil Ayuna enggan berhubungan lagi dengan keluarganya, termasuk Arfan. "Aku gak mau berhutang budi, Fan. Sudah cukup kamu bawa motor buat aku, selebihnya biarkan aku hidup mandiri."
"Kenapa, Mbak? Apa karena Rajendra?"
Ayuna tak paham, kenapa Arfan menyinggung Rajendra dalam permasalahan ini. "Kenapa dengan Rajendra?"
Arfan menggeleng, lalu menunduk sebentar, seolah sulit mengungkapkan tentang Rajendra. "Kamu menolak bantuanku karena sudah mendapat dari Rajendra?"
"Oh itu, gak juga. Rajendra juga mau menanggung hidupku, Fan. Hanya saja aku tolak."
"Alasannya?"
Ayuna mengedikkan bahu. "Aku gak mau berhutang budi dengan siapa pun, meski dengab pacarku sendiri. Sejak kejadian aku diusir, aku sudah tidak percaya dengan orang lain, dan mengharuskan aku untuk hidup di kakiku sendiri."
"Kerja?"
Ayuna mengangguk. "Kerja apa?" tanya Arfan kemudian. "Kamu terlahir menjadi seorang putri loh, Mbak. Yakin kamu mau kerja."
Ayuna tertawa. Putri? Putri yang terbuang iya. "Dulu tuan putri, sekarang upik abu, Fan."
Keduanya pun tertawa, takdir kok ya sekejam ini menimpa Ayuna. Entah kebahagian apa yang akan ia dapatkan kelak, hingga saat ini harus berperang dengan sakit hati dan air mata.
"Karena kamu udah bawa motorku mungkin daftar ojol kali ya, lebih cepat dapat uang ketimbang jadi tutor privat!"
"Aku gak setuju, Mbak. Skill naik motor kamu tuh masih pemula banget, rawan jatuh atau kecelakaan di jalan, Mbak. Lebih baik menjadi tutor privat saja, nanti aku kasih tahu lowongannya, teman-temanku juga banyak jadi tutor privat."
"Nah kalau lowongan kerja begini aku mau dibantu, link pertemananku cetek banget soalnya."
"Beres! Selain tutor, mau kerja apa? Bilang aja, bakal aku bantu, setidaknya tenaga."
"Mungkin jualan online, skin care!"
Arfan mengangguk, "Lebih setuju yang ini sih, apalagi modal wajah udah mumpuni, nanti aku bawakan tripod dan kamera di rumah Mbak."
Ayuna tertegun. "Fan?"
"Kenapa?"
"Kamu melakukan ini gak mau menghancurkan aku lebih dalam lagi kan?"
"Enggak, aku gak sejahat mama. Aku masih punya hati nurani, Mbak. Aku adik sepupu kamu, yang siap sedia membantu kamu. Dan tolong, sebelum minta bantuan ke Rajendra, minta tolonglah kepadaku dulu."
"Sepertinya kamu gak suka dengan dia? Ada masalah apa?"
Arfan menggeleng, "Bukan gak suka, Mbak. Hanya saja aku gak mau kamu bergantung pada laki-laki yang belum tentu jadi suami kamu, Mbak. Khawatir saja dia sudah membantu, eh kalian putus."
"Ya Allah, Fan. Doamu loh!" protes Ayuna tak terima, Arfan pun tertawa. Setidaknya hari ini ia bisa melihat berbagai ekspresi Ayuna. Ternyata gadis itu masih tertawa.
Iya tertawa, terpaksa dan berusaha tertawa. Selebihnya menangis. Ayuna tidak bohong, ia hanya manusia biasa yang gak sanggup hidup sendiri tanpa keluarga, ia juga ingin menjerit memprotes sama Allah kenapa semua dihilangkan. Bukankah sang ayah dulu mencari nafkah dengan cara yang halal, kenapa harus dihilangkan semua.
Sepulang dari kampus, Ayuna hanya bisa merebahkan diri. Menatap langit-langit kamar, otaknya kosong sesaat, ponsel ia biarkan begitu saja meski bunyi notif pesan masuk atau panggilan telepon beruntun. Ayuna hanya butuh introspeksi diri, beristighfar sebanyak mungkin, setidaknya menata hati agar segera menerima takdir dengan lapang dada. Di depan semua orang ia bisa tegar, tapi kalau sendiri begini ya menangis.
Puas menangis, ia pun segera membersihkan diri dan bersiap beribadah menjelang petang. Duduk di atas sajadah menjadi rutinitas baru bagi Ayuna. Hatinya sangat lega setelah mengucap amin. Segala macam harapan, protes dan keluh kesah diutarakan secara langsung kepada sang pencipta. Meski masih ada ragu, namun tak dipungkiri ada ketenangan. Sedih dan tangis mungkin masih ada, tapi ia berjanji esok hari dirinya lebih siap dan segera berbenah diri.
"Iya kenapa, Fan?" jawab Ayuna menerima panggilan dari sang sepupu, setelah sholat isya dan puas curhat sama Allah, Ayuna mulai mengurus ponselnya.
"Dari mana aja, Mbak. Baru angkat telepon, udah berapa kali aku telepon gak ada jawaban," protesnya sedikit marah, ah lebih tepatnya khawatir.
"Ada apa?" tanya Ayuna to the point, ia tak mau membuka banyak aktivitas pada siapa pun, termasuk pada Arfan.
"Jawab dulu, Mbak dari mana?"
"Ck, habis sholat, Fan. Pulang dari kampus aku di kos aja!" jawab Ayuna sedikit kesal. Arfan pun memaklumi, dekat dengan sang pencipta adalah tujuan terbaik di semua situasi, apalagi dalam keadaan terpuruk begini.
"Ponakan teman kuliahku cari guru privat, SMP, mau bahasa inggris sama matematika, boleh tuh dicoba, rumahnya dekat dengan kos Mbak juga. Maunya Jumat sampai Minggu. Udah aku kasih nomor kontaknya di chat wa. Segera hubungi ya Mbak!" lapor Arfan.
Ayuna tersenyum tipis, sangat terharu. Pasti Arfan setelah bertemu tadi siang langsung ekskusi cari lowonga kerja. "Terimakasih, Fan, udah merepotkan kamu."
"Mbak ngomong apa sih, aku gak repot sama sekali kok. Rizekinya Mbak Ayuna aja, pas aku balik ke kampus bertemu temanku minta rekom tutor privat, ponakannya gak mau kalau ke bimbel."
"Ya pokoknya makasih banget, Fan."
"Oke. Sama-sama, ingat kalau butuh apa-apa bilang aku, gak usah sungkan. Hubungi aku dulu!"
"Iya."
"Udah makan malam?"
"Hah?" setiap ditanya makan, pasti Ayuna baru ingat soal makan. "Belum, habis ini mungkin cari makan sama Ersa."
"Gak usah, tunggu aja, habis ini aku mampir ke kos Mbak!"
Tut. Arfan menutup panggilan begitu saja tanpa mau mendengar respon kakak sepupunya itu.