Elena hanya seorang gadis biasa di sebuah desa yang terletak di pelosok. Namun, siapa sangka identitasnya lebih dari pada itu.
Berbekal pada ingatannya tentang masa depan dunia ini dan juga kekuatan bawaannya, ia berjuang keras mengubah nasibnya dan orang di sekitarnya.
Dapatkah Elena mengubah nasibnya dan orang tercintanya? Ataukah semuanya hanya akan berakhir lebih buruk dari yang seharusnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rahael, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6: Wolfsbane
Di sebuah desa yang terlihat begitu damai, seorang gadis dengan surai merah mudanya sudah sibuk dengan bukunya. Ia membawa langkahnya ke arah hutan untuk mencari lebih banyak tanaman obat yang bisa ia dapatkan.
Dengan berbekal buku dan pena, ia mulai menelusuri satu-persatu tanaman yang ia temukan. Mulai dari jamur yang beracun, hingga tanaman herbal untuk sakit perut.
Elena menyimpan semua tanaman-tanaman itu di dalam tasnya agar bisa ia gunakan untuk keadaan darurat.
Penyakit menular yang menyebabkan kematian Delia masih terasa abu-abu. Jadi, sebisa mungkin Elena perlu menyimpan semua tanaman obat yang ia ketahui untuk berjaga-jaga.
Masuk lebih dalam ke arah hutan yang belum pernah di masuki oleh Elena sejauh ini, ia tiba-tiba menemukan tumbuhan yang begitu cantik, ternaungi di bawah pohon-pohon yang besar.
"Aku baru pertama kali melihat bunga seperti ini."
Bunga berwarna ungu kebiruan, dan kelopaknya yang menyerupai tudung biksu terlihat begitu cantik di bawah naungan pohon.
"Sepertinya aku pernah membaca ciri-ciri seperti ini." Elena duduk disana dan langsung membuka buku ensiklopedianya.
"Ketemu! Ini bunga Wolfsbane. Ini bunga beracun?! Untung saja aku tidak menyentuhnya secara langsung."
Wolfsbane adalah tanaman yang banyak tumbuh di area yang lembab dan sejuk. Walau dengan tampilannya yang cantik ini, siapa yang menyangka bunga seperti ini sangat mematikan. Namun, seperti kengerian dari efek bunga ini, manfaat yang bisa di dapat juga tidak kalah.
Bunga ini bisa digunakan sebagai pengobatan nyeri otot, demam, maupun gangguan saraf yang sudah seperti sebuah neraka di tempat kumuh seperti ini.
Aku akan membawanya dengan hati-hati. Mungkin saja suatu hari akan berguna.
Elena menutupinya dengan kain lusuh yang ada di tasnya, lalu menyimpannya dengan rapi.
"Sepertinya aku sudah masuk terlalu dalam." Elena pun memutuskan untuk kembali sebelum masuk ke bagian berbahaya hutan.
Elena berniat untuk kembali ke rumah dan menyusun semua barang temuannya hari ini. Namun, sosok Ralf menghentikannya di tengah perjalanannya.
"Hey, Elena. Baru kembali dari hutan?" tanya Ralf seakan sudah mengerti keseharian Elena.
"Ya, aku mendapat banyak barang bagus disana."
"Kau tidak masuk terlalu dalam ke hutan, kan?" Ralf menatap Elena dengan mata memicing curiga.
Dahulu, Elena pernah pergi terlalu jauh ke dalam hutan hingga tanpa sadar ia tersesat di sana. Hari semakin gelap dan suara-suara tidak mengenakan mulai terdengar. Pada akhirnya Elena ditemukan oleh Glen sedang terduduk diam di bawah pohon dengan mata berkaca-kaca.
Sejak saat itu Elena hanya mencari bahan-bahan di sekitar tepi hutan, dan tidak pernah menginjak hutan terlalu dalam lagi.
"Tidak kok ...," bohong Elena. Ia tidak ingin mendengar ocehan Ralf jika tahu ia hampir masuk terlalu dalam lagi.
Kecurigaan Ralf tidak menurun, memaksa Elena mencari sebuah topik lain untuk mengalihkan perhatiannya.
"Ka-kamu mau kemana, Ralf? Apa kau habis latihan pedang dengan ayahmu?" tanya Elena. Melihat penampilan Ralf yang basah karena keringat sembari membawa pedang kayunya.
"Oh! Benar juga! Elena, akhirnya aku akan mendapatkan pedangku!" ujar Ralf dengan begitu semangatnya.
"Oh, akhirnya. Apakah ayahmu sudah memberi izin?"
"Ayah sendiri yang mengatakan akan membelikanku pedang hari ini. Jadi, kami akan ke kota hari ini."
Mendengar kata kota membuat Elena berkeinginan untuk ikut. "Hey, Ralf. Bolehkah aku ikut denganmu?"
"Apa kamu penasaran dengan pedang juga Elena? Akhirnya kamu mulai tertarik, bukan?" Ralf menaik turunkan alisnya untuk menggoda Elena sedikit.
Beberapa kali Ralf mencoba mengajak Elena untuk mencoba seni pedang. Namun, Elena merasa dirinya tidak cukup mampu mempelajari seni pedang. Saat melihat Ralf yang bergerak dengan begitu lincah mengayunkan pedang kayunya, Elena hanya bisa melongo melihatnya.
Elena tidak begitu lincah, dan refleknya tidak begitu bagus sehingga selalu terjatuh ketika mencoba berlatih pedang. Pada akhirnya Elena memutuskan untuk memperhatikan Ralf saja.
"Tidak. Ibu baru saja memberiku uang saku jadi, aku berpikir kali ini aku akan membeli setidaknya satu buku berguna setelah sekian lama."
Ralf hanya tersenyum pasrah. Ia tahu kesukaan temannya ini. Begitu terobsesi dengan obat-obatan, tidak mengetahui apa yang sebenarnya dipikirkan oleh temannya.
"Baiklah. Bersiaplah dan kita akan bertemu di gerbang desa."
"Okey!!" Elena langsung bergegas ke rumah dan bersiap.
Delia yang mendengar kegaduhan langsung keluar dari kamar. "Lena? Kamu mau kemana?" tanya Delia dengan lemah.
"Aku akan ke kota bersama Ralf hari ini, Bu."
"Benarkah? Uhuk! Kalau begitu hati-hati, Lena," ucap Delia dengan senyum tipisnya.
Namun, Elena yang mendengar batuk Delia langsung mengerutkan keningnya. "Ibu? Apa ibu sakit?" tanya Elena dengan perasaan khawatir.
"Ibu tidak apa. Hanya sedikit kecapean. Di tinggal tidur pasti juga akan membaik. Lebih baik kamu segera pergi, kasihan Ralf menunggumu."
Elena saat itu merasa enggan untuk pergi dan merasa begitu risau. "Ibu, apa Lena tidak jadi pergi saja? Lena khawatir dengan ibu," tutur Elena. Ia membantu Delia untuk berjalan ke dalam kamar kembali dan membaringkannya dengan perlahan.
"Tidak perlu, Lena. Ibu tidak selemah itu. Pergilah, bersenang-senanglah." Senyum Delia kala itu begitu cantik khas seorang ibu.
Elena akhirnya memberanikan diri untuk mengintip sedikit ke atas kepala Delia, dan waktunya masih tetap sama. Tidak ada perubahan sama sekali.
"Baiklah, ibu. Lena akan pulang cepat jadi, ibu istirahat saja di rumah."
"Baiklah, hati-hati, nak."
Elena pun mengeratkan genggamannya pada tali tasnya dan berlari ke arah gerbang desa.
"Kamu disini! Kenapa begitu lama?" tanya Ralf.
"Ibu sedang sakit. Jadi, aku mengantarnya ke kamar terlebih dahulu. Maaf, Ralf."
"Oh ... Tidak apa, Elena. Semoga ibumu cepat sembuh."
Elena hanya tersenyum, dan mereka pun akhirnya berangkat menuju kota yang pernah di kunjungi oleh Elena.
Di sepanjang perjalanan perasaan Elena begitu risau terhadap keadaan Delia. Banyak faktor yang membuatnya tidak bisa tenang. Dari faktor penyebab kematiannya, ketidakpastian, dan keadaan Delia yang sedang sakit.
Angka yang ada di atas kepala Delia tidak berubah sama sekali. Itu hal yang patut di syukuri karena waktunya tidak berubah.
Tapi, perasaan tidak nyaman apa ini? Kenapa aku merasa ada sesuatu yang ku lewatkan?
Elena begitu tenggelam dalam pikirannya hingga tidak sadar kereta sudah berhenti tepat di dalam kota.
"Hey, Elena! Apa kamu mendengarku?" Ralf mengguncang tubuh Elena dengan pelan, dan untunglah itu membuat Elena kembali tersadar.
"Ah! Ma-maaf, Ralf. Aku terlalu terhanyut dalam pikiranku."
"Hey, ada apa? Kamu terlihat kesulitan." Ralf merasa khawatir dengan ekspresi Elena yang sedari tadi gelisah.
"Tidak, bukan apa-apa Ralf. Aku hanya kecapean saja!" Elena menutupi kekhawatirannya karena ia tidak bisa mengatakan tentang penglihatannya ini pada siapapun.
"Baiklah. Ayo turun, kita sudah sampai."
Elena hanya mengangguk dan akhirnya turun dari kereta.
To Be Continued