NovelToon NovelToon
Kill All Player

Kill All Player

Status: sedang berlangsung
Genre:Balas dendam dan Kelahiran Kembali
Popularitas:2.2k
Nilai: 5
Nama Author: Theoarrant

Dunia tiba-tiba berubah menjadi seperti permainan RPG.

Portal menuju dunia lain terbuka, mengeluarkan monster-monster mengerikan.

Sebagian manusia mendapatkan kekuatan luar biasa, disebut sebagai Player, dengan skill, level, dan item magis.

Namun, seiring berjalannya waktu, Player mulai bertindak sewenang-wenang, memperbudak, membantai, bahkan memperlakukan manusia biasa seperti mainan.

Di tengah kekacauan ini, Rai, seorang pemuda biasa, melihat keluarganya dibantai dan kakak perempuannya diperlakukan dengan keji oleh para Player.

Dipenuhi amarah dan dendam, ia bersumpah untuk memusnahkan semua Player di dunia dan mengembalikan dunia ke keadaan semula.

Meski tak memiliki kekuatan seperti Player, Rai menggunakan akal, strategi, dan teknologi untuk melawan mereka. Ini adalah perang antara manusia biasa yang haus balas dendam dan para Player yang menganggap diri mereka dewa.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Theoarrant, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Pemusnahan

Rodick terhuyung, tubuhnya penuh luka dan napasnya memburu.

Darah menetes dari berbagai sayatan di tubuhnya, tapi meski keadaannya kritis, dia masih memiliki harapan.

Dengan tangan gemetar, dia merogoh saku dan mengeluarkan botol kecil berisi cairan merah ramuan penyembuh tingkat tinggi.

Namun, sebelum dia sempat meneguknya...

DOR!

Sebuah peluru melesat cepat dan menghancurkan botol itu tepat di tangannya.

Pecahan kaca bercampur dengan cairan merah, mengalir sia-sia ke tanah.

Rodick terperanjat.

"Siapa yang...?"

Suara langkah pelan terdengar dari bayangan reruntuhan di dekatnya.

"Tampaknya rencanaku berhasil," kata seseorang dengan nada santai.

Rodick menoleh tajam.

Dari balik kegelapan, seorang pria dengan pakaian serba hitam melangkah maju.

Tatapan matanya dingin, dan di tangannya, dia memegang pistol kecil dengan laras mengilap.

"Rencanaku untuk mengadu domba sepertinya berjalan sempurna," lanjutnya.

"Dan sekarang tinggal menyelesaikan yang tersisa... yaitu dirimu."

Rodick menyipitkan matanya.

"Apa?! Kau yang menyebabkan semua ini?!"

Rai tersenyum tipis.

"Betul sekali."

"Keparat! Akan kubunuh kau!" Rodick menggeram, mencengkeram pisau di tangannya dengan erat.

Tapi Rai hanya mengangkat bahu.

"Bagaimana kau akan membunuhku dalam keadaan seperti ini? Tubuhmu penuh luka, mana-mu sudah terkuras, dan semua skill-mu sudah kau gunakan dalam pertarungan tadi."

Rodick terdiam sejenak, lalu tertawa sinis.

"Kau ini bodoh atau hanya buta?" katanya sambil menatap Rai dengan penuh ejekan.

"Aku tidak melihat aliran mana di tubuhmu, kau hanyalah hama biasa! Bahkan tanpa skill pun, aku masih bisa membunuhmu dengan mudah."

Rai tetap tenang.

"Yah... kita lihat saja."

Tanpa peringatan, Rai mengangkat pistolnya dan menembakkan Disruptor ke arah Rodick.

DOR!

Namun, Rodick bergerak cepat.

Dengan skill pasifnya, Eagle Eye, dia mampu mendeteksi arah proyektil sebelum peluru itu menyentuhnya.

Dalam satu gerakan cepat, dia miringkan tubuhnya ke samping, membuat tembakan itu hanya meleset beberapa sentimeter dari bahunya.

Rai kembali menarik pelatuk, menembakkan beberapa peluru berturut-turut.

DOR! DOR! DOR!

Rodick bergerak lincah, menghindari setiap tembakan dengan presisi luar biasa.

Dia bahkan berlari ke arah Rai dengan kecepatan tinggi, menutup jarak di antara mereka.

Namun, Rai tidak panik. Dia tetap tenang, terus menembak sambil mundur perlahan.

Klik!

Senjatanya kehabisan peluru.

Rodick menyeringai.

"Kau habis, bocah!"

Tanpa membuang waktu, dia melompat ke depan, bersiap menikam Rai dengan pisaunya.

Namun...

Pssshhh!

Asap tebal mendadak memenuhi seluruh area.

Rai telah menjatuhkan bom asap, menutupi pandangan di sekitar mereka.

Banyak Player mungkin akan kebingungan dalam situasi ini, tetapi tidak dengan Rodick.

Dengan Eagle Eye, dia mampu melihat bahkan melalui asap tebal sekalipun.

"Trik murahan," Rodick mencibir.

Dia langsung menajamkan indranya dan mendeteksi pergerakan Rai di dalam asap.

Dengan cepat, dia mengayunkan pisaunya ke arah yang tepat.

Namun, saat pisaunya hampir mengenai targetnya... tubuhnya mendadak terasa berat.

Rodick terhenti.

"Apa... ini?"

Matanya membelalak saat menyadari sesuatu.

Dia tak lagi bisa merasakan mana di sekitarnya.

Kekuatan dan skill yang seharusnya menjadi andalannya... menghilang.

Dari dalam asap, suara langkah tenang terdengar.

"Selamat datang di perang tanpa skill, Rodick," suara Rai terdengar jelas.

Rodick tersentak. "Sialan! Apa yang kau lakukan?!"

Rai muncul dari balik asap, tetap tenang.

"Aku hanya memasang Diss Trap, alat kecil buatan Profesor Lamberto yang mampu menonaktifkan kemampuan Player Rank D ke bawah selama mereka berada dalam jangkauannya."

Rai menjatuhkan Bom Asap bukan untuk menghalangi pandangan Rodick tetapi untuk meletakan Diss Trap agar Rodick tidak curiga.

Rodick menggertakkan giginya.

"Bajingan...!"

"Dan sekarang," kata Rai sambil menarik pisau dari ikat pinggangnya.

"Mari bertarung dengan cara klasik."

Tanpa pilihan lain, Rodick menyerang dengan liar.

Dia mengayunkan pisaunya dengan cepat, mencoba menikam Rai di titik vital.

Namun, tanpa skill untuk mempercepat gerakannya atau meningkatkan refleksnya, serangannya tidak secepat yang diharapkannya.

Rai dengan mudah menghindar ke samping dan menangkis serangan itu dengan pisaunya sendiri.

Ting! Ting! Ting!

Bilah baja mereka beradu berkali-kali, menimbulkan percikan api kecil dalam kegelapan.

Rodick masih lebih kuat secara fisik, tetapi dia terbiasa mengandalkan skill dalam bertarung.

Tanpa itu, gerakannya menjadi lebih kaku, lebih mudah ditebak.

Sebaliknya, Rai telah berlatih selama bertahun-tahun untuk bertarung tanpa kemampuan Player.

Setiap gerakan yang dia buat terukur, setiap serangan yang dia lakukan memiliki tujuan.

Rodick mulai kehilangan ritmenya, nafasnya semakin berat, luka-luka yang sebelumnya dia dapatkan dalam pertarungan melawan Gunnar kini mulai mempengaruhi ketahanannya.

Rai melihat celah itu, dalam satu gerakan cepat, dia menghindari tebasan Rodick, lalu memutar tubuhnya dan menancapkan pisaunya tepat ke sisi perut lawannya.

Jleb!

Rodick tersentak, matanya melebar, darah segar mengalir dari lukanya.

Tapi Rai belum selesai.

Dia menarik pisaunya keluar dan, dengan satu gerakan halus, menyayat tenggorokan Rodick.

Sret!

Rodick terhuyung, tangannya gemetar mencoba menekan lehernya yang mengeluarkan darah.

Dia menatap Rai dengan ekspresi tak percaya.

"K-Kau..."

Rai hanya menatapnya dingin.

Rodick terjatuh ke tanah, tubuhnya berkedut beberapa kali sebelum akhirnya diam selamanya.

Rai menghela napas pelan, menghapus darah dari pisaunya sebelum memasukkannya kembali ke dalam sarung.

Rai menatap mayat Rodick yang tertelungkup dibawah kakinya.

Dia berjongkok dan mengambil pisau yang digunakan oleh Rodick dan mengamatinya.

"Pisau yang bagus...sayang tidak bisa digunakan"

Meskipun tidak bisa dipakai Rai tetap menyimpannya siapa tahu ada kegunaannya nanti.

"Aku bilang kita lihat saja, kan?" katanya pelan, sebelum berbalik dan menghilang ke dalam bayangan.

*******************************

Di markas, Profesor Lamberto dan Ruben menunggu dengan tegang.

Tiba-tiba, radio komunikasi berbunyi.

"Ruben, siapkan truk, akan ada banyak mayat yang perlu kau angkut malam ini."

Suara Rai terdengar datar, tapi penuh dengan kepuasan.

Profesor tertawa kecil.

"Sepertinya rencana gilamu berhasil."

"Ternyata alat buatan anda berfungsi dengan baik sekali profesor," puji Rai.

"Tentu saja kau pikir siapa aku."

"Lalu profesor, apakah kita bisa menjalankan rencana berikutnya dengan jumlah mayat ini"

"Hmm...dengan adanya dua Rank D dan mayat Player lainnya sepertinya kita bisa melanjutkan ke tahap berikutnya."

"Baguslah jika begitu, aku mengharapkanmu profesor."

Ruben menghela napas lega mendengar keberhasilan Rai.

"Kau benar-benar iblis, Rai."

"Tidak," jawab Rai sambil menatap medan pertempuran dari kejauhan.

"Aku hanya melakukan apa yang perlu dilakukan."

Sambungan telepon ditutup.

"Dia benar-benar berhasil," gumam Ruben, masih tak percaya.

Profesor Lamberto tersenyum kecil.

"Aku sudah bilang, Rai bukan sembarang manusia biasa. Dia adalah seseorang yang lahir untuk berburu Player."

Ruben menghela napas.

"Aku hanya berharap dia tidak kehilangan dirinya sendiri dalam pembalasan dendam ini..."

Profesor Lamberto tidak menjawab, hanya menatap layar komputernya saja.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!