Raisa, gadis malang yang menikah ke dalam keluarga patriarki. Dicintai suami, namun dibenci mertua dan ipar. Mampukah ia bertahan dalam badai rumah tangga yang tak pernah reda?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ayuwine, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
06
Pukul 12 malam, Raisa masih belum keluar dari kamar sejak tadi sore. Hatinya benar-benar hancur. Seumur hidupnya, tak pernah sekalipun ia mendapatkan hinaan dari siapa pun, apalagi dari keluarga suami sendiri.
Bahkan iwan,suaminya pun belum kunjung menemuinya ,saat ini isi pikrian raisa benar-benar kalut.
Hati nya sakit saat mendengar caci dan makian dari kakak ipar nya sendiri,belum lagi suaminya tidak ada di sisi nya untuk menenangkan nya.
Sementara itu. Iwan,dia menginap di rumah kakak nya sari. Dia merenung di ruang tamu sendirian, memikirkan bagaimana nasib rumah tangga nya sekarang.
Dia bukan tidak ingin untuk menemui istrinya . Namun, dia terlalu malu untuk menemui istrinya akibat ulah kakak nya sendiri.
"belum tidur wan?"tanya jaki. Suami dari sari.
Iwan menoleh dan membenarkan posisinya menjadi duduk. "Entahlah, Aa. Iwan bingung. Pengen banget ketemu Raisa, tapi Iwan malu... takut," lirihnya, menatap kosong ke arah akuarium. Ikan-ikan kecil itu berenang tanpa peduli, seolah hidupnya tanpa beban.
"Aa ngerti, Wan... Tapi saran Aa, temui Raisa. Dia butuh kamu sekarang. Jangan sampai malah orang lain yang nenangin dia."
jawab jaki dengan menegaskan setiap perkataan nya ,berharap adik ipar nya ini mendapat keberanian .
iwan menoleh sekilas ke arah jaki,lalu menundukan pandangan nya. "tidak mungkin A, raisa itu tipe orang yang selalu memendam masalah nya sendirian."ucap nya dengan nada yang merasa bersalah.
"kamu tega membiarkan nya memendam rasa sakit sendirian?"tanya jaki dengan tatapan yang sulit di artikan.
Iwan merasa semakin merasa bersalah,dia yakin saat ini raisa sadang menangis sendirian di dalam kamar nya.
"temui dia besok, dan selesaikan masalah nya. Aa yakin raisa adalah perempuan baik-baik dia akan mudah memaafkan seseorang. Kamu hanya perlu berpihak kepadanya."ucap jaki dengan menepuk kuat pundak adik ipar nya.
Setelah mengatakan itu,jaki pergi meninggalkan iwan sendirian di sana. Jaki sengaja meninggalkan Iwan sendirian, berharap adik iparnya itu bisa memikirkan semuanya dengan kepala dingin, dan besok mengambil keputusan yang tepat.
Jaki berjalan ke arah kamar nya. Namun, langkah nya terhenti saat melihat istrinya. Sari, sedang berdiri di depan pintu kamar dengan senyum manis nya. Ternyata sejak tadi sari mendengarkan percakapan suami dan adik nya.
"makasih mas...aku benar-benar beruntung memiliki suami seperti mu" ucap sari dengan mata yang sudah basah dengan air mata.
"aku hanya menasehati adikku. Kenapa kamu malah menangis? Ayok masuk dan tidur,biarkan iwan memikirkan semuanya dengan matang."jawab jaki dengan mengelus pelan rambut sang istri.
Paginya iwan sudah bangaun,bahkan dia sudah membereskan rumah kakak nya dengan rapi dan bersih,bahkan kasur tempat nya tidur sudah dia kembalikan kedalam kamar tamu.
"wan...rajin sekali,padahal bairkan saja, biar si teteh yang membereskan nya nanti."ucap jaki dengan membawa dua gelas kopi hitam dan menyimpan nya di meja .
Iwan hanya tersenyum kecil, canggung. Dalam hati, ia bersyukur, setidaknya masih ada Sari dan Jaki yang bisa dia andalkan, di tengah saudara-saudaranya yang lain.
Dia memilih untuk menginap di rumah sari karena dia paling dekat dengan sari.
Dengan aji pun memang dekat. Namun, aji kurang beruntung dalam memilih seorang istri, iwan dan sari akan menyebut nya sebagi udin versi perempuan.
Kebetulan hari ini adalah hari minggu,rencana iwan akan pergi kerumah orang tua istrinya. Hari ini, Iwan sudah siap untuk pergi ke rumah mertuanya. Ia tahu, Raisa pasti marah besar. Masalah ini seharusnya bukan antara dia dan Raisa, tapi perbuatan kakaknya membuat Iwan kehilangan muka di depan istri tercinta.
"Maafin Mas, Sa... Mas nggak datang semalam. Mas malu, Sa, Mas malu banget ketemu kamu," lirih Iwan, suaranya bergetar menahan perasaan.
Mereka duduk di ruang tamu, berhadapan. Irah dan Roni memang sengaja pergi, memberi mereka waktu untuk bicara.
Raisa hanya diam,bahkan sekarang raisa mulai muak dengan ketidak tegasan suami nya.
Perlahan, dia menarik napas panjang, lalu menatap Iwan tajam. "Mas, aku nggak mau denger alasan lagi. Aku cuma mau tanya satu hal, dan ini soal masa depan rumah tangga kita." Suaranya datar tapi tegas.
"tanyakan saja sa.. Mas akan jawab."ucap iwan dengan sedikit gugup.
"aku hanya akan memberikan satu pilihan. Kamu memilih aku sebagai istri mu atau memilih udin sebagai kakakmu?"ucap raisa dengan nada yang masih tenang.
Iwan mengerutkan kening, tak percaya dengan apa yang didengarnya. "Apa maksud kamu ngomong kayak gitu, Sa?"
"Jawab aja, Mas! Pilih aku atau dia?" desak Raisa, suaranya bergetar menahan emosi.
"aku benar-benar tidak paham raisa kenapa kamu menanyakan itu. kamu istri ku ,pasti aku akan memilih mu."jawab iwan dengan sangat yakin.
"Kalau kamu pilih aku, kenapa kamu nggak pernah belain aku di depan keluarga kamu, Mas?!" suara Raisa meninggi. "Kenapa kamu diam aja? Kenapa kamu biarin aku dihina, disakiti kayak gini?!"
Iwan merasa sangat kaget,pasal nya baru pertama kali ini dia mendapat bentakan dari sang istri.
"Maafin Mas... Tapi Mas janji, Mas bakal belain kamu mulai sekarang," ucap Iwan, suaranya pelan, tatapannya nanar.
Raisa menggeleng pelan, air matanya mulai jatuh. "Buktikan, Mas... Aku capek. Aku muak kayak gini terus."
mereka berdua terdiam cukup lama setelah semua yang mereka ucapkan.
Hatinya penuh sesak. raisa sangat mencintai suaminya, itu tidak bisa dipungkiri. Iwan selalu menjadi suami yang bertanggung jawab, selalu memanjakannya dengan segala perhatian. Namun, Raisa tak bisa menutupi rasa sakit yang selama ini dia pendam. Keluarga suaminya benar-benar keterlaluan.
Perlahan, Raisa menghela napas panjang, menatap Iwan dengan tatapan sendu.
"Aku sayang sama mas..." ucapnya lirih, menunduk. "Mas tahu, kan, selama ini aku selalu berusaha sabar? Tapi aku juga manusia, mas. Aku capek dihina, disepelekan sama keluarga mas sendiri."
Iwan menunduk, menyesal. "Mas tahu, Sa... Maafin mas, mas belum bisa jaga kamu dengan baik."
"Aku lelah, mas. Aku mau kita tinggal di rumah orang tuaku untuk sementara. Aku butuh tempat yang bikin aku ngerasa aman. Sampai mas bisa bangun rumah buat kita sendiri, aku gak mau lagi tinggal bareng keluarga mas yang cuma bikin aku sakit hati," ucap Raisa tegas meski suaranya bergetar menahan tangis.
Iwan menatap Raisa dalam-dalam. Ada rasa sesal yang begitu dalam di matanya. "Iya, Sa... Mas ngerti. Mas janji, mas bakal usahain itu. Kalau itu bisa bikin kamu bahagia, mas setuju."
Raisa tersenyum tipis, meski matanya masih basah. "Makasih, mas. Aku cuma pengen rumah tangga kita bahagia, tanpa ada orang lain yang ikut campur."
Iwan mengangguk, lalu meraih tangan Raisa, menggenggamnya erat. "Mas janji, Sa. Mas janji, mulai sekarang mas bakal lebih tegas buat jaga kamu."
Raisa memejamkan mata sejenak, membiarkan air matanya jatuh. Setidaknya, untuk pertama kalinya, Iwan berpihak padanya.