Azizah pura pura miskin demi dapat cinta sejati namun yang terjadi dia malah mendapatkan penghinaan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SOPYAN KAMALGrab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6: setelah azizah tidak ada
Seorang laki-laki goblok yang tidak bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah.
Dia terlalu mengikuti ibunya. Terlalu takut dicap anak durhaka. Terlalu buta untuk melihat kenyataan bahwa justru dialah yang kini menjadi suami durhaka.
Azizah sudah pergi. Azizah tidak ada di rumah. Tapi apa yang ia lakukan?
Tidak ada.
Ia memilih tetap diam. Tidak berusaha mencarinya. Tidak melakukan apa pun.
Kenapa?
Karena dalam pikirannya, Azizah hanyalah seorang istri yang harus menurut. Seorang wanita yang harus tunduk padanya. Azizah hidup dari uangnya, makan dari hasil kerja kerasnya, jadi sudah seharusnya dia patuh. Tidak seharusnya pergi tanpa izin, apalagi sampai membangkang.
Azizah harus menurut.
Azizah harus taat pada ibunya.
Azizah harus tunduk pada kakaknya.
Azizah tidak boleh punya suara.
Raka mendengus. Ya, begitu seharusnya. Dia tidak boleh kalah oleh seorang perempuan. Apalagi, dia sekarang adalah laki-laki sukses. Seorang pemilik perusahaan. Seorang pria mapan yang pantas mendapatkan istri yang lebih baik.
Benarkah?
Kalimat itu terlintas di kepalanya, tapi ia buru-buru mengabaikannya.
Pagi Tiba.
Tidak ada tangan lembut yang menggoyang-goyangkan tubuhnya. Tidak ada suara manja yang membisikkan, "Mas, bangun. Shalat subuh dulu."
Sunyi.
Ia membuka mata, melirik jam di dinding. Kesiangan.
Seharusnya ia bisa bangun lebih awal, tapi semalam pikirannya terlalu kacau. Ia malah menghabiskan waktu dengan bermain media sosial, melihat wajah-wajah perempuan karier yang menurutnya lebih menarik daripada seorang istri yang hanya bisa diam di rumah.
Sosok perempuan mandiri, penuh percaya diri, sibuk dengan dunia mereka sendiri. Itu tipe wanita yang cocok untuknya. Bukan Azizah.
Tangannya terangkat, hampir saja berteriak, "Az—"
Tapi kalimat itu terputus. Dadanya terasa sesak ketika kenyataan menamparnya.
Azizah tidak ada.
Ia bangun dengan malas, melangkah ke lemari. Mana handuk?
Tangannya meraba-raba rak lemari dengan kesal. Hampir lima menit ia mencari sebelum akhirnya menemukannya.
Biasanya, handuk itu sudah tersedia, terlipat rapi di ujung tempat tidur. Azizah selalu menyiapkannya untuknya.
Tapi sekarang? Tidak ada.
Sial.
Ia berjalan ke kamar mandi. Begitu membuka pintu, aroma pengap menyergap hidungnya. Lantai terasa dingin dan licin. Air di ember dingin menusuk.
Biasanya, kamar mandi sudah bersih. Biasanya, air hangat sudah tersedia. Biasanya, sabun dan sampo sudah tertata rapi.
Sekarang?
Ia harus mencari sabun. Mencari sampo. Mencari semuanya sendiri.
Dan ia benci itu.
Keluar dari kamar mandi, tangannya hampir saja terangkat lagi, siap memanggil Azizah. Tapi, untuk apa?
Azizah tidak ada.
Kemana perginya wanita itu?
Ia berdiri di depan lemari, membuka pintunya dengan kasar. Keningnya berkerut. Baju-bajunya berantakan. Mana baju kerja?
Ah, biasanya Azizah sudah menyiapkannya di atas kasur. Ia hanya tinggal memakai saja. Tapi sekarang ia harus mencarinya sendiri.
Tangannya mulai bergerak liar, membongkar isi lemari.
Lagi-lagi ia sadar. Banyak hal yang selama ini ia anggap remeh, ternyata membuatnya tergantung pada Azizah.
Tapi, apakah ia mau mengakuinya?
Tidak.
Egonya menutupi semua fakta itu. Membutakannya dari kenyataan bahwa selama ini, Azizahlah yang membuat hidupnya lebih mudah.
Raka berdiri di depan cermin.
Kemeja putihnya tampak kusut. Dasi yang ia pasang miring ke kanan, membuatnya terlihat berantakan. Jas yang ia kenakan bahkan tidak cocok dengan bajunya. Biasanya, Azizah yang memilihkan pakaian, memastikan semuanya serasi. Tapi sekarang? Semua terasa asal-asalan.
Ia menarik napas dalam. Ah, sudah cukup rapi, kan?
Walau jauh dari sempurna, inilah hasil terbaik yang bisa ia usahakan.
Tiba-tiba suara ibunya terdengar dari luar kamar.
“Azizah!”
Raka mengerutkan kening, melangkah keluar. “Kenapa, Bu?” tanyanya malas.
Sumarni duduk di meja makan, wajahnya tampak sebal. “Kok nggak ada sarapan? Azizah belum bangun?”
Raka menatap meja kosong. Tidak ada nasi hangat. Tidak ada teh manis. Tidak ada aroma sedap dari dapur.
Hampa.
Perlahan, kata-kata itu keluar dari mulutnya. “Azizah nggak ada, Bu. Azizah nggak pulang.”
Sumarni tersentak. Mata lebarnya menatap putranya tajam. “Apa?! Benar-benar ya dia! Istri durhaka! Keluar rumah tanpa izin suami! Pokoknya kalau ketemu, kamu harus beri dia pelajaran! Siksa dan ceraikan!”
Raka terdiam.
Siksa? Ceraikan?
Ibunya berbicara seolah Azizah bukan manusia. Seolah perempuan itu tidak punya hati, tidak punya perasaan.
Tiba-tiba terdengar suara malas dari kamar sebelah.
Sari keluar dengan wajah kusut, rambut berantakan. “Bu, si Azizah makin lama makin malas ya? Udah jam segini, belum ada sarapan juga.”
Sumarni mendecak kesal. “Azizah nggak ada, Sari.”
Sari mengerjapkan mata, seolah tidak percaya. “Nggak ada?” gumamnya.
Tapi setelah beberapa detik, sudut bibirnya melengkung. Dalam hati, ia bersorak.
Akhirnya, perempuan kampungan itu pergi.
Saatnya menjodohkan Raka dengan Susan. Wanita karier yang lebih segalanya dari Azizah.
Raka tidak menyadari ekspresi kakaknya. Ia sibuk menghela napas, lalu menatap meja kosong dengan malas. “Ka, bikin sarapan, ke? Aku lapar.”
Sari terkekeh. “Wah, aku udah lupa caranya masak, Raka.”
Raka mendengus, lalu beralih ke ibunya. “Bu, bikinin aku kopi.”
Sumarni mendadak memegang pinggangnya, mengeluh dengan suara manja. “Aduh, Raka... encok Ibu kambuh.”
Raka memejamkan mata sejenak, menahan geram. Ia meraih jasnya dengan kasar, lalu berkata, “Ya sudah, aku berangkat dulu.”
Pagi ini berbeda.
Rumah ini dihuni oleh dua perempuan. Dua perempuan yang sudah pernah menikah, tapi tidak satu pun yang bisa mengurus rumah tangga.
Aneh sekali.
Baru beberapa langkah keluar, suara ibunya kembali menggema.
“Raka...!”
Ia menoleh dengan lelah. “Ada apa lagi, Bu?”
Sumarni memasang wajah memelas. “Ibu minta uang, Raka. Azizah kan nggak ada, tapi Ibu tetap perlu makan.”
Raka mengangkat alis. “Bukannya Ibu lagi encok? Udah, jangan ke mana-mana. Biar Kak Sari saja yang beli sarapan. Kemarin aku sudah kasih dia lima juta.”
Ia melirik Sari yang kini terlihat gugup.
Sumarni langsung membalikkan tubuh, menatap putrinya tajam. “Sariiiiiii!”
Raka tidak mau menyaksikan pertengkaran ibu dan anak itu.
Lagi-lagi, semuanya soal uang.
Sumarni melipat tangan di dada, matanya menyipit menatap Sari yang duduk santai di sofa.
"Sari, mana sisa uang yang diberikan Raka?"suaranya dingin, penuh tuntutan.
Sari mengerjapkan mata, memasang ekspresi bingung. "Uang apa, Bu?" tanyanya polos, berpura-pura tidak tahu.
Sumarni mendecak kesal. "Jangan pura-pura bego! Yah, mana sisanya? Ibu aja nggak dikasih uang sama Raka, masa kamu dikasih?"
Sari menghela napas panjang, lalu berdiri dengan malas. Dengan langkah enggan, ia menuju kamarnya, membongkar laci meja rias, dan mengambil beberapa lembar uang yang tersisa.
Kembali ke ruang tamu, ia meletakkan uang itu di atas meja dengan santai. "Nih, Bu."
Sumarni memandangi lembaran uang yang hanya setebal lima lembar seratus ribuan. Mata tuanya membelalak.
"Cuma lima ratus ribu?!"suaranya meninggi. "Ke mana sisanya, hah?"
Sari mengangkat bahu, "Ya habislah, Bu. Buat perawatan."
Sumarni hampir tersedak mendengar jawaban itu. "Astaga, kamu ya!" Ia menunjuk wajah Sari dengan jari telunjuk yang gemetar. "Si Azizah aja kamu marahin karena pakai duit Raka, tapi kamu sendiri enak aja ngabisin uangnya buat hal nggak jelas!"
Sari tertawa kecil. Ia duduk kembali, menyilangkan kaki, lalu berkata santai, "Tenang, Bu. Aku ini cantik demi masuk ke pergaulan kalangan atas. Oh ya, kemarin aku kenalan sama Susan, Bu."
Sumarni menajamkan pandangannya. "Susan? Siapa itu?"
Sari tersenyum penuh arti. "Dia anak orang kaya, wanita karier lagi. Pokoknya cocok banget buat Raka. Dan yang lebih penting, dia punya koneksi dengan keluarga Pratama. Kalau Raka menikah sama Susan, bisnisnya bakal berkembang pesat."
Sumarni mengangguk-angguk. Matanya berbinar seakan baru saja menemukan jalan emas. "Oh... Benarkah itu? Coba nanti kamu ajak dia ke sini."
Sari mengangguk mantap. "Oke, Bu."
Sumarni tersenyum puas, lalu kembali ke urusan utamanya. "Sekarang belikan Ibu sarapan."
Sari mengerutkan kening. "Kenapa harus aku sih, Bu? Ibu aja sana."
Mata Sumarni langsung melotot. Suaranya sarat ancaman. "Kamu ya... Cepat belikan sarapan atau Ibu bilang ke Raka supaya kamu nggak dikasih uang lagi!"
Sari mendecak kesal, tapi ia tahu ibunya tidak main-main. "Oke, oke, Bu!" jawabnya dengan enggan.
Dengan malas, ia meraih tasnya, melangkah keluar, meninggalkan Sumarni yang tersenyum puas.
"Azizah sudah pergi."
"Sekarang waktunya menyingkirkan jejaknya dari hidup Raka."
gk sma suamix tinggal ,dodol bangat Rommy...kejar cinta msa lalu mu