Jessy Sadewo memiliki segalanya: kecantikan mematikan, kekayaan berlimpah, dan nama yang ditakuti di kampus. Tapi satu hal yang tak bisa dia beli: Rayyan Albar. Pria jenius berotak encer dan berwajah sempurna itu membencinya. Bagi Rayyan, Jessy hanyalah perempuan sombong.
Namun, penolakan Rayyan justru menjadi bahan bakar obsesi Jessy. Dia mengejarnya tanpa malu, menggunakan kekuasaan, uang, dan segala daya pesonanya.
My Forbidden Ex-Boyfriend adalah kisah tentang cinta yang lahir dari kebencian, gairah yang tumbuh di tengah luka, dan pengorbanan yang harus dibayar mahal. Sebuah roman panas antara dua dunia yang bertolak belakang, di mana sentuhan bisa menyakitkan, ciuman bisa menjadi racun, dan cinta yang terlarang mungkin adalah satu-satunya hal yang mampu menyembuhkan — atau justru menghancurkan — mereka berdua.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NonaLebah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 27
Ruangan meeting di gedung Starlight Entertainment terasa begitu berbeda bagi Rayyan. Di sini, di balik dinding-dinding yang mungkin pernah dilalui Jessy, dia duduk sebagai Junior Power System Engineer dari PT. Energi Dinamika Nusantara. Di depannya, para petinggi Starlight dan seniornya dari divisi Engineering mendengarkan presentasinya dengan saksama.
"Dengan memasang panel surya di atap gedung ini, kami memproyeksikan penghematan energi listrik hingga 30% dalam setahun," jelas Rayyan, suaranya tenang dan penuh wibawa. Tangannya dengan lancar menunjuk grafik di layar presentasi. Wajahnya yang tampan dan serius membuat klien terpana. Meski junior, penguasaan materinya tak diragukan.
Setelah presentasi dan diskusi panjang, pihak Starlight, yang terkesan, mengajak tim Rayyan untuk makan siang di restoran hotel bintang lima yang mewah, sebagai bentuk apresiasi.
---
Restoran itu luas dan elegan, dengan lampu kristal berkilauan dan aroma masakan lezat. Saat rombongan Rayyan masuk, suara riuh rendah tamu lain menyambut mereka. Tapi bagi Rayyan, seluruh suara seolah meredam saat matanya menangkap pemandangan di sebuah meja di sudut.
Di sana, duduk Jessy, dikelilingi oleh Nita dan Della. Di atas meja, ada sebuah mini cake coklat dengan lilin angka 20 yang menyala.
"Happy birthday, princess...!" seru Nita dan Della bersamaan, wajah mereka berseri-seri.
Jessy tersenyum, wajahnya yang cantik bersinar di bawah lampu restoran. Dia mengenakan dress biru muda yang membuatnya terlihat seperti bintang yang memang pantas bersinar. Rayyan terpana, hatinya berdesir kencang. Jessy berulang tahun. Usia 20 tahun.
Dia dengan cepat menghindar, memilih meja yang agak tertutup oleh pembatas dekoratif, jauh dari pandangan Jessy dan teman-temannya yang masih asyik merayakan. Dia duduk membelakangi mereka, berusaha fokus pada menu, meski setiap sel tubuhnya waspada terhadap keberadaan Jessy.
Timnya dan klien dari Starlight asyik mengobrol, tapi Rayyan hanya menyeringai, sesekali matanya mencuri pandang ke arah meja Jessy. Dia melihatnya tertawa, mengedipkan mata saat meniup lilin, dan memotong kue. Setiap tawanya, seperti pisau yang mengiris hatinya yang sudah berusaha dikubur.
Tiba-tiba, suasana riuh itu pecah oleh sebuah teriakan.
"AAA... Panas...!"
Suara Jessy yang melengking kesakitan memenuhi restoran.
Semua orang menoleh. Seorang waitress muda terlihat panik, berdiri dengan teko pemanas kopi yang kosong di tangannya. Air kopi mendidih telah tumpah, membasahi lengan dan sebagian paha kanan Jessy. Kulitnya yang putih langsung memerah.
"Jess...!" teriak Nita dan Della bersamaan, berdiri dengan wajah panik.
Waitress itu gemetar, berusaha membersihkan dengan kain lap, tapi hanya membuat Jessy semakin kesakitan.
Melihat itu, naluri Rayyan mengambil alih. Tanpa pikir panjang, tanpa memedulikan senior, klien, atau rasa malunya, dia berdiri dan bergegas menghampiri Jessy.
"Bisa tolong ambil lap basah dan es batu? Cepat!" perintah Rayyan pada waitress lain yang berdiri membeku. Suaranya tegas dan berwibawa, membuat para waitress itu segera bergerak.
Dia berlutut di samping Jessy yang masih meringis menahan sakit. Waitress datang membawa mangkuk berisi es batu dan lap bersih yang dibasahi air dingin. Dengan tangan yang stabil meski hatinya bergejolak, Rayyan mengambil beberapa es batu, membungkusnya dengan lap basah, dan dengan sangat hati-hati menempelkannya pada area kulit Jessy yang terbakar.
"Tahan ya... Ini buat ngeredain rasa panasnya sementara," ucap Rayyan, suaranya rendah, hanya untuk Jessy.
Sensasi dingin yang tiba-tiba membuat Jessy terkesiap. Dia menatap ke bawah, dan napasnya tersangkut. Di sana, berlutut di hadapannya, adalah Rayyan. Wajahnya yang selalu dia rindukan kini terlihat begitu dekat, penuh dengan konsentrasi dan... kekhawatiran. Rasa sakit di lengannya seolah menguap, digantikan oleh getaran aneh di seluruh tubuhnya.
"Rayyan..." gumamnya, pelan, hampir tak terdengar.
Rayyan tidak menjawab. Fokusnya masih pada luka bakar Jessy. "Tolong ambil jel untuk luka bakar!" perintahnya sekali lagi, kali ini pada manager restoran yang sudah menghampiri.
Setelah cooling gel itu diberikan, Rayyan mengambilnya dengan hati-hati. Dengan jari-jari yang terampil—tangan yang biasa merangkai sirkuit rumit—dia mulai mengoleskan gel itu secara perlahan dan merata pada kulit Jessy yang memerah dan mulai melepuh. Sentuhannya sangat lembut, penuh perhatian, sangat kontras dengan sikap dinginnya selama ini.
Jessy hanya bisa memandanginya. Air matanya yang tadi karena sakit, kini berubah karena luapan perasaan yang campur aduk—rindu, sakit hati, kelegaan, dan kebingungan. Rayyan ada di sini. Dia masih peduli.
Rayyan mengabaikan semua tatapan yang tertuju padanya—dari Nita dan Della yang terpana, dari tim dan kliennya yang bingung, dan dari semua tamu restoran yang menyaksikan. Di dunia yang sempit itu, saat ini, hanya ada Jessy dan lukanya yang harus dia obati. Prinsip, jarak, dan luka hati mereka berdua, untuk sesaat, terlupakan. Yang tersisa hanyalah naluri pria yang masih mencintai, yang tidak tahan melihat wanita yang dicintainya terluka.
***
Setelah pertolongan pertama selesai, Rayyan mendongak, matanya yang gelap menatap Jessy, memindai setiap ekspresi di wajahnya untuk memastikan kondisinya. Kerutnya masih jelas di dahinya, mencerminkan kekhawatiran yang tulus.
"Masih sakit?" tanyanya, suaranya terdengar lebih lembut dari yang dia rencanakan, hampir seperti bisikan.
Jessy menggeleng pelan, matanya yang berkaca-kaca tak lepas darinya. Rasa sakit fisiknya sudah mereda, digantikan oleh sensasi dingin dari gel dan sentuhan Rayyan yang masih terasa membekas di kulitnya.
"Habis ini langsung ke dokter aja," tambah Rayyan, suaranya kembali ke nada praktisnya, mencoba menciptakan jarak setelah kedekatan yang tak terduga tadi. "Buat mastiin nggak ada cedera yang lebih parah."
Air mata di pipi Jessy masih mengalir, tapi sekarang bukan lagi karena rasa panas di kulitnya. Ini adalah luapan dari luka lama di hatinya yang kembali terbuka. Melihat Rayyan, merasakan kepeduliannya, membuat semua pertahanannya runtuh.
"Terimakasih," ucap Jessy, suaranya bergetar. Dia menarik napas dalam, mencoba mengumpulkan sisa-sisa harga dirinya. "Jangan khawatir, aku bisa urus diri aku sendiri." Kalimat itu keluar seperti sindiran halus, mengingatkan Rayyan pada kata-kata terakhirnya dulu tentang ketidaksetaraan mereka.
Dengan sikap yang membuat Rayyan terpana, Jessy memanggil manager restoran yang masih tampak cemas. "Pak, tolong jangan hukum mbak yang tadi. Dia nggak sengaja," pinta Jessy, suaranya tegas namun adil. Kepeduliannya pada waitress yang ceroboh itu menunjukkan sisi lain darinya yang telah berubah.
Manager itu membungkuk, lega. "Baik... Saya mohon maaf atas kecelakaan ini. Apa perlu saya panggilkan dokter hotel? Jika berkenan, mari saya antar atau panggilkan kesini."
Jessy tersenyum tipis, sebuah senyum yang tak sampai ke matanya, dan menggeleng. "Nggak perlu, Pak."
Sebagai kompensasi, seluruh pesanan mereka digratiskan, bahkan hotel menawarkan menginap gratis selama seminggu. Tapi Jessy menolak dengan halus. Dia berdiri, sedikit tertatih, masih menahan nyeri. Della segera memapahnya di sisi kiri, sementara Nita mengumpulkan tas dan barang-barang mereka.
Rayyan tetap berdiri di tempatnya, menyaksikan Jessy pergi. Setiap langkahnya yang tertatih terasa seperti menginjak-injak hatinya. Punggung Jessy yang tegak, seolah tak tergoyahkan, meninggalkannya sekali lagi.
Selamat ulang tahun, Jes... gumamnya dalam hati, sebuah doa yang tak pernah sempat diucapkan, tenggelam dalam keramaian restoran yang mulai kembali normal.
---
Klinik spesialis kulit terasa steril dan sunyi. Jessy duduk di atas tempat tidur pemeriksaan, dengan Della dan Nita menunggu di kursi dekat pintu. Dokter, seorang perempuan paruh baya, dengan cermat memeriksa luka bakarnya.
"Pertolongan pertamanya sangat tepat," puji dokter sambil mengoleskan salep. "Dengan didinginkan pakai es dan diberikan gel khusus secepat itu, kerusakan kulit bisa diminimalisir. Ini akan sembuh dengan baik, mungkin hanya meninggalkan bekas merah sementara."
Jessy hanya mengangguk, pikirannya melayang kepada pria yang dengan sigap menolongnya tadi. Dokter kemudian meresepkan salep dan obat pereda nyeri.
Di dalam mobil, Della yang menyetir dan Nita di sampingnya, sementara Jessy bersandar di kursi belakang, kakinya selonjor.
"Gila, tadi gue kaget banget," ujar Della, memecah keheningan.
"Gue lebih kaget lagi pas tau-tau Rayyan nongol," balas Nita, matanya berbinar penuh arti.
"Udah berapa lama, Jes, nggak ketemu?" tanya Della, mencoba menyelidik.
Jessy memalingkan wajah ke jendela, menatap lampu-lampu kota yang mulai menyala. "Nggak tau dan bodo amat," jawabnya, berusaha terdengar acuh. Tapi suaranya yang datar tak bisa menyembunyikan gejolak di hatinya. Sudah lebih dari lima bulan sejak mereka putus, sejak mereka memutuskan untuk tidak berkomunikasi, berharap waktu akan menyembuhkan segalanya. Ironisnya, waktu justru mempertemukan mereka kembali dalam cara yang tak terduga.
"Roman-romannya ada yang CLBK nih," goda Nita iseng, menyeringai ke arah Jessy melalui kaca spion.
Jessy langsung tersulut. "Siapa maksud lo?!" serunya, merasa tersindir.
"Abis tadi ada yang sampe nggak kedip pas diobatin mantan," kekeh Della, ikut menggoda.
Wajah Jessy memerah, campur malu dan marah. Dia tak mau terlihat lemah. "Eh! Catet ni ya!" serunya, suaranya meninggi untuk menutupi perasaannya yang sebenarnya. "Rayyan itu cuma mainan buat gue. Gue nggak pernah serius sama dia!"
Tapi di dalam hati, suara kecilnya berbisik, membantah perkataannya sendiri. Dan di sudut lain kota, seorang pria dengan hati yang sama terluka, masih merasakan hangatnya tubuh Jessy dan dinginnya perpisahan mereka, bertanya-tanya apakah luka ini akan pernah benar-benar sembuh.
***
Matahari sore mulai merangkak turun, melukis langit Jakarta dengan gradien jingga dan ungu. Rayyan Albar mengayuh motornya yang tua dengan lancar menyusuri jalanan sempit di kawasan permukiman padat. Setelah seharian berkutat dengan diagram sirkuit dan laporan mingguan, kepalanya penuh dengan angka yang masih berputar-putar. Saat mengunci motor di halaman sempit rumah kontrakannya, dia menarik napas dalam-dalam, melepas helm dan mengusap wajahnya yang letih.
Saat mendorong pintu kayu yang catnya sudah memudar, dunianya seketika berubah.
Wanginya... semerbak.
Aroma mentega yang dipanggang, kayu manis yang hangat, dan vanilla yang manis menyambutnya bagai selimut hangat. Bau itu menembus lorong sempit yang gelap, mengusir segala beban di pundaknya. Itu adalah aroma masa kecilnya, aroma ibunya, aroma kedamaian yang selama ini jadi pelariannya.
Dia melepas sepatu usangnya dengan gerakan lamban, matanya menatap ke arah sumber aroma. Ruang tamu yang berfungsi ganda sebagai dapur terlihat lebih hidup dari biasanya. Di bawah cahaya lampu neon yang menggantung di langit-langit, Ibu Maryam berdiri di depan meja kayu panjang yang dipenuhi adonan kue. Rambutnya yang sebahu disanggul rapi, meski beberapa helai sudah memutih, terlihat basah oleh peluh di pelipisnya. Tangannya yang berurat namun lincah sedang memipihkan adonan roti dengan rolling pin kayu.
Dan di sampingnya, berdiri Arsya. Gadis itu mengenakan baju bunga-bunga sederhana dan apron berwarna krem, wajahnya yang lembut terlihat serius saat dengan cekatan membantu Ibu Maryam mencetak kue-kue berbentuk bulan sabit. Tangan mungilnya penuh dengan tepung, gerakannya terampil dan penuh perhatian.
"Rayyan, sudah pulang?" sambut Ibu Maryam tanpa menoleh, fokusnya masih pada adonan di tangannya. Suaranya lembut seperti biasa, namun ada kelegaan tersembunyi di dalamnya. "Kita lagi buat pesenan kue untuk acara arisan besok. Untung sekali ada Arsya yang mau bantuin Ibu. Cekatan, anak ini."
Rayyan memindahkan pandangannya dari ibunya ke Arsya. Gadis itu kini menoleh padanya, senyum mungil dan malu-malu mengembang di bibirnya yang tipis. Matanya yang bulat berbinar ramah.
"Sudah pulang, Mas Rayyan," sapa Arsya, suaranya seirama dengan senyumnya—lembut dan tidak mencolok.
Rayyan membalas dengan anggukan singkat, senyum tipis yang hampir tak terlihat menghiasi bibirnya yang tegas. "Makasih ya, Sya. Udah mau repot-repot bantuin Ibu aku." Ucapannya tulus, meski nadanya datar, terjaga. Sebagai pria yang biasa menyimpan emosi, ini adalah bentuk apresiasi tertingginya.
"Ih, Arsya ini emang calon istri idaman, Yan," celetuk Ibu Maryam tiba-tara, kali ini menatap putranya dengan mata berbinar-binar penuh arti. Tangannya tidak berhenti bekerja. "Rajin, sopan, dan jago masak. Jarang lho anak muda sekarang kayak gini."
Seketika, udara yang tadinya hangat oleh aroma kue menjadi sedikit pengap bagi Rayyan. Dia merasakan sebuah tekanan halus, sebuah ekspektasi yang mulai ia kenali dengan baik. Jantungnya berdesir tidak karuan. Sejak hubungannya dengan Jessy berakhir pahit, Ibu Maryam seperti memasang tameng baja. Dengan tegas—bahkan bisa dibilang otoriter—ia membatasi segala kemungkinan Rayyan kembali terlibat dengan gadis itu. Ponsel Rayyan yang lama "hilang", diganti dengan nomor baru yang hanya segelintir orang tahu. Setiap celah yang memungkinkan Jessy menemukannya ditutup rapat-rapat. Dan sebagai penggantinya, Arsya, anak tetangga yang baik hati dan penurut, hadir hampir setiap hari, "kebetulan" membantu Ibu Maryam, "kebetulan" sedang berkunjung.
Rayyan tahu persis apa yang diinginkan ibunya. Dan dengan berat hati, ia memilih untuk mengikuti alur itu. Baginya, kebahagiaan ibunya—wanita yang telah berjuang sendirian membesarkannya—adalah segalanya. Jika itu berarti harus mengubur perasaannya sendiri, menyakiti hatinya sendiri, maka ia rela. Asal sang ibu tersenyum.
"Aku... aku kekamar dulu ya, Bu. Mau ganti baju dan mandi," ujarnya cepat, mencari celah untuk menghindar sebelum percakapan berlanjut ke arah yang tidak ia inginkan.
Ibu Maryam hanya mengangguk, senyum puas tidak lepas dari bibirnya.
Kamarnya yang sempit menjadi pelarian. Setelah mandi dengan air yang mengguyur tubuhnya yang lelah, Rayyan berdiri hanya dengan handuk di pinggang. Tubuhnya atletis dengan otot-otot yang jelas terbentuk dari kerja keras dan mungkin latihan basket diam-diam. Saat membuka lemari baju kayu tua yang catnya sudah mengelupas, tangannya bergerak otomatis mengambil kaos oblong dan celana training sederhana.
Tapi kemudian, matanya tertarik ke rak paling atas lemari. Di sana, tersembunyi di balik tumpukan sweater tua dan selimut musim dingin, sebuah kardus berdebu disimpan dengan hati-hati. Isinya: laptop gaming mewah dan ponsel model terbaru. Pemberian Jessy. Barang-barang yang seharusnya ia tolak, tapi entah mengapa masih disimpannya. Mungkin karena di dalamnya tersimpan semua kenangan—chat singkat penuh godaan, foto-foto candid Jessy yang tertawa lepas dengan mata berbinar, video saat gadis itu mencoba membuat kue dan berantakan, wajahnya yang coreng moreng tapi tetap cantik. Itu adalah peti harta karun dari masa lalu yang indah sekaligus menyakitkan, sebuah bukti bahwa di balik kesombongannya, Jessy pernah mencoba untuknya.
Dia mengambil napas dalam-dalam, menutup rapat lemari itu seolah mengubur kembali kenangan itu. Tapi bayangan Jessy sudah terlanjur terpanggil.
Dia merebahkan tubuhnya di atas kasur single bed yang keras. Kedinginan malam Jakarta merambat melalui jendela yang kusam. Untuk mengusir kesunyian dan pikiran yang kacau, ia memasang headset dan membuka YouTube. Jarinya tanpa sadar mengetik nama lagu yang ia tahu akan menyiksanya: "Cinta yang Hilang" oleh Arya Nata.
Lagu itu mengalun, diiringi video klip yang menampilkan seorang model utama dengan wajah yang terlalu familiar. Jessy Sadewo. Dia tampil memukau, mengenakan gaun merah yang menempel sempurna di tubuhnya yang seksi, memperlihatkan lekuk tubuh yang menggairahkan. Rambutnya ditata sempurna, matanya yang besar berbinar dengan keyakinan yang khas, dengan senyum menantang yang dulu membuatnya tergila-gila. Setiap lirik lagu kini terasa seperti pisau belati, menusuk-nusuk hatinya yang sudah terluka. Arya Nata bernyanyi tentang cinta yang pergi, sementara Jessy di layar tampak begitu sempurna, tak terjangkau, dan seolah menyindir betapa hancurnya hati Rayyan saat ini. Gadis itu begitu ceroboh dalam mencintai, tapi juga begitu pemberani dalam mengejar apa yang diinginkannya, termasuk dirinya.
Rasanya lagu itu kini seperti sedang menyindir hatinya yang juga terluka. Di balik wajahnya yang dingin dan misterius, tersimpan luka yang dalam. Sebuah pengakuan diam-diam bahwa di suatu tempat di hatinya, ada perasaan untuk Jessy yang mulai tumbuh, meski harus dikubur dalam-dalam.
---
Suasana ruang tamu yang sederhana terasa hangat oleh lampu temaram dan aroma sayur asem yang baru saja diangkat dari kompor. Arsya dengan cekatan membantu Ibu Maryam menyiapkan makan malam di atas meja kayu yang sudah ditutupi taplak bermotif bunga sederhana. Suasana terasa tenang, hampir sempurna, jika bukan karena bayangan seorang pemuda yang masih mengurung diri di balik pintu kamarnya.
Ibu Maryam meletakkan sendok nasi terakhir dengan hati-hati, matanya yang mulai keriput melirik ke arah koridor kecil yang menuju kamar Rayyan. Kerutan di dahinya semakin jelas terlihat, mencerminkan kekhawatiran yang kian menjadi-jadi. Dia menarik napas panjang, lalu memutuskan untuk memecah kesunyian.
"Arsya, tolong Ibu panggil Rayyan dulunya, ya," ujar Maryam, berusaha membuat suaranya terdengar ringan. "Biar kita makan malem bareng. Dia kayaknya masih di kamar."
Arsya, yang sedang membersihkan tangan dengan serbet, langsung mengangguk patuh. Senyum kecil yang selalu siap terpancar di wajahnya yang lembut. "Iya, Bu."
Namun, sebelum gadis itu sempat melangkah, Ibu Maryam menghentikannya dengan isyarat tangan. "Sudah, Ibu saja yang panggil." Mungkin ada firasat dalam hatinya, atau mungkin hanya keinginan untuk memastikan sesuatu.
Kaki Ibu Maryam yang sudah tidak setegap dulu berjalan pelan di lantai semen yang dingin. Dia berhenti di depan pintu kamar Rayyan yang tertutup rapat. Suara desiran kipas laptop dan musik yang samar-samar terdengar dari balik pintu mengonfirmasi bahwa putranya masih terbangun.
Tok. Tok. Tok.
Ketukan jari-jarinya yang berusia pada kayu pintu bergema di koridor sempit. Tidak ada jawaban. Hanya alunan musik sedih Arya Nata yang semakin jelas terdengar.
Tok. Tok. Tok. "Rayyan?" panggilnya lagi, suaranya sedikit lebih keras.
Sunyi.
Kekhawatiran di hati Maryam berubah menjadi sedikit kepanikan. Dengan hati-hati, dia memutar gagang pintu dan mendorongnya perlahan. Pintu itu berderit pelan, membuka pemandangan yang membuatnya tercekat.
Di balik pintu, dalam cahaya lampu belajar yang menyorot dari meja, terlihat sosok Rayyan terbaring di atas kasur single bed-nya yang sederhana. Tubuhnya yang tegap terlihat lunglai, kepala sedikit miring, dan mata terpejam rapat. Di telinganya menempel headset hitam, kabelnya berjuntai di atas bantal. Dan di atas dadanya yang naik turun perlahan, tergeletak ponselnya dengan layar yang masih menyala.
"Udah tidur, Nak?" gumam Maryam dalam hati, wajahnya berkerut penuh kasihan. Rasanya hati seorang ibu melihat buah hatinya kelelahan.
Dia mendekat dengan langkah tertatih, niatnya hanya satu: mengambil ponsel itu dan meletakkannya di meja agar tidak jatuh. Tangannya yang sudah keriput itu terulur.
Namun, saat jaraknya hanya sejengkal, pandangannya tertuju pada layar ponsel yang masih memutar video klip. Dan di sana, seperti hantu dari masa lalu yang tak diundang, terpampang wajah yang sangat dikenalnya—wajah Jessy Sadewo.
Gadis itu tersenyum genit di layar, matanya yang besar dan berbinar seolah menantang langsung ke arah Maryam. Setiap helai rambutnya yang tertata sempurna, setiap senyumnya yang percaya diri, bagaikan menyiram bensin ke bara kemarahan yang selama ini dipendam Maryam. Kenangan pahit itu kembali menghantam: cacian, uang yang dilemparkan dengan seenaknya, dan rasa hina yang dalam.
Napas Maryam tersendat. Darah berdesir panas di pelipisnya. Tanpa berpikir panjang, jarinya yang gemetar menekan layar ponsel dengan kasar, mematikan video dan musik itu sekaligus.
Efeknya langsung terasa.
Rayyan tersentak keras di tempat tidurnya. Kepalanya nyaris membentur kepala tempat tidur. Matanya yang seperti dark coffee terbuka lebar, masih berkabut oleh kantuk dan lamunan, merekam wajah ibunya yang berdiri di sampingnya dengan ekspresi yang tak biasa.
"Bu...?" suara Rayyan keluar, serak dan penuh keheranan. Dia merasakan jantungnya berdebar kencang, campuran antara kaget dan rasa bersalah yang tiba-tara menyergap.
"Masih... kamu masih mikirin perempuan itu?!" sergah Maryam, suaranya meninggi, memecah kesunyian kamar. Setiap kata seperti disemburkan dengan getaran kemarahan yang lama tertahan. Tangannya menunjuk ke arah ponsel yang kini gelap, seolah benda itulah biang kerok segalanya.
Rayyan buru-buru duduk, mencoba mengambil kendali atas situasi. Pikirannya yang cerdas bekerja cepat mencari celah. "Rayyan cuma dengerin musik, Bu," bantahnya, berusaha membuat suaranya terdengar meyakinkan dan datar. Dia menyembunyikan gejolak di dalam dadanya.
"Terserah apapun alasan kamu, Yan!" potong Maryam, tak mendengarkan. Air mata mulai membasahi matanya yang merah. "Yang jelas jangan pernah berpikir kalau Ibu akan mau nerima perempuan itu di kehidupan kamu! Apapun alasannya!" Tekanannya pada kata 'apapun' terasa begitu kuat, bagai paku yang memakukan keputusannya di hati Rayyan.
Rayyan terdiam. Seluruh argumentasinya runtuh. Dia melihat betapa terlukanya ibunya. Dia melihat garis-garis lelah di wajahnya yang semakin dalam. Bagaimana mungkin dia, anaknya, tega menambah luka itu hanya untuk sebuah perasaan—perasaan pada seorang gadis yang pernah menyakiti ibunya begitu dalam? Dia merasa sangat lemah, tak berdaya. Mengorbankan kebahagiaannya sendiri terasa lebih mudah daripada melihat air mata ibunya.
Dia menunduk. Bahunya yang biasanya tegap terlihat sedikit membungkuk. Itu adalah bahasa tubuhnya yang paling jelas: menyerah.
Melihat ketundukan putranya, amarah Maryam sedikit mereda, digantikan oleh perasaan lega yang pahit. Dia tahu dia menang, tapi kemenangan ini terasa tidak enak di hati.
"Cepat keluar!" perintahnya, suaranya masih tegas namun sudah lebih rendah. "Makan bareng Arsya." Dia jeda, menatap Rayyan dengan pandangan penuh harap dan peringatan. "Dan," tambahnya, dengan penekanan, "bersikap yang baik ke Arsya."
Rayyan mengangguk pelan, masih menunduk. "Iya, Bu."
Dia pun bangkit dari tempat tidurnya, mengikuti ibunya yang sudah berbalik dan berjalan keluar kamar. Langkahnya terasa berat, bagai membawa beban yang tak terlihat. Di ruang tamu, Arsya dan makan malam yang hangat menunggu. Tapi di dalam hatinya, bayangan Jessy dan lantunan lagu sedih Arya Nata masih bergema, mengingatkannya pada sebuah cinta yang harus dikubur demi seorang ibu yang sangat dia cintai.
kudu di pites ini si ibu Maryam