NovelToon NovelToon
FORBIDDEN PASSION

FORBIDDEN PASSION

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Cinta Terlarang / Bad Boy / Barat
Popularitas:1.1k
Nilai: 5
Nama Author: Lyraastra

Juru masak di bistro bernama Ruby River yang diminta bekerja di mansion milik keluarga kaya. Di mansion mewah itu, Ruby bertemu dengan pria dingin, arogan, dan perfeksionis bernama Rhys Maz Throne, serta si tengil dan rebel, Zade Throne. Zade jatuh hati pada Ruby pada pandangan pertama. Rhys, yang selalu menjunjung tinggi kesetaraan dan menganggap hubungan mereka tidak pantas, berupaya keras memisahkan Ruby dari adiknya. Ironisnya, usaha Rhys justru berbuah bumerang; ia sendiri tanpa sadar jatuh cinta pada Ruby, menciptakan konflik batin yang rumit.


Perasaan Rhys semakin rumit karena sifatnya yang keras kepala dan keengganannya mengakui perasaannya sendiri. Sementara itu, Ruby harus menghadapi dua pria dengan kepribadian yang sangat berbeda, masing-masing menawarkan cinta dengan cara mereka sendiri. Di tengah dilema ini, Ruby harus memilih: mengikuti kata hatinya dan menerima cinta salah satu dari mereka, atau menjaga harga dirinya dan memendam cintanya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lyraastra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

TEQUILA

Setelah meninggalkan acara makan malam bersama keluarganya, Rhys melangkah menuju balkon atas. Kemeja hitam yang tadinya terkancing rapi, dibiarkan terbuka di bagian atas. Tak lupa lengan kemejanya dilinting hingga pada siku, membuat otot tangan terlihat cukup jelas. Tepat diambang pintu, langkah besarnya terhenti. Matanya menyipit, menyelipkan pandangannya kearah kolam renang besar yang terbentang bagaikan cermin raksasa, memantulkan cahaya emas dari lampu-lampu yang terbakar temaram.

Meneguk tequila lagi, kali ini lebih perlahan, menikmati sensasi panas menjalar dari tenggorokan hingga ke dada. Rasa pedas tequila berpadu dengan sedikit asam dari jeruk nipis, menciptakan kerutan halus di dahi Rhys.

Membiarkan bahunya bersandar, namun pandangannya tetap lurus ke dapan. Saat ini tak berniat beranjak, terjebak oleh siluet seorang wanita, tentunya ia tahu siapa itu.

Rambut pirang titanium yang dibiarkan panjang, terurai, dan disapu lembut oleh angin. Duduk di atas dek batu yang mengelilingi setiap kolam renang, ia bermain-main, memercikkan air dengan tangan kosongnya. Punggungnya ramping, lekuk pinggangnya halus, dan bahunya yang sedikit membungkuk— semua terekam jelas di mata Rhys.

Rhys menarik napas kasar. Di dalam sadarnya, ia ingin pergi, tapi, kaki panjangnya menuntutnya untuk melangkah lebih dekat. Tegas dan lebar, setiap langkah kaki yang dibuat, namun tak menimbulkan suara yang mengganggu. Semakin menyempit jaraknya, jemari yang mengapit gelas kecil tempat menampung sedikit tequila, diletakkan pelan diatas meja batu panjang, yang mengarah ke kolam renang.

Sementara di tempat yang sama, bahkan sangat dekat, Ruby yang bermain dengan percikan air kolam, tiba-tiba terdiam. Lewat ekor matanya, dia menangkap sebuah bayangan mendekat. Instingnya berteriak, itu Rhys, pria yang menatapnya tajam tempo lalu. Bingung harus berbuat apa, Ruby hanya mematung, tak berani menoleh ke belakang, sekadar sebuah sapaan. Semakin lama, pantulan tubuh tinggi Rhys di permukaan air kolam semakin nyata, tak dapat diragukan lagi, pria itu sudah berada tepat di belakang tubuhnya.

Kumohon pergi dari sini, kumahon. Singkat saja, tapi kata itu yang terus berputar di dalam pikiran Ruby, bergema tak berunjung. Terus memohon, dan memohon.

"Ehm."

Goddamn! Ruby benar-benar ingin menghilang, mencair ke dalam kolam dan menyatu dengan air, menghilang dari hadapan tuannya itu.

Namun, tubuhnya bergerak sendiri. Ruby berdiri, melewati keterkejutan yang sempat membelenggu di dirinya. Sangat pelan, ia memutar tubuhnya ke belakang, menghadap pada Rhys yang menjulang begitu tinggi, seperti akan menelan tubuhnya yang kecil.

Ruby menghindari kontak mata, menunduk, merendahkan diri pada Rhys.

"Tuan membutuhkan sesuatu? Um, mungkin makanan? Aku akan segera buatkan." Ruby bertanya, suaranya gemetar. Ia masih menunduk, tak berani mendongakkan wajah.

"Ingin membuatku menjadi gendut?" Suaranya dingin dan terdengar serius.

Ruby menggeleng panik. Sekarang, Rhys salah paham padanya. "Tidak, tidak. Aku tak bermaksud seperti itu pada anda. Maafkan aku..."

"Angkat wajahmu, aku tidak suka diacuhkan saat berbicara."

Si wanita menurut. Namun, bukannya mendongak dan merespons singkat saja tatapan itu, ia justru menatap ke arah lain, ke samping tubuh Rhys.

Baiklah. Rhys tak akan peduli apa yang dilakukan wanita aneh berambut pirang itu. Dan yang lebih anehnya lagi, mengapa ia bisa mengikuti bawah sadarnya, hingga berada di tempat ini bersama seseorang... wanita? Sialan.

"Sedang apa di sini?"

"Aku... aku hanya ingin menikmati suasana malam di mansion ini," jawab Ruby. Matanya melirik ke arah kolam renang, menghindari kontak mata dengan sosok Rhys. "Udara di sini sejuk, dan... dan cuacanya cukup bagus."

Rhys mengangguk saja. Ia melangkah gagah mendekati Ruby, matanya mengamati wanita itu yang hanya sebatas bahunya dengan cara menunduk. Rhys menyadari kecanggungan Ruby karena tindakannya yang tiba-tiba.

"Sejak bertemu kau tak berani melihatku. Ada apa?"

"Maaf, tuan. Aku hanya... merasa sedikit gugup dan takut. Aku tidak bermaksud untuk tidak menghormati anda."

"Kau menganggapku menakutkan?" tanya Rhys, sedikit mengangkat alisnya.

"Tentu saja tidak," sahut Ruby, berani menatap Rhys sejenak sebelum kembali menunduk, meski kini tak serendah sebelumnya. Mata birunya melirik ke arah Rhys, ragu-ragu. "Sama sekali tidak terlintas dalam pikiranku untuk menganggap tuan seperti itu."

Rhys hanya mengangguk, wajahnya datar tanpa ekspresi. Seakan mengeluarkan suara dan sebuah ekspresi sangat mahal untuknya.

"Mungkin aku sudah—"

"Aku ingin menenangkan pikiranku sejenak disini, tanpa gangguan seseorang."

"Ah, baiklah," gumam Ruby pelan, suaranya sedikit tertekan. "Aku akan pergi, tuan."

Rhys tidak menanggapi, tetapi tetap membuka jalan untuk koki barunya dengan menggeserkan tubuh ke samping. Ruby ragu-ragu mendongak, sehingga tatapan mereka tak sengaja bertemu. Ruby seakan terpaku dengan intensitas tatapan Rhys, dalam dan tajam. Mata cokelat terang itu seolah menikam, membuat tubuhnya menegang. Namun, hanya terjadi beberapa detik, sebelum Jasper lebih dulu menghindar.

Ruby semakin gugup dengan kebodohannya. Tergesa-gesa dalam langkahnya, meninggalkan balkon, meninggalkan satu pria paras tampan yang tadi menyuruhnya pergi. Begitu tergesanya, sampai tak sadar bahwa ia berpapasan dengan seorang wanita yang tampak panik.

"Pelayan! Kemari."

Merasa panggilan pelayan tertuju padanya, Ruby berhenti. Tubuhnya berbalik, sehingga bisa melihat wajah itu dengan jelas. Perlahan jari telunjuknya terangkat dengan ragu, menunjuk ke dirinya sendiri. Bibirnya terbuka tanpa suara, seolah berkata, "aku?"

"Jika bukan kau siapa lagi pelayan yang berada di sini, tidak mungkin pelayan itu aku."

Ruby tertegun. Apakah pakaian koki yang ia kenakan tak kasat dimata wanita itu? Ia memang baru di mansion ini, tapi seragam koki yang ia kenakan cukup mencolok, bukan?

"Kau tuli atau bagaimana? Aku memanggilmu tapi kau tak menyahut," kata wanita itu dengan nada dingin, penuh ketidaksukaan. Ruby terdiam, matanya terpaku pada lipstik merah darah yang memikat bibirnya. Ia ingat Eden pernah bercerita tentang semua orang yang datang di mansion, termasuk wanita ini, anak dari kakak tiri Beatrice. Wanita itu tampak dewasa, bergaun putih anggun, namun memancarkan aura yang tak ramah.

"Maaf sekali nona. Aku bukanlah pelayan tapi koki baru di mansion ini." Sebisa mungkin Ruby berucap lembut.

Wanita bermulut tajam itu meneliti penampilan Ruby, bersama bibirnya membeo panjang. "A—apa bedanya, kau sama-sama pelayan, hanya saja tugasmu di dapur."

"Ibarat kau hanya sebutir pasir di hamparan pantai, tak berarti apa-apa. Kau hanya seorang koki yang tak lebih dari tukang masak biasa," tambahnya.

Tajam sekali perkataannya. Namun, Ruby tak terluka sedikit pun. Ia sudah terbiasa dengan perlakuan seperti ini, direndahkan, dianggap hina, bahkan oleh bibi dan pamannya sendiri. Dengan tersenyum tulus Ruby mencoba menyingkapi, walaupun mata birunya tak tenang saat menatap. Tak ingin berdebat, lebih panjang.

"Baiklah. Maaf, aku telah menyepelekan anda. Apakah... ada sesuatu yang perlu aku lakukan?"

"Kau yang menawarkan, jadi.... bersihkan kaki dan heels-ku yang terkena tumpahan alkohol." Dijulurkan satu kakinya, ditunjukan pada Ruby.

Arah mata Ruby mengikuti apa yang ditunjukkan si wanita itu. Bahkan ujung gaun putihnya tampak berbeda, terdapat bercak noda di sana.

"Tunggu apa lagi? Ayo bersihkan."

"Dengan bajumu," tambahnya. Saat melihat gelagat Ruby ingin beranjak pergi.

"Mengapa menggunakan bajuku? Aku masih memakainya. Biar aku ambilkan kain dan air bersih untuk membersihkan heels, nona."

"Tak perlu. Itu akan lama, aku ingin kau bersihkan sekarang juga. Rasanya kakiku sudah lengket sekali," tandas wanita itu, tidak ingin dibantah.

"Tidak bisa, nona. Aku akan ambilkan—"

"Gunakan itu saja." Wanita itu menunjuk dengan dagunya. Ruby mengerutkan kening, pandangannya sontak mengikuti. Rak kaca yang menyimpan barang-barang antik dekat grand piano hitam yang mengkilap gagah. Jaraknya cukup dekat, atas perintah wanita bergaun putih, Ruby dengan cepat mengambil kain yang tergeletak rapi di sana.

Kain yang tak lain adalah sapu tangan putih, sudah berada ditangan lembut Ruby. Dengan tangan disilangkan di dada, wanita arogan itu mengangkat salah satu kakinya, hingga menjulur lebih kedepan. Meminta Ruby untuk segera dibersihkan.

"Aku tak bisa mendengar alasanmu lagi, cepet bersihkan."

"B—baiklah."

Tubuhnya merunduk rendah, berjongkok, seperti sedang merendahkan diri dihadapan seorang penguasa. Sebuah ironi, mengingat Ruby, koki dari kalangan rendahan, kini berada di mansion megah ini. Membersihkan tumpahan alkohol di punggung kaki putih dan heels pemilik wanita bergaun putih itu. Bau alkohol yang tajam menyengat menusuk hidung Ruby, memaksanya menahan napas sejenak.

"Kau melihat kulit kakiku memerah? Aku berharap tidak sampai iritasi karena alkohol sialan itu."

Ruby tetap fokus pada tugas mengelapnya, tetapi ia masih berusaha untuk menimpali lawan bicaranya saat ini. "Jika nona merasa panas dibagian punggung kaki, lebih baik segera dicuci dan dikompres dengan air."

"Jangan menasehatiku. Aku lebih tahu dari pada koki sepertimu," tekannya. "Biar ku beritahu ya, sepatu heels-ku ini sangat mahal, hampir ratusan juta untuk membelinya. Jika terkena air bisa merusak bahannya dan meninggalkan noda. Dan, aku juga memiliki kulit yang cukup sensitif. Air di mansion ini bisa membuatku kedinginan dan tidak nyaman."

Ruby tak menjawab, matanya tertuju pada sapu tangan yang semakin basah dan berwarna sedikit kekuningan. Ia mendongak, seraya berkata, "jika kaki nona masih terasa tidak nyaman, ku panggilkan pelayan saja. Mereka lebih tahu apa yang harus mereka lakukan, dari pada aku yang hanya koki baru di sini."

"Benar juga. juru masak seperti mu hanya tahu tentang bahan-bahan masakan saja, mana tahu caranya melayani majikannya dengan benar. Cepat panggilkan pelayan untukku."

Majikan? yang benar saja.

"Baik, aku akan panggilkan." Setelahnya bangkit dari posisi berjongkok.

"Wow, koki bertugas membersihkan kaki seorang tamu? Aku melewatkan tren yang satu ini rupanya." Tengil sekali nada bicaranya, seakan kalimat itu adalah sebuah ejekan yang pantas keluar dari mulutnya.Tapi sepertinya Zade memang suka menyinggung sesuatu apa yang dilihat dan didengar, dibalut dengan sedikit humor. Berdiri di tepi anak tangga terakhir, Zade tersenyum tipis kala Ruby menengok padanya. Ini adalah sebuah kebetulan, namun Zade cukup senang ketika wanita pirang itu membalas kikuk walaupun singkat.

Lucu sekali.

"Kakiku tak sengaja terkena tumpahan tequila, jadi kokimu berinisiatif membantu untuk membersihkannya. Padahal aku sudah menolak, tapi dia terus meminta untuk membantuku, dan akhirnya aku tidak bisa menolaknya, Zade."

Zade melirik wanita yang berbicara padanya. Wajahnya beracun sekali, membuat Zade kesal. "Aku tak meminta penjelasanmu, kakak sepupu. Tapi, apakah yang dikatakannya benar?"

Diberi interupsi lewat ekspresi wajah wanita di sampingnya, Ruby memilih untuk mengiyakan. "Aku hanya ingin membantu nona," ujarnya.

"Nah, sudahku jelaskan. Kau tak percaya padaku, Zade."

"Untuk apa percaya padamu, kau bukan Tuhan yang harus ku percaya dan ku puja."

"Sialan kau bocah. Sikapmu sungguh menyebalkan, pantas saja banyak orang-orang tak menyukaimu." Segera beranjak, itulah yang wanita itu lakukan. Dengan langkah yang tak nyaman, tampak sekali terpincang-pincang, meninggalkan kedua orang berbeda gander yang sama-sama memperhatikannya. Kala tubuh ramping itu berjarak tidak jauh dengan Zade, sorot wanita itu tampak tajam, geruh.

Seperkian detik, Zade mendekati Ruby yang terdiam. Tersenyum lebar, hingga matanya yang melakonis seperti ikut tersenyum. Tampangnya memang seperti rabel, tapi karakternya tak semenyeramkan Rhys, bahkan wajahnya tak semirip itu.

"Sepertinya kau lebih tua dariku, tapi wajahmu terbilang masih belia." Kaki panjang zade terhenti, berdiri layaknya seorang gangster. "Apa kau suka mengencani pria yang lebih muda darimu?"

Apa-apain ini! Mengapa tiba-tiba sekali? Ruby terkejut, tentu saja. Ini adalah kali kedua ia bertemu dengan Zade, tapi pertanyaan pria itu membuatnya harus berfikir cukup panjang.

"Maaf, tuan. Untuk kali ini aku tidak bisa menjawab—"

"Mengapa wanita senang sekali membuat pria berspekulasi, tinggal menjawab saja seperti mempertaruhkan nyawa," potong Zade.

"Um, aku tak pernah berfikir sebelumnya untuk menjalin hubungan dengan siapapun, baik muda atau lebih tua dariku. Tapi, sepertinya aku tak akan menargetkan umur." Ruby memainkan sesuatu ditangannya, membuat Zade terlengahkan karena itu.

"Apa yang kau pegang? Uh, apa itu sapu tangan?"

Ruby mengangguk. Membuka telapak tangannya lebih lebar, menjawab langsung kebingungan Zade.

"Hei, itu sapu tangan milik Rhys! Kau mengambilnya."

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!