NovelToon NovelToon
Aku Putri Yang Tidak Diinginkan

Aku Putri Yang Tidak Diinginkan

Status: sedang berlangsung
Genre:Diam-Diam Cinta / Identitas Tersembunyi / Keluarga
Popularitas:860
Nilai: 5
Nama Author: Isma Malia

Kehidupan Valeria Zeline Kaelani terlihat sempurna, namun ia tidak tahu bahwa ia adalah anak angkat. Rahasia ini menjadi senjata bagi Arum Anindira, kakak kandungnya yang iri dan hidup miskin. Arum mengancam akan membocorkan kebenaran kepada Valeria demi mendapatkan uang dari ibu angkatnya, Bu Diandra.

Di tengah kekacauan ini, sahabat Valeria, Aluna Kinara, tak sengaja mendengar ancaman tersebut, dan ia dihadapkan pada dilema yang berat. Kisah ini semakin rumit dengan hadirnya dua pria yang memperebutkan hati Valeria: Kian Athaya Naufal Mahendra yang mencintai dalam diam, dan Damian Mahesa yang usil namun tulus. Namun, Kedekatan mereka terancam buyar ketika mantan pacar Damian masuk ke sekolah yang sama.

Kisah ini bukan hanya tentang cinta dan persahabatan, tetapi juga tentang pengorbanan, pengkhianatan, dan perjuangan seorang putri untuk menemukan jati dirinya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Isma Malia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Kontrak Bayangan

Bel pulang sekolah berbunyi, memecah kesunyian di seluruh kelas. Guru yang mengajar pun membereskan buku-bukunya dan meninggalkan kelas. Tepat saat pintu tertutup, Aluna dengan cepat berdiri, mengambil tasnya, dan melangkah keluar.

Revan, Kian, dan Damian melihatnya. Mereka saling bertukar pandang, menyadari bahwa Aluna menghindari mereka. Revan bangkit dari kursinya.

"Gue mau ngobrol bentar sama Aluna," kata Revan, suaranya pelan dan serius. "Kalian tungguin gue di kantin aja."

Kian dan Damian mengangguk mengerti. Mereka tahu Revan harus bicara dengan Aluna.

Revan dan Aluna

Revan berjalan cepat, menyusul Aluna di koridor. "Aluna!" panggilnya.

Aluna menoleh, wajahnya terkejut melihat Revan menyusulnya. "Revan? Ada apa?" tanyanya, suaranya terdengar gugup.

Revan menariknya ke sudut koridor yang sepi. "Lo kenapa buru-buru? Gue mau ngomong sama lo."

Aluna menunduk. "Gue... gue harus cepat pulang. Ada urusan."

"Gue tahu," kata Revan. "Gue udah tahu. Makasih karena lo udah jujur sama gue kemarin. Gue janji bakal bantu lo. Lo nggak akan tinggal sama Fara."

Revan menarik tangan Aluna. "Sekarang lo ikut gue, kita ngobrol di taman."

Aluna mengikutinya. Sesampainya di taman, mereka kemudian duduk. Aluna mengangkat kepalanya, air mata mengalir di pipinya. "Tapi gue harus, Revan. Mereka... mereka udah pergi. Nggak ada siapa-siapa di rumah."

"Gue udah bilang, lo nggak akan sendirian," kata Revan,

Aluna kemudian menangis air matanya tidak bisa ia bendung, Revan melihat itu kemudian ia mendekat, lalu memeluk Aluna.

...Hanya ilustrasi gambar. ...

Valeria dan Damian

Sementara itu, Valeria berjalan bersama Damian. Ketika dia berjalan, dari jauh ia melihat Revan sedang memeluk Aluna.

Damian melihat arah pandang Valeria. Ia segera berkata, "Val, lo jangan berpikir macam-macam, ya. Nanti juga Revan pasti akan cerita sama lo, atau nanti gue tanyain ke dia. Lo pulang aja, ya? Gue anter sampai depan sekolah, siapa tahu supir lo udah datang."

Valeria mengangguk. Ia kemudian berjalan dan Damian mengikutinya. Sesekali, Valeria melirik ke arah Revan dan Aluna yang sedang berpelukan.

Sesampainya di depan sekolah, mobil yang menjemput Valeria tiba dan berhenti tepat di pintu keluar sekolah. Damian membukakan pintu untuk Valeria dan mempersilakan dia masuk, Valeria kemudian masuk dan duduk.

"Hati-hati, Pak," kata Damian kepada supir, lalu menoleh ke arah Valeria dan berkata, "Sampai rumah makan, istirahat, dan jangan pikir macam-macam. Nanti gue akan tanyain ke Revan."

Valeria mengangguk. Damian tersenyum sambil mengelus rambut Valeria. Setelah itu, Damian menutup pintunya. Pak supir mulai melajukan mobilnya dan pergi meninggalkan sekolah.

Rencana Kembali Berjalan

Damian melihat mobil Valeria sudah menjauh, kemudian dia menelepon Revan. Ponsel Revan berdering. Revan menyadari ponselnya berdering, ia kemudian melepaskan pelukannya dan mengangkat teleponnya.

"Revan, lo ada di mana?" tanya Damian.

"Di taman," jawab Revan.

"Jadi kumpul, kan?" tanya Damian lagi.

"Jadi. Kumpul di kantin aja. Gue nyusul," kata Revan, lalu panggilan pun berakhir.

Revan kembali menatap Aluna. "Gue harus pergi," katanya.

Aluna mengangguk. "Makasih, Revan," ucapnya sambil tersenyum tipis, lalu ia berjalan pergi meninggalkan Revan.

Setelah Aluna pergi, Revan langsung menuju ke kantin.

Damian tiba di kantin. Suasana sudah jauh lebih sepi dibandingkan saat jam istirahat tadi. Di salah satu meja, ia melihat Kian dan Liam sudah duduk.

"Udah lama?" tanya Damian.

"Lumayan," jawab Liam, melirik gelasnya yang sudah kosong.

Damian tersenyum tipis. "Gue pesan dulu, ya," katanya.

"Gue juga," timpal Kian.

Damian memesan es kopi cappuccino untuk dirinya. Kian memesan dua minuman yang sama untuk dirinya dan Liam, serta beberapa camilan ringan. Setelah pesanan mereka siap dan dibayar, mereka kembali ke meja.

Tak lama setelah mereka kembali, Revan datang dengan wajah serius. "Bentar, gue mau pesan minum juga," katanya.

Revan berjalan ke konter, memesan es kopi cappuccino, dan mengambil beberapa camilan. Setelah memesan dan membayar, ia berjalan kembali ke meja membawa minuman dan camilannya.

Setelah mereka semua kembali, keempat sahabat itu duduk melingkari meja, siap memulai percakapan serius mereka.

"Gue udah bikin rencana bisnis untuk diajukan ke Tante Diandra," kata Revan, suaranya pelan tapi tegas. "Ada beberapa pilihan."

Ia kemudian menyebutkan tiga ide di antaranya:

 * Sebuah bisnis startup di bidang teknologi.

 * Sebuah cafe shop atau coffee shop.

 * Sebuah tempat nongkrong remaja yang lebih besar, menggabungkan kafe dengan ruang kreatif.

Revan menatap ketiga sahabatnya, menunggu saran mereka. Kian menghela napas, bersiap menjabarkan risikonya. Damian dan Liam mendengarkannya dengan saksama, sesekali menyesap minuman dan memakan camilannya.

"Oke, gini," Kian memulai. "Kalau startup teknologi, itu risikonya paling tinggi."

"Kenapa?" tanya Revan.

"Startup butuh waktu bertahun-tahun buat stabil, Van. Tante Diandra itu tipenya agresif, dia maunya proyek yang hasilnya cepat dan bisa dia kendalikan. Startup itu terlalu spekulatif dan butuh investasi jangka panjang yang nggak mungkin dia mau," jelas Kian, menunjukkan sisi analitisnya.

"Kalau cafe atau coffee shop?" tanya Revan lagi.

"Itu paling aman, tapi nggak menarik," kata Kian. "Pasarnya udah jenuh banget. Sulit buat menonjol. Diandra nggak akan tertarik sama bisnis biasa, dia maunya sesuatu yang bisa dia ambil alih dan langsung jadi besar."

"Jadi?" tanya Damian.

"Ide ketiga lo, tempat nongkrong remaja," Kian melanjutkan, matanya berbinar. "Itu yang paling menarik. Ini bukan cuma kafe, tapi gabungan tempat kreatif. Ide ini inovatif, punya pasar yang spesifik, dan kesannya sangat modern. Diandra pasti akan melihat potensi besar untuk menjadikannya merek baru yang bisa dia kendalikan. Ini risiko tinggi, tapi imbalannya juga tinggi."

Revan mengangguk, menyadari Kian benar. Ide terakhir adalah umpan yang paling sempurna untuk menjerat Diandra.

"Oke, kita pilih yang itu," kata Revan, suaranya mantap. "Sekarang, kita harus bikin proposalnya. Kita hanya punya waktu sampai besok pagi."

Kian menatap Revan. Ia mengangguk, meyakinkan diri sebelum bicara.

"Van, kalau lo mau, gue punya contohnya," kata Kian. "Gue sempat mau bikin, tapi nggak terlaksana. Bukannya nggak bisa, cuma nggak ada waktu untuk mewujudkannya. Kalau lo mau, besok gue bawa. Dari situ kita bisa lihat kalau ada yang lo mau ubah, silakan. Gue nggak masalah."

Revan menatap Kian dengan mata terbelalak. Wajahnya yang tegang seketika berubah cerah.

"Serius, Ki?" tanya Revan, tak percaya. "Gila, ini bakal bantu banget! Waktu kita mepet."

Damian dan Liam juga terlihat lega. Ini adalah solusi yang sempurna untuk masalah waktu mereka. Rencana yang tadinya harus dibuat dari nol, sekarang sudah punya fondasi.

"Jadi besok pagi lo bawa ya, Ki. Kita kumpul lebih awal lagi buat bahas ini," kata Revan. "Makasih banyak, bro."

Kian tersenyum tipis. "Sama-sama. Kita selesaikan ini bareng-bareng."

Mereka bertiga mengangguk, semangat baru kini terasa di antara mereka. Rencana sudah di tangan, tinggal menyempurnakannya.

Revan berdiri. "Oke, pembahasan sudah selesai, jadi gimana? Jadi pulang?"

Damian menahan Revan. "Bentar, Van. Ada yang pengen gue tanyain."

Revan menoleh, melihat raut wajah Damian yang serius.

"Tadi gue dan Valeria nggak sengaja lihat lo dan Aluna pelukan. Kalian habis ngapain?" tanya Damian, suaranya tenang tapi penuh selidik.

Revan terdiam. Ia menatap Kian dan Liam, lalu kembali menatap Damian. Ia tahu apa yang Damian pikirkan, dan ia tahu apa yang Valeria pikirkan.

"Itu... bukan seperti yang kalian pikirin," kata Revan, suaranya melembut. Ia kemudian menceritakan semua yang terjadi: Aluna yang ketakutan, tentang orang tuanya yang pergi, dan bahwa dia harus tinggal bersama Fara. "Dia nangis, Dam. Dia butuh teman. Gue cuma nenangin dia."

Damian mengangguk, merasa lega. "Syukurlah. Valeria tadi liat, dan dia kelihatan bingung. Gue udah coba jelasin ke dia, tapi dia nggak sepenuhnya percaya."

"Gue bakal jelasin ke Valeria nanti," kata Revan. "Yang penting, kita tahu kalau Aluna bukan musuh. Dia korban. Dan kita harus bantu dia."

Kian dan Liam mengangguk, mengerti. Semua kepingan puzzle kini sudah di tangan mereka. Rencana sudah di tangan, dan misi mereka tidak hanya untuk mengalahkan Diandra, tetapi juga melindungi dua orang yang mereka sayangi.

Revan menatap ketiga sahabatnya, memastikan semuanya sudah jelas. "Jadi, ada yang mau ditanyain lagi?"

Damian dan Kian menggeleng.

"Sepertinya tidak ada," kata Kian. "Kita lebih baik pulang dan istirahat. Kita bahas besok lagi dengan proposalnya. Besok gue bakal bawa drafnya."

Liam mengangguk, meyakinkan. "Ya, dan gue siap bantu untuk ngembangin usaha ini jika terlaksana."

"Gue juga," timpal Damian. "Ya sudah, yuk balik."

Mereka berempat bangkit dari kursi, meninggalkan kantin yang sepi, dan berjalan menuju parkiran. Di sana, mereka naik ke motor masing-masing, melambai, dan meninggalkan sekolah. Hari yang panjang dan penuh ketegangan itu akhirnya berakhir, menyisakan rencana baru dan harapan yang kini berada di pundak mereka.

Kepulangan yang Tidak Terduga

Aluna sampai di depan pintu rumahnya. Ia mengeluarkan kunci dari dalam tasnya, namun saat ia memegang gagang pintu, ia menyadari pintu itu tidak terkunci. Aluna mengernyit bingung, lalu masuk ke dalam. Ia berjalan mengelilingi rumahnya yang sepi, merasakan firasat aneh.

Tiba-tiba, ia mendengar suara musik samar-samar dari dalam kamarnya. Aluna berjalan menuju kamarnya dan terkejut saat melihat Fara sudah berada di sana, sedang membaca buku sambil mendengarkan musik.

"Fara? Lo... kok lo bisa ada di kamar gue? Bukannya rumahnya gue kunci?" tanya Aluna, suaranya dipenuhi keterkejutan.

Fara melepas earphone-nya, tersenyum sinis. "Kenapa sih, Lun? Kaget banget kayak lihat setan tahu nggak?" katanya. "Gue bisa masuk dan ada di kamar lo karena Mama lo kasih kunci cadangan ke Mama gue. Mama gue nyuruh gue buat tinggal di sini, bareng sama lo. Gue juga udah bawa baju-baju sama buku-buku gue. Jadi, kita bisa berangkat sekolah bareng."

Fara menunjuk ke sudut kamar. Aluna melihat dua koper besar tergeletak di dekat tempat tidurnya, mengkonfirmasi perkataan Fara.

Fara kemudian menatap Aluna, sorot matanya berubah serius. "Lo udah lakuin yang gue suruh? Buat gosip tentang Valeria?"

Aluna menggeleng.

"Kenapa lo belum lakuin?!" teriak Fara.

"Gue... gue nggak bisa, Fara. Valeria teman gue," kata Aluna, air mata mulai mengalir di pipinya.

"Tapi gue sepupu lo! Lo lebih belain dia daripada gue?" Fara balas berteriak.

"Gue nggak bisa, Fara! Tolong jangan paksa gue," mohon Aluna.

Fara tersenyum sinis. "Oke. Kalau lo nggak mau, gue akan suruh orang lain yang melakukannya."

"Enggak, jangan, Fara! Pleaseee, gue mohon jangan lo lakuin!" pinta Aluna.

Fara berjalan mendekat. "Jadi, mau lo yang melakukannya?"

Aluna menggeleng.

Fara mencengkeram bahu Aluna, tatapannya dingin. "Kalau lo nggak mau melakukannya, lo diam. Jangan ikut campur atau lo bilang ke siapa-siapa. Kalau sampai lo ngadu dan bocorin hal ini, gue akan hancurkan hidup lo."

Aluna menunduk, air matanya terus mengalir. Fara kemudian mengangkat dagu Aluna, memaksanya untuk menatapnya.

"Awas kalau lo berani ngadu dan bocorin ini lagi," ancam Fara, suaranya pelan dan dingin. "Lihat aja, Aluna. Memang lo pikir gue nggak tahu kalau lo udah cerita ke Revan tentang kapan gue masuk sekolah dan apa rencana gue?"

Aluna menatap Fara, terkejut. Ia tidak menyangka Fara mengetahui hal itu. Tubuhnya gemetar ketakutan. Ia mengangguk pelan, air mata menggenang di matanya.

Fara tersenyum puas. Ia menepuk pipi Aluna dengan lembut, sebuah tindakan yang bertolak belakang dengan ancamannya. "Bagus, anak pintar."

Fara tersenyum puas. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, ia berjalan ke sudut kamar, mengambil tasnya, dan melirik Aluna sekali lagi dengan tatapan penuh kemenangan. Lalu, ia pergi, meninggalkan Aluna sendirian.

Begitu pintu tertutup, Aluna merosot ke lantai. Ia memeluk lututnya, menangis sejadi-jadinya. Ketakutan, rasa bersalah, dan keputusasaan membanjiri dirinya. Ancamannya bukan hanya untuknya, tetapi juga untuk Revan dan teman-temannya. Ia tidak hanya terjebak, tetapi juga menyadari bahwa ia mungkin telah membahayakan orang-orang yang mencoba membantunya.

Ia kini benar-benar sendirian.

...Hanya ilustrasi gambar. ...

Kepulangan dan Persiapan

Valeria baru tiba di rumah. Begitu membuka pintu, ia bertemu dengan ibunya, Diandra, yang sudah menunggunya di ruang tengah.

"Kamu baru pulang?" tanya Diandra.

"Iya, Ma. Tadi macet di perjalanan," jawab Valeria.

Diandra mengangguk. "Ya sudah, kamu ganti baju. Sebentar lagi Pak Bimo akan datang. Siapkan diri kamu. Tapi sebelum itu, kamu makan siang dulu."

Valeria mengangguk. Ia naik ke kamarnya, mengganti seragam sekolahnya dengan pakaian santai. Ia lalu mengambil buku-buku bisnisnya dan turun ke bawah. Ia meletakkan buku-bukunya di meja ruang tamu, lalu berjalan ke meja makan dan mulai makan.

Tak lama kemudian, bel berbunyi. Diandra membuka pintu dan menyambut Pak Bimo.

"Selamat siang, Pak," sapa Diandra ramah. "Silakan masuk. Valeria sedang makan. Silakan duduk dan tunggu sebentar. Atau Bapak mau makan siang juga?"

Pak Bimo tersenyum tipis. "Tidak usah, Bu. Saya sudah makan, terima kasih."

"Baiklah kalau begitu, saya akan siapkan minuman dan camilan," kata Diandra.

"Baik, terima kasih, Bu," jawab Pak Bimo.

Diandra mengangguk, lalu berjalan ke dapur, memanggil pembantunya untuk membuatkan minuman dan camilan. Setelah semua disiapkan dan diberikan kepada Pak Bimo, Diandra menghampiri Valeria.

"Val, kamu sudah selesai makan?" tanyanya.

"Sudah, Ma," jawab Valeria sambil menenggak airnya.

"Ya sudah kalau begitu, langsung ke ruang tamu. Pak Bimo sudah datang," perintah Diandra.

Valeria berjalan ke ruang tamu, dan Mama Diandra mengikutinya dari belakang. Sesampainya di sana, Mama Diandra duduk dengan anggun di sofa, sementara Valeria duduk di lantai dengan buku-buku di hadapannya.

"Mulai pelajarannya, Pak," perintah Mama Diandra.

Pak Bimo mengangguk. Ia mengeluarkan sebuah tablet dari tasnya dan meletakkannya di meja. Ia menatap Valeria dengan ramah, berbeda dengan tatapan dingin Diandra.

Pak Bimo mengangguk ke arah Diandra, lalu menatap Valeria. Ia mengeluarkan sebuah tablet dari tasnya dan meletakkannya di meja.

"Baik, Valeria," kata Pak Bimo. "Kita akan mulai dari dasar. Hari ini, kita akan membahas hukum korporasi dasar dan kontrak bisnis."

Valeria mengernyitkan dahi. Ini bukan topik yang ia harapkan, tapi ia tetap mendengarkan. Pak Bimo menjelaskan bagaimana setiap kata dalam sebuah kontrak memiliki bobot dan dapat digunakan untuk keuntungan satu pihak. Ia menekankan pentingnya membaca setiap klausul, mencari celah hukum, dan memahami cetak biru dari perjanjian.

"Dalam dunia bisnis, ada yang namanya 'klausul Kuda Troya'," jelas Pak Bimo. "Itu adalah pasal yang terlihat tidak berbahaya, bahkan menguntungkan di permukaan, tapi dirancang untuk memberikan kendali atau keuntungan penuh di masa depan. Biasanya, klausul ini disembunyikan di antara poin-poin yang terlihat sepele, dan hanya orang yang benar-benar teliti yang bisa menemukannya."

Valeria terdiam, otaknya bekerja keras. Kata-kata "klausul Kuda Troya" bergema di kepalanya. Ia teringat percakapan ibunya di telepon dengan rekan bisnisnya tentang kontrak ayahnya yang "tak bisa ditembus". Ia tiba-tiba menyadari, ayahnya mungkin telah merancang jebakan untuk orang-orang yang hendak menjatuhkannya.

Sadar atau tidak, Mama Diandra di belakangnya telah memberinya senjata yang tidak ternilai harganya.

Setelah penjelasannya selesai, Pak Bimo menanyakan beberapa pertanyaan untuk menguji pemahaman Valeria.

"Valeria, dari penjelasan saya tadi, menurutmu apa tujuan utama dari 'klausul Kuda Troya' di balik penampilannya yang menguntungkan?" tanya Pak Bimo.

Valeria tidak ragu. "Tujuannya untuk menjebak pihak lain, Pak. Membiarkan mereka berpikir mereka mendapatkan keuntungan, padahal sebenarnya mereka sedang menyerahkan kendali penuh," jawab Valeria dengan lancar.

Pak Bimo tersenyum. "Bagus. Sekarang pertanyaan kedua."

Valeria menatap Pak Bimo, bersiap.

"Bisa kamu berikan satu contoh kasus nyata di dunia bisnis di mana 'klausul Kuda Troya' digunakan untuk mengambil alih perusahaan secara paksa?" tanya Pak Bimo.

Valeria terdiam. Ia tidak bisa menjawabnya. Ia hanya tahu teorinya, bukan contoh nyatanya.

"Tidak bisa, ya?" kata Pak Bimo. "Tidak masalah. Itu akan jadi tugasmu."

Pak Bimo mengeluarkan buku catatan. "Cari referensi dari buku-buku di perpustakaan atau di internet. Temukan contoh kasus nyata di mana klausa seperti itu digunakan. Pelajari bagaimana hal itu terjadi dan bagaimana korbannya bisa lolos atau terperangkap," jelasnya. "Besok kita bahas."

Valeria menunduk. Tiba-tiba, Mama Diandra berkata dengan nada kecewa, "Masa kamu tidak tahu soal seperti itu, Valeria? Ini gara-gara kamu sering main dan bergaul dengan teman-teman kamu yang tidak jelas itu."

Valeria hanya menunduk, tidak berani menjawab.

Pak Bimo segera menyela. "Tidak, Bu. Valeria sangat berbakat. Dia cerdas dan pintar. Dia juga gampang menangkap pelajaran. Saya yakin Valeria akan dengan cepat memahami dan menemukan contohnya. Ini wajar untuknya, dia kan masih duduk di bangku SMA kelas 2. Itu sudah cukup hebat."

"Iya, terima kasih, Pak, atas pujiannya," jawab Mama Diandra, suaranya sedikit melunak.

Pak Bimo kemudian berpamitan. "Kalau begitu saya pamit pulang. Valeria, pelajarannya sampai di sini dulu. Kerjakan tugasnya. Cari secara pelan-pelan, tidak usah terburu-buru. Jika ada pertanyaan, kamu bisa menghubungi saya," kata Pak Bimo.

"Iya, Pak," jawab Valeria.

Setelah Pak Bimo pergi, Mama Diandra kembali ke ruang tamu. Ia menatap Valeria dengan sorot mata yang dingin.

"Valeria, kembali ke kamarmu," perintahnya. "Ada yang perlu Mama sampaikan."

Valeria mengangguk dan mengikuti ibunya.

"Mama akan pergi ke Surabaya selama tiga bulan," kata Diandra. "Selama Mama tidak ada, Mama tidak mau kamu main-main, kumpul-kumpul, atau bersenang-senang. Kamu harus fokus belajar."

Valeria terdiam, tidak menyangka ibunya akan pergi selama itu.

"Mama sudah atur ulang jadwal belajarmu dengan Pak Bimo. Beliau akan datang tiga kali dalam seminggu. Selain itu, Mama sudah siapkan dua guru les lain untuk pelajaran sehari-hari. Mereka akan datang dua kali dalam seminggu," lanjutnya.

Valeria merasakan dunianya runtuh. Ibunya tidak hanya pergi, tapi juga membangun sebuah penjara di sekelilingnya. Ia tidak akan punya waktu luang sama sekali.

Diandra menatap Valeria, sorot matanya kini berubah lebih dingin. "Oh, satu hal lagi. Mama sudah meminta Tante Kiara untuk datang dan tinggal bersamamu di rumah ini."

Valeria merasakan dunianya runtuh. Ibunya tidak hanya pergi, tapi juga membangun sebuah penjara di sekelilingnya. Ia tidak akan punya waktu luang sama sekali dan kini akan diawasi.

Setelah berpamitan dengan Valeria, Mama Diandra kembali ke kamarnya. Ia membuka laptopnya dan mulai menyusun jadwal yang ketat untuk Valeria.

Ia mencatat dengan teliti:

* Pelajaran Bisnis dengan Pak Bimo, setiap Senin, Selasa, dan Rabu.

* Pelajaran Matematika dan Biologi dengan Ibu Jasmine, setiap Kamis dan Jumat.

* Pelajaran Fisika dan Kimia dengan Pak Teguh, setiap Sabtu dan Minggu.

Setelah menyusun jadwal itu, ia menghubungi Pak Bimo dan dua guru les lainnya. Tanpa buang-buang waktu, ia memastikan setiap hari dalam seminggu Valeria akan disibukkan dengan pelajaran.

Diandra duduk di kursi kerjanya, menatap laptopnya yang menampilkan jadwal ketat untuk Valeria. Setelah selesai menyusunnya, ia mengambil ponsel dan mulai menghubungi satu per satu tutor.

Panggilan Pertama: Pak Bimo

"Selamat malam, Pak Bimo," sapanya dengan nada profesional. "Saya ingin mengkonfirmasi jadwal les bisnis Valeria. Mulai minggu depan, kita ubah menjadi tiga kali seminggu: setiap hari Senin, Selasa, dan Rabu. Saya harap tidak ada masalah."

Dari ujung telepon, Pak Bimo terdengar setuju. "Tentu, Bu. Saya akan siapkan materi untuk jadwal baru."

Panggilan Kedua: Ibu Jasmine

"Ibu Jasmine, saya Diandra, orang tua dari Valeria," kata Diandra. "Saya sudah siapkan jadwal les untuk Valeria. Ibu akan mengajarinya Matematika dan Biologi setiap hari Kamis dan Jumat."

Diandra tidak menunggu jawaban, ia langsung menjelaskan detail waktu dan lokasi. Setelah Ibu Jasmine menyetujui, Diandra mengakhiri panggilan.

Panggilan Ketiga: Pak Teguh

Diandra kembali menekan nomor. "Pak Teguh, saya Diandra. Mulai minggu depan, Bapak akan mengajar Fisika dan Kimia untuk putri saya, setiap hari Sabtu dan Minggu."

Tiga panggilan singkat, dan semua kesepakatan selesai. Diandra meletakkan ponselnya, merasa puas. Jadwal itu adalah benteng yang sempurna, memastikan Valeria tidak akan memiliki waktu luang sama sekali.

Bersambung....

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!