NovelToon NovelToon
Terpaksa Menjadi Madu

Terpaksa Menjadi Madu

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikah Kontrak / Cinta Seiring Waktu / Menjual Anak Perempuan untuk Melunasi Hutang
Popularitas:1.6k
Nilai: 5
Nama Author: Julia And'Marian

Alya adalah gadis mandiri yang bekerja sebagai perawat di sebuah rumah sakit swasta. Hidupnya sederhana namun bahagia, hingga suatu hari ia harus menghadapi kenyataan pahit, ayahnya terlilit utang besar kepada seorang pengusaha kaya, Dimas Ardiansyah. Untuk melunasi utang itu, Dimas menawarkan satu-satunya jalan keluar—Alya harus menikah dengannya. Masalahnya, Dimas sudah memiliki istri.

Dengan hati yang terpaksa dan demi menyelamatkan keluarganya, Alya menyetujui pernikahan itu dan menjadi madu. Ia masuk ke dalam kehidupan rumah tangga yang dingin, penuh rahasia, dan ketegangan. Istri pertama Dimas, Karin, wanita anggun namun penuh siasat, tidak tinggal diam. Ia menganggap Alya sebagai ancaman yang harus disingkirkan.

Namun di balik sikap dingin dan keras Dimas, Alya mulai melihat sisi lain dari pria itu—luka masa lalu, kesepian yang dalam, dan cinta yang belum sempat tumbuh. Di tengah konflik rumah tangga yang rumit, kebencian yang mengakar, dan rahasia besar dari masa lalu,

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Julia And'Marian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bab 14

Satu bulan menjelang pernikahan.

Alya duduk di ruang tamu bersama kedua orang tuanya. Ia baru saja mengutarakan keputusannya untuk menikah dengan Rey, dan seperti petir di siang bolong, sang ibu, Bu Erna, langsung memelototinya dengan cemas.

“Kamu sudah pikir masak-masak, Alya? Lelaki itu... punya sejarah yang tidak mudah. Dia pernah meninggalkan tunangannya. Pernah membuat wanita lain patah hati!”

Alya mengangguk perlahan. “Aku tahu, Bu. Tapi aku tidak mencari lelaki sempurna. Aku mencari seseorang yang bersedia membangun masa depan bersamaku — meski dengan puing-puing masa lalu.”

Pak Farid, ayah Alya, memandang putrinya lama. “Kamu sudah terlalu banyak terluka, Alya. Kami hanya ingin memastikan, luka itu tidak bertambah.”

Alya menunduk. “Aku lebih baik mencoba dan jatuh lagi, daripada hidup dalam ketakutan dan menutup semua pintu kebahagiaan.”

Kedua orang tuanya saling pandang,

"Jika sudah seperti itu, ayah dan ibu akan memberi restu untukmu, nak. Semoga, kamu bahagia.."

Dan Alya tersenyum lalu memeluk ibunya dengan erat. "Terimakasih ibu, ayah."

Di kamar, malamnya.

Aira kembali mengigau.

“Jangan pergi, Ayah Rey... jangan pergi juga…”

Alya terbangun, panik, memeluk putrinya erat-erat.

“Sayang, kenapa mimpi seperti itu?”

Aira memeluk erat. “Aira takut. Nanti kalau Ayah Rey juga pergi kayak Dimas... Aira gak mau ditinggal lagi.”

Dan untuk pertama kalinya, Alya sadar, jika bukan hanya dirinya yang harus siap menikah lagi. Tapi hati kecil Aira juga harus diajak sembuh.

Keesokan harinya.

Alya dan Rey duduk bersama Aira di taman. Tidak ada ucapan "akan menikah", tidak ada janji-janji rumit. Hanya obrolan sederhana.

“Kalau Ayah Rey tinggal di rumah kita, Aira mau gak?” tanya Rey.

Aira diam sejenak, menggambar sesuatu di tanah. Lalu dia berkata pelan, “Kalau Ayah Rey pergi lagi, Aira boleh sedih gak?”

Rey memeluknya dengan lembut.

“Kalau Ayah Rey pergi, Ayah akan kembali. Tapi kalau Ayah Rey diizinkan tetap tinggal... Ayah akan jadi orang pertama yang melindungi Aira.”

Aira mengangguk perlahan. “Boleh, tapi pelukannya harus tiap malam. Janji.”

Dan Alya tertegun mendengarnya.

Tiga minggu sebelum pernikahan.

Alya mengunjungi makam ibunya Dimas, ibu mertuanya dulu. Di sana, dia meletakkan bunga dan berdoa lama. Hatinya tenang, tapi tetap berdetak penuh rasa.

“Ibu, terima kasih sudah menganggap aku anak. Dan aku tahu, kalau Dimas masih hidup... mungkin dia juga ingin aku bahagia.”

Lalu ia tersenyum tipis.

“Dan sekarang... aku akan memulai lagi. Dengan izin ibu, semoga rumah baru yang kami bangun bisa jadi tempat yang benar-benar utuh. Bukan karena terpaksa. Tapi karena saling memilih.”

Tiba-tiba, Dimas muncul dalam bayangannya.

Berdiri, tersenyum dari jauh, lalu melambaikan tangan. Seolah memberi restu yang lama tak terucap.

Dan Alya sungguh terkejut melihat itu.

Minggu terakhir menjelang pernikahan.

Rey membawa Alya ke sebuah lahan kosong di pinggiran kota. Di sana sudah berdiri pondasi bangunan kecil — bangunan masa depan.

“Rumah ini akan jadi milik kita. Aku tidak membelinya dulu. Aku bangun dari awal. Supaya kamu tahu, aku tidak hanya mencintaimu. Aku ingin membangun dari bawah. Denganmu.”

Alya menangis.

Dan untuk pertama kalinya, ia benar-benar merasa dipilih, bukan hanya diterima.

Rumah bukan sekadar tempat tinggal. Ia adalah ruang di mana luka-luka dirawat, harapan disemai, dan cinta tidak hanya ditabur, tapi juga dijaga agar tetap tumbuh — meski badai kembali datang suatu hari nanti.

*

Hari pernikahan.

Pagi itu langit cerah, tetapi hati Alya penuh gelisah. Ia mengenakan kebaya putih tulip dengan detail sulaman tangan dari ibunya, yang diam-diam dijahit dengan doa-doa syukur.

Di pelataran rumah sederhana tempat ijab kabul akan diucapkan, para tetamu sudah berkumpul. Aira duduk di samping Bu Erna, mengenakan gaun kecil berwarna peach, sesekali melihat bundanya dengan senyum malu-malu.

Rey tampak rapi dengan baju koko dan jas abu muda. Ia tak henti memandang Alya. Matanya memancarkan kebahagiaan yang tulus.

“Siap, Rey?” tanya penghulu.

“Siap,” jawab Rey mantap.

Penghulu mulai membaca ijab...

“Saya nikahkan engkau, Reynand bin Sudirman—”

Lalu... terdengar suara langkah cepat.

Dari gerbang rumah, seorang wanita muda dengan kerudung krem tergesa masuk. Di sampingnya berdiri seorang anak laki-laki usia lima tahun, bermata tajam, kulit sawo matang, dan garis wajah yang membuat waktu berhenti — wajah yang seperti cetakan kecil Rey.

Suara perempuan itu tegas, hampir bergetar.

“Maaf! Saya... saya tidak bisa diam. Saya harus bicara sebelum ijab itu selesai!”

Semua kepala menoleh. Penghulu terhenti. Alya menegang.

Anak kecil itu bersembunyi di balik rok ibunya, memandang Rey dengan pandangan bingung — sekaligus rindu.

Wajah Rey pucat. Sangat pucat.

Alya bangkit, menatapnya. “Rey... siapa mereka?”

Wanita itu maju perlahan, menatap Alya, lalu menatap Rey.

“Namaku Nayla. Dan anak ini... namanya Rafa. Dia anak dari Rey. Anak yang ditinggalkan tanpa tahu kenapa ayahnya pergi begitu saja lima tahun lalu.”

Bunyi kursi bergeser. Suara para tamu berbisik.

“Apa maksudnya ini, Rey?” suara Pak Farid menggelegar. “Anak? Dari mana? Kenapa ini tidak pernah kau katakan?!”

Rey menatap Rafa, matanya berkaca-kaca.

“Aku... aku tidak tahu Nayla hamil, Pak. Kami hanya sebentar bersama, dulu, sebelum aku benar-benar berbenah. Aku meninggalkannya karena kami tidak cocok. Tapi Nayla... dia tak pernah bilang soal anak.”

Nayla menatapnya getir. “Aku cari kamu. Tapi keluargamu bilang kamu sudah pergi ke luar negeri. Aku akhirnya memilih membesarkan Rafa sendiri.”

Semua mata tertuju pada Alya. Penghulu menutup buku nikah. “Saya rasa, kita harus menunda ini dulu…”

Alya berdiri.

Dunia terasa hening di telinganya. Suara-suara seakan bergema dari dalam sumur. Ia memandang Rey — pria yang ia pikir jujur, terbuka, yang siap membangun rumah dari awal. Tapi ternyata... ada pondasi yang tidak pernah diceritakan.

Ia melangkah ke depan Rafa. Bocah itu menatapnya, tidak mengerti.

“Namamu siapa, Nak?”

“Rafa,” jawabnya kecil.

“Kamu tahu siapa Rey?”

“Kata Ibu... dia Ayahku. Tapi aku gak kenal. Aku cuma mau lihat... kayak apa Ayahku.”

Alya menunduk. Bibirnya gemetar. Ia lalu berbalik pada Rey.

“Kenapa kamu tidak cerita? Bahkan setelah kamu tahu aku punya luka. Bahkan setelah kamu tahu aku butuh kejujuran lebih dari apa pun...”

Rey menunduk. “Karena aku takut kehilangan kamu.”

Pak Farid berdiri dan menunjuk Rey.

“Dan kamu pikir menyembunyikan anak dari wanita lain adalah jalan yang benar?! Kamu pikir kami bisa biarkan Alya hidup lagi dalam cerita setengah?”

Tiba-tiba, Aira berdiri.

Dia menatap Rafa. Mendekat, lalu menggandeng tangan bocah itu. “Kalau dia adikku... boleh gak aku ajarin doa tidur nanti?”

Rafa mengangguk pelan. Alya menangis seketika, begitu juga Nayla.

Aira menoleh ke bundanya. “Bunda, jangan marah ya. Ayah Rey masih baik kok. Rafa juga gak salah.”

Dan pada saat itu, semua orang dewasa yang ada di situ merasa dikalahkan oleh ketulusan seorang anak kecil.

Malam hari.

Pernikahan ditunda. Rey duduk sendirian di tangga Rumah Cahaya.

Alya mendatanginya.

“Rey,” katanya lembut. “Aku gak marah karena kamu punya masa lalu. Tapi aku kecewa karena kamu belum siap menghadapinya bersamaku.”

Rey menatapnya. “Aku siap berubah. Tapi aku salah karena ingin semuanya bersih, seolah luka tak pernah ada.”

Alya duduk di sampingnya.

“Aku tidak butuh kamu bersih. Aku butuh kamu jujur. Karena rumah yang ingin kita bangun... bukan dari kepura-puraan.”

Pernikahan belum jadi. Tapi cinta tidak selalu dibuktikan lewat prosesi. Kadang, ia justru diuji saat prosesi itu dihentikan.

Dan mungkin, untuk benar-benar membangun rumah bersama, keduanya harus menerima seluruh isi masa lalu — bukan hanya bagian yang indah.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!