NovelToon NovelToon
Cintaku Kepentok Bos Dingin

Cintaku Kepentok Bos Dingin

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / CEO / Crazy Rich/Konglomerat / Cinta Seiring Waktu / Wanita Karir / Angst
Popularitas:2.2k
Nilai: 5
Nama Author: Erika Ponpon

Nagendra akankah mencair dan luluh hatinya pada Cathesa? Bagaimana kisah selanjutnya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Erika Ponpon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

8

Pagi itu, kantor Alejandro Corp kembali seperti biasa.

Setidaknya… untuk semua orang.

Tapi tidak untuk Cathesa.

Tangannya gemetar saat menyentuh keyboard. Ia bahkan salah ketik lima kali dalam satu email dan memanggil printer dengan sebutan “mas” saking gugupnya.

“Apa itu beneran kejadian?” pikirnya untuk kesekian kalinya.

Gala malam itu.

Panggung.

Nagendra yang bicara tentang dia.

Di depan semua orang.

Dan sekarang?

Ruangan Nagendra hanya lima langkah dari meja kerjanya.

Tapi kenapa rasanya seperti… lima kilometer?

Di ruangannya, Nagendra seperti biasa. Dingin. Diam. Sibuk.

Tapi Cathesa tahu, sejak gala, tatapan pria itu berubah.

Bukan lagi pandangan bos ke sekretaris, tapi… seolah ada sesuatu yang ditahan. Atau disangkal.

Nagendra sendiri bingung.

Ia membenci ketidakjelasan. Tapi sejak malam itu—sejak ia melihat Cathesa di panggung, gugup dengan sepatu hak tinggi yang tampak menyiksa itu—hatinya menolak diam.

Dia tidak menyesal mengucapkan itu semua.

Tapi dia… juga belum siap melanjutkan apa-apa.

Sementara itu, di rumah keluarga Alejandro…

Adeline duduk santai di ruang teh bersama Ibu Nagendra, menyajikan kue kesukaan sang ibu seolah ia sudah jadi menantu sejak lahir.

“Saya tidak akan menyerah, Tante,” katanya sambil tersenyum manis. “Saya tahu hati Nagendra bisa diluluhkan. Kalau tidak dengan cinta, ya… dengan kepastian.”

Ibu Nagendra tersenyum tipis, menyesap tehnya.

“Saya suka gadis yang tahu apa yang dia mau.”

Sore hari, kantor

Cathesa baru saja keluar dari ruang fotokopi saat langkahnya terhenti.

Adeline.

Berdiri di depan ruangan Nagendra.

Dengan membawa kotak makanan.

Tersenyum.

Tatapan mereka bertemu.

Adeline melirik Cathesa dari ujung kepala sampai sepatu—yang kali ini sudah sepatu flat, bukan tujuh senti seperti di gala.

“Oh. Kamu di sini juga.”

Nada bicaranya manis. Terlalu manis.

Cathesa hanya membalas dengan senyum kecil. “Iya, kan ini kantor saya juga.”

“Benar.” Adeline mengedip, lalu berkata setengah berbisik.

“Tapi hati seseorang… belum tentu milik semua orang yang tinggal di sekitarnya, kan?”

Dan tanpa menunggu jawaban, Adeline masuk ke ruangan Nagendra.

Menutup pintu.

Meninggalkan Cathesa sendiri… lagi-lagi dengan tanda tanya besar.

Malamnya, di apartemen Rey

Rey menatap layar ponselnya.

Ada notifikasi pesan dari Cathesa:

“Kamu sibuk? Bisa video call?”

Tapi dia hanya menatap. Tidak membuka.

Lalu mematikan layar.

Dan menyandarkan kepala ke sofa, diam.

Mengubur lagi—untuk yang entah keberapa kali.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Suasana ruang teh berubah sunyi setelah Adeline menyelesaikan “laporannya”.

Ibu Nagendra menatap ke depan, diam. Tapi rahangnya menegang. Napasnya tertahan. Jemarinya yang biasanya tenang sekarang mencengkeram cangkir teh sampai bergetar pelan.

“Anak itu… berani sekali,” gumamnya nyaris tak terdengar.

Adeline menunduk pura-pura prihatin, meski di dalam hati, dia tersenyum puas.

“Saya tahu ini sulit, Tante. Tapi saya tidak bisa diam ketika melihat Nagendra… mulai dekat dengan seseorang yang tidak sepadan. Saya takut dia hanya dimanfaatkan.”

Mata Ibu Nagendra kini menatap tajam. Tidak ada lagi kelembutan. Hanya kemarahan dan… harga diri yang terluka.

“Cathesa Arunea Agastha,” katanya pelan, menekankan setiap suku kata, “perempuan itu terlalu berani bermain di tempat yang bukan kelasnya.”

Ia berdiri, menyapu gaunnya, lalu melangkah ke arah jendela besar. Pandangannya tajam menembus malam.

“Nagendra adalah pewaris Alejandro Corp. Dia tidak boleh jatuh pada perempuan biasa. Apalagi yang mendekat karena melihat peluang.”

“Saya sudah membesarkan anak saya dengan prinsip. Dan prinsip itu tidak akan digadaikan demi cinta picisan.”

Adeline pura-pura ragu. “Tapi… Nagendra sepertinya mulai membuka hati pada Cathesa.”

“Maka saya yang akan menutupnya kembali,” potong Ibu Nagendra dingin. “Dengan caraku.”

“Nagendra akan tetap menikah denganmu, Adeline. Kamu pilihan kami—karena kamu tahu tempatmu, dan kamu punya martabat keluarga. Sesuatu yang tidak dimiliki gadis itu.”

Keesokan harinya – Kantor Alejandro Corp

Cathesa mengetik laporan keuangan seperti biasa. Tapi entah kenapa, atmosfer kantor terasa berbeda. Lebih dingin. Lebih… menusuk.

Dan saat dia masuk ke ruangan Nagendra untuk mengantarkan dokumen, tiba-tiba…

“Cathesa,” suara seorang wanita memanggil dari belakang.

Ia berbalik.

Ibu Nagendra. Berdiri di ambang pintu. Elegan, tapi penuh tekanan.

Cathesa langsung menunduk sopan. “Selamat pagi, Ibu.”

Ibu Nagendra menatapnya dari atas ke bawah—seperti menilai harga barang di butik mewah.

“Bisa bicara sebentar di luar?”

Cathesa mengangguk ragu. Mereka keluar dari ruangan Nagendra, berjalan ke lorong samping yang sepi.

“Kamu terlihat pintar. Tapi pintar tidak selalu berarti tahu tempat,” ucap Ibu Nagendra dingin, tanpa basa-basi.

Cathesa menahan napas. “Maaf, Ibu?”

“Jangan bermain-main dengan perasaan anak saya. Kamu bekerja di sini sebagai sekretaris. Bukan calon menantu.”

“Saya tahu latar belakangmu. Saya tahu siapa keluargamu. Dan saya tahu, betapa mudahnya perempuan sepertimu tergoda akan harta dan kedudukan.”

Cathesa tercekat. Tapi tetap berusaha tenang.

“Saya tidak pernah punya niat seperti itu, Bu. Saya hanya bekerja…”

“Berhenti membela diri,” potongnya. “Kalau kamu punya harga diri, kamu akan tahu kapan harus mundur.”

Tatapan mereka bertemu. Untuk pertama kalinya, Cathesa merasa benar-benar ditolak… bukan oleh bosnya, bukan oleh pekerjaannya, tapi oleh dunia yang memandangnya tak layak sejak awal.

“Nagendra akan menikah dengan Adeline. Itu sudah keputusan keluarga. Dan kamu… tidak termasuk di dalamnya.”

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Nagendra berdiri di depan jendela ruang kerjanya, kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana. Pandangannya menembus gedung-gedung kota, tapi pikirannya jauh lebih sibuk daripada lalu lintas di bawah sana.

Tadi pagi… ibunya datang.

Tanpa kabar. Tanpa permisi.

Dan begitu ia keluar dari ruangannya, Cathesa sudah tidak ada di mejanya.

Beberapa menit kemudian, ia melihat dari kamera CCTV internal—ya, dia punya akses itu.

Lorong samping.

Ibunya dan Cathesa.

Wajah Cathesa pucat. Matanya jelas menahan sesuatu—entah amarah, luka, atau kehancuran kecil yang tidak bisa dijelaskan oleh kata-kata.

Dan ibunya? Elegan seperti biasa. Tapi Nagendra tahu: itu bukan percakapan ringan.

“Sial,” desisnya pelan.

“Mereka sudah mulai main belakang.”

Sore hari

Cathesa kembali ke meja kerjanya, tapi semua gerak-geriknya berubah. Lebih diam. Lebih hati-hati.

Ia bahkan tidak menatap Nagendra saat masuk ke ruangannya untuk membawa laporan meeting.

“Letakkan saja di meja,” kata Nagendra datar, tapi matanya terus memperhatikan gerak tubuh Cathesa.

Tangannya gemetar.

Ia ingin bertanya, ingin menyuruhnya duduk, ingin bertanya apa yang dikatakan ibunya. Tapi mulutnya… kaku. Seolah ketertarikan dan rasa peduli adalah hal yang dilarang tumbuh di kantor ini.

Setelah Cathesa keluar

Nagendra mendekat ke mejanya. Duduk. Diam sebentar.

Lalu menekan tombol di intercom.

“Cathesa, kembali ke ruangan saya. Sekarang.”

Beberapa detik, pintu terbuka lagi. Cathesa masuk dengan ragu.

“Ada yang bisa saya bantu, Pak?”

Nagendra menatapnya lama.

“Ibu saya bicara apa padamu?”

Cathesa langsung gugup. “Tidak apa-apa, hanya basa-basi—”

“Cathesa.” Nada suaranya turun. Serius. Dingin. Tapi kali ini… dingin yang menahan amarah.

“Saya tidak suka dibohongi.”

Cathesa menunduk. Lama. Lalu mengangkat kepala perlahan, matanya mulai memerah.

“Beliau minta saya menjaga jarak, Pak.”

“Dan kau akan menuruti itu?”

Diam.

“Saya hanya sekretaris, Pak. Tidak lebih.”

Itu bukan jawaban. Itu pengakuan kalah.

Nagendra bangkit, menatapnya dengan sorot mata tajam. Antara marah, kecewa, dan… ada yang tak bisa diucapkan.

“Keluar.”

Cathesa menggigit bibirnya, menahan tangis, lalu menunduk dan berjalan keluar.

Malamnya, di mobil pribadi Nagendra

Ia duduk di kursi belakang, lampu kota melintas di kaca jendela.

Tangannya mengepal.

“Kalau mereka pikir aku bisa diatur…” katanya pelan. “Mereka salah besar.”

1
Rian Moontero
lanjuutt🤩🤸
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!