aku temani dia saat hidupnya miskin, bahkan keluarganya pun tidak ada yang mau membantu dirinya. Tapi kenapa di saat hidupnya sudah memiliki segalanya dia malah memiliki istri baru yang seorang janda beranak 2? Lalu bagaimana denganku?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Minami Itsuki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BERNIAT MENCURI UANG
Perjanjian yang dibuat Rukayah begitu kuat. Ditulis rapi, bermeterai, dan disaksikan perangkat desa. Wulan tak boleh menyentuh harta sepersen pun dari hasil kerja Ramli. Anak-anaknya tak berhak menerima apa pun. Bahkan rumah pun dilarang untuk ditempati.
Dan Ramli? Ia seperti tak lagi memiliki kuasa apa pun atas hidupnya sendiri. Semua yang dulu ia janjikan pada Wulan kini tak bisa ia penuhi.
Ia duduk di depan kontrakan sempit tempat Wulan tinggal. Napasnya berat. Matanya menerawang jauh, seolah berusaha mencari jalan keluar dari benang kusut yang ia buat sendiri.
"Apa Wulan bakal balik sama mantan suaminya?" pikir Ramli cemas.
Bayangan itu menghantuinya terus. Ia tahu, dulu mantan suami Wulan pernah datang dan memohon rujuk. Dan jika kini Wulan merasa kecewa, mungkin itu akan terjadi lagi.
Kalau itu benar terjadi… maka habislah dia. Harga dirinya runtuh. Reputasinya sebagai lelaki pun hancur.
Namun, yang paling membuat Ramli takut bukan hanya ditinggal. Tapi rasa bersalahnya kepada Rukayah yang tak pernah benar-benar hilang. Wanita yang dulu setia menemaninya saat mereka hanya punya satu panci dan satu kompor butut. Wanita yang kini tegas menjaga harta dan marwah rumah tangga mereka, meski hatinya hancur.
Dan justru ketegasan itulah yang membuat Ramli tak berkutik. Ia terjepit di antara janji kosong kepada Wulan dan rasa bersalah mendalam kepada Rukayah.
...****************...
Paginya, seperti biasa, Ramli bersiap ke toko material. Lelaki tua itu mengenakan kemeja lusuh berwarna abu dan celana kain yang sudah mulai memudar warnanya. Sepasang sandal jepit menemaninya melangkah ke halaman rumah sebelum akhirnya mengayuh motor tuanya.
Toko material itu memang atas nama Ramli, hasil kerja keras bertahun-tahun sejak mereka masih menjual pasir dari sisa proyek orang lain. Tapi kini, meski papan nama besar bertuliskan "Toko Material Ramli Jaya" masih tergantung di depan toko, semua yang ada di dalamnya telah dikendalikan oleh Rukayah. Istri tuanya itu kini memegang semua kendali keuangan, stok barang, hingga laporan pembukuan.
Ramli hanya seorang "pekerja" di sana. Dan setiap awal bulan, Rukayah akan memberinya amplop berisi uang satu juta rupiah. Tak lebih. Bahkan ia harus minta izin lebih dulu kalau ingin mengambil air galon untuk kontrakan tempat Wulan tinggal.
Di atas motor, Ramli menarik napas panjang. Matanya menerawang ke langit yang masih kelabu pagi itu.
"Masak aku, pemilik toko, tapi digaji kayak karyawan," gumamnya lirih. Tapi ia tahu, ia tak bisa banyak protes. Ini semua akibat perbuatannya sendiri. Ia yang membuat luka. Ia pula yang menanam kehancuran di rumah tangganya.
Saat motornya ingin melaju, dari dalam kontrakan terdengar suara istrinya memanggil dirinya. "Mas... bentar."
Ramli menoleh, wajahnya langsung tegang. Ia tahu, nada bicara Wulan seperti itu tidak membawa kabar baik.
"Ada apa, Wulan? Aku sudah telat, harus buka toko," jawab Ramli dengan nada pelan.
Wulan mendekat dan berdiri di hadapannya. Tatapannya tajam, tak seperti biasanya.
"Mas... aku butuh uang. Banyak," katanya blak-blakan.
"Anak-anak butuh sepatu baru, belum lagi uang sekolah, kontrakan bulan ini belum bayar, belum makan. Aku capek hidup susah kayak gini."
Ramli menarik napas panjang. "Mas cuma digaji sejuta sama Rukayah. Itu pun harus minta dulu."
"Terserah mau dibilang apa. Tapi aku butuh uang. Ambil aja dari toko, mas. Jangan bilang-bilang. Mas kan bosnya, masa bos harus digaji setiap bulan," desak Wulan, suaranya mulai meninggi.
Ramli langsung gelisah. "Wulan… itu toko, semua pemasukan dicatat. Kalo aku ambil uang sembarangan, nanti ketahuan. Bisa panjang urusannya."
Wulan mencibir. "Ah, jadi sekarang Mas takut sama istri tua Mas itu? Sudah tua, rewel, tapi masih dikendalikan juga. Aku ini istrimu juga! Apa Mas tega liat aku dan anak-anak makan tempe tiap hari, sementara si tua itu tidur di rumah besar?"
Ramli tertunduk. Kata-kata Wulan menohok dalam.
"Kalau bukan karena janji Mas dulu, aku nggak akan tinggal di kontrakan busuk ini. Mas bilang aku bakal hidup enak, tinggal di rumah besar, punya pembantu, baju bagus, belanja tiap minggu… nyatanya apa?"
Ramli berusaha menenangkan. "Mas juga nggak enak, Wulan. Tapi perjanjian itu sudah dibuat. Kalau Mas langgar, Rukayah bisa tuntut macam-macam. Semua surat tanah, semua aset, dipegang dia."
"Apa gunanya Mas punya semuanya, tapi nggak bisa kasih satu pun ke aku?"
Wulan melipat tangan di dada, wajahnya kesal dan kecewa.
"Aku nggak mau tahu. Hari ini Mas harus bawa uang. Setidaknya dua juta. Kalau nggak..." Wulan mendekat, suaranya makin pelan tapi tajam, "jangan pulang. Tidur aja di toko itu."
Ramli menatap wajah istrinya itu dalam diam. Lalu tanpa menjawab, ia naik ke motornya dan pergi. Hatinya berat, pikirannya penuh. Di tangannya hanya ada amplop berisi sejuta, tapi di belakangnya, ada Wulan dengan tuntutan dan amarah.
...****************...
Selama perjalanan menuju toko menggunakan motor bututnya, Ramli menghela napas panjang. Angin pagi yang semestinya menenangkan justru terasa seperti beban yang menampar wajahnya. Jalanan desa yang bergelombang dilaluinya tanpa benar-benar sadar akan arah. Yang ada di pikirannya hanya satu: bagaimana caranya mengambil uang toko tanpa ketahuan Rukayah.
“Kalau cuma dua juta... mungkin bisa diambil dari uang setoran hari ini,” pikir Ramli, gumam lirih.
Tapi logikanya langsung menampar dirinya sendiri. Semua catatan pemasukan dan pengeluaran Rukayah pantau. Setiap sore, istrinya itu akan datang ke toko untuk mengecek laporan penjualan, bahkan menghitung sendiri jumlah kas harian. Bukan sekali dua kali Ramli mencoba ‘menyisihkan’ uang tanpa sepengetahuan Rukayah—dan selalu ketahuan. Entah lewat nota, catatan stok, bahkan kadang hanya lewat firasat Rukayah saja.
"Perempuan itu punya mata seribu," desah Ramli. “Apa-apa tahu.”
Belum lagi beban lain yang terus menyedot pikirannya: ibunya yang mulai merengek meminta uang untuk kebutuhan rumah, kakaknya yang datang minta uang karena anaknya masuk kuliah, keponakannya yang numpang hidup —semuanya seperti tak ada habisnya.
Ramli menepikan motornya sejenak di bawah pohon asam, sekadar menenangkan diri. Ia memijat pelipis, mencoba mencari celah.
“Mungkin... pura-pura ada yang beli tunai, tapi barang belum diantar. Jadi uangnya belum masuk catatan?” pikirnya.
Tapi lagi-lagi ia sadar: semua barang keluar dari toko hanya bisa dengan izin Rukayah. Bahkan sopir pengantar pun tak berani jalan tanpa surat pengantar dari istrinya.
“Kalau gitu... bilang aja ada pelanggan lama utang, belum bayar. Jadi uangnya bisa disisihkan sementara…”
Ramli tertawa pahit sendiri. “Rukayah pasti bakal minta data pelanggan itu. Nggak semudah itu, Ram.”