Blurb :
Seseorang yang pernah hancur cenderung menyebabkan kehancuran pada orang lain.
Aku pernah mendengar kalimat itu, akan tetapi aku lupa pernah mendengarnya dari siapa. Yang jelas, aku tahu bahwa pepatah itu memang benar adanya. Aku yang pernah dihancurkan oleh rasa terhadap seseorang, kini telah menghancurkan rasa yang orang lain berikan terhadapku.
Aku sungguh menyesal karena telah membuat dia terluka. Oleh karena itu, aku menulis semua ini. Dengan harapan suatu saat dia akan membacanya dan mengetahui bahwa aku pun mempunyai perasaan yang sama.
Meskipun mungkin sudah sangat terlambat.
Hai, Lelaki yang Telah Kupatahkan Hatinya, tulisan ini untukmu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sri Ghina Fithri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
6. The Truth
Aku mencoba berkonsentrasi penuh pada ucapan Bang Rian di tengah-tengah kepala yang mulai berputar.
“Alex ngarang cerita kalau Abang yang minta dia buat jagain kamu di sana. Padahal sebelumnya dia udah ngomong sama Bian dan Abang kalau dia pengen serius sama kamu.”
Aku bisa merasakan mataku terbelalak. Apa? Apa yang sedang Bang Rian katakan? “Alex ngomong gitu langsung sama Abang?”
Bang Rian mengangguk. “Pertama kali dia bilang gitu itu pas kami lagi di Bukittinggi. Jujur Abang langsung respect sama dia karena sikapnya itu. Sebagai seorang kakak, Abang benar-benar selektif kalau urusan pendamping kamu, apalagi setelah apa yang terjadi. Jadi, ketika dia bilang gitu sama Abang, Abang langsung mikir, "manner-nya boleh juga nih cowok". Tapi, Abang gak bisa langsung nunjukin sama dia dong. Makanya Abang bilang kalau dia harus bilang ini juga sama Bian. Dia langsung minta mampir ke toko pas kami baru sampai dari Payakumbuh besoknya. Itu yang bikin kami pulang tengah malam waktu itu. Karena Bian nyuruh kita ketemuan lagi di kafe setelah jam kerjanya selesai.”
Kepalaku mulai terasa berat. Aku mengubah posisi, memberingsut hingga kini berbaring. “Terus?” Aku pun tidak dapat menahan rasa ingin tahu yang ada di dalam diri.
Bang Rian mengambil kursi dan menggesernya hingga lebih dekat lagi ke tempat tidurku. “Walaupun kita ngumpul lama, Bian gak pernah sekali pun menyinggung soal apa yang dikatakan oleh Alex sebelumnya. Dia malah ngobrolin hal-hal lain. Abang paham apa yang dia lakukan. Dia mau ngetes si Alex, dan Abang juga ikut-ikutan ngetrs jadinya. Asyik, tahu, bikin Alex yang biasanya tenang dan so sure of himself itu deg-degan. Kami berdua menikmati banget pemandangan yang ada di wajah si Bule. Barulah dua hari kemudian Bian ngajak kami ketemuan di kafe itu lagi. Di sana Bian bilang kalau Alex mau serius sama kamu, dia harus buktiin sama kami keseriusannya. Dan kamu tau si Alex jawab apa?Dia bilang dia akan langsung lamar kamu. Dia bilang, di keluarganya ada suatu pandangan yang menganggap bahwa gak ada perkara yang lebih serius lagi dari sebuah pernikahan.”
Aku merasa kepalaku semakin berputar. Terlalu banyak kejutan yang aku terima dalam sekali duduk.
“Lalu kalian balik ke Jakarta. Sampai di rumahnya, dia cerita soal janji kalian. Kamu seharusnya lihat bagaimana bahagianya dia waktu itu, Dek. Dia sampai-sampai video call Abang buat ceritain itu semua.”
Aku enggak tahu semua ini, Bang.
“Dia bilang dia udah gak sabar pengen bilang perasaannya ke kamu, tapi dia tetap harus tunggu dulu. Dia pengen kamu siap buat memulai hubungan baru. Abang kasih tahu ke dia tentang semua pengalaman kamu dalam berhubungan dan Abang kasih gambaran bahwa penantian dia bakal lama soalnya kamu masih sering galau gitu kan, Dek, but he said it’s ok as long as you keep your promise.”
Which I didn’t.
“Dia selalu ada buat kamu kan, Dek? Dia yang temenin kamu menghadapi masa lalu kamu, saat Che ganggu kamu lagi. Iya, kan? Itu semua inisiatif dia sendiri, Dek. Karena dia bilang, his heart speaks from the first time he met you. Itu juga yang bikin Bian bolehin dia deketin kamu.”
The memories goes back and forth in my head.
....
“Aku boleh gabung?”
“Silakan.”
“Tidak terlalu suka keramaian?”
“Being in the spotlight is not my thing. Too much attention, I don’t like it.”
“I’m Alex, Alexander Rahardjo. Nice to meet you.”
“And I’m Kayra.”
“I know. And ... to be very honest here, you fit in the spotlight. It's your home.”
.....
“Abang masih ingat banget kalimat dia waktu itu. Dia bilang gini, "Soalnya beberapa minggu ke depan gue mau jalan keliling Indonesia sama beberapa negara lain, Yan. Urusan kerjaan. Makanya gue sempatin sekarang aja, takut rencananya mundur lama banget ntar basi”, gitu."
“Abang, kepala aku sakit.” Aku memicingkan mataku kuat-kuat.
“Abang minta maaf banget sama kamu, Dek. Abang udah coba cari tau di mana Alex sekarang. Kamu tenang aja, ya?” Aku bisa merasakan bibir Bang Rian menempel di keningku. Tak lama kemudian terdengar suara langkah kaki yang diiringi dengan suara pintu terbuka dan tertutup. Bang Rian baru saja ke luar dari ruangan.
Aku kembali memejamkan mata. Rasanya kondisiku semakin memburuk; perasaan yang berkecamuk di dalam hatikulah yang membuatnya semakin parah. Penyesalan,rasa bersalah, marah pada diri sendiri sekarang campur aduk. Mungkin ini karma; aku sudah melanggar janjiku pada Alex. Aku harus menerima akibatnya.
****
Kak Raya : Lin, kamu masuk rumah sakit?
Kak Raya : Aku baru liat statusnya Mimi teman kamu
Kak Raya : kamu kok gak kasih kabar ke aku sih?
Kak Raya : Get well soon ya Dedek
Kak Raya : Pito juga titip salam buat kamu
Aku mengembuskan napas dan mengetik balasan untuk Kak Raya. Rasanya aku tidak terlalu ingin menghadapi apa pun yang menyangkut dengan orang lain sekarang. Aku hanya akan fokus pada diriku sendiri saat ini.
Me : Makasih banyak, kakak
Mama yang kali ini menemaniku. Beliau sedang mengantar beberapa orang saudara yang baru menjengukku ke luar kamar, lalu akan membeli beberapa keperluan di koperasi rumah sakit. Saat menatap layar televisi dengan nanar, aku mendengar seseorang mengetuk pintu. Kupersilakan siapa pun di balik sana untuk masuk tanpa berpikir. Ketika menoleh, aku terkejut melihat sosok yang kini berjalan ke arahku. Che?
Aku menatapnya dengan tajam, akan tetapi true to himself, dia membalas tatapanku dengan senyuman. Senyum? Yang benar saja. Aku yang terlalu malas untuk membalas senyumnya lebih memilih untuk melengah dan kembali menatap televisi yang ada di dinding di seberang sana. Dari sudutata, aku dapat melihat Che mengambil tempat di kursi sebelah tempat tidur. Ya Tuhan, mau apa lagi? Berani-beraninya dia bersikap lancang dan berasumsi bahwa aku menginginkan keberadaannya di sini, sekarang ini? Lagi pula, kenapa dia bisa tahu kalau aku di sini, sih?
“Ada apa, Bang?” Aku bertanya, akan tetapi tak mengalihkan pandanganku dari layar. Aku tidak ingin melihatnya. Aku ingin dia cepat ke luar daei sini, kalau bisa sekarang juga.
“Aku mau jenguk kamu aja, Kay.” Che meletakkan satu parsel buah di atas meja dan menyerahkan buket bunga yang dibawanya kepadaku dengan meletakkan buket itu di pangkuanku. “Ini, aku masih ingat kamu suka banget sama bunga tulip merah. Semoga kamu bisa cepat sembuh, ya.” Che mengulurkan tangannya hendak menyentuh kepalaku, aku segera menepisnya dengan berpura-pura menggeliat.
Ditambah lagi, bunga tulip merah? Sejak kapan bunga itu menjadi bunga favoritku? He is still delusional as ever.
Namun, aku tidak mau memperbesar masalah. Aku melitik sekilas dan mengangkat kedua sudut bibirku dengan paksa sebentar. “Makasih, Bang," ucapku dengan basa-basi. Aku sibuk dengan program yang ditayangkan di televisi. Aku bahkan sengaja mengganti-ganti channel agar Che mengetahui ketidaknyamananku dengan adanya dia di sini. Namun, sepertinya Che tetap saja tidak mau mengerti.
To be continued ....
terimakasih ya kak ❤️❤️❤️❤️