"Menjadi prajurit butuh perjuangan, butuh pengorbanan. Berjuang untuk bumi tempat berpijak, demi setiap tarikan udara yang kita hirup dan demi orang-orang tercinta beserta kedaulatan. Berkorban, mengorbankan segala yang kita miliki sekalipun sebuah sumpah setia di ujung senapan."
~Teuku Al-Fath Ananta~
"Aku tak akan membuat pilihan antara aku atau bumi pertiwi, karena jelas keduanya memiliki tempat tersendiri di hatimu. Jadilah sang garuda meski sumpah setia kau pertaruhkan diujung senapan."
~Faranisa Danita~
Gimana jadinya kalo si sarjana desain grafis yang urakan dan tak suka pada setiap jengkal tanah yang ia pijaki bertemu dengan seorang prajurit komando pasukan khusus nan patriotisme dalam sebuah insiden tak terduga, apakah mereka akan seirama dan saling memahami satu sama lain, dalam menjejaki setiap jalanan yang akan mereka lalui ke depannya di belahan bumi pertiwi ini? Ikuti kisahnya disini yuk!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sinta amalia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
LETNAN KOLONEL AL FATH
Meski tak seberapa tapi Fara lakoni, rasa malu ia kesampingkan. Sebulan ini ia cukup disibukkan dengan door to door, iya tau kan menjemput bola, mengetuk pintu dari rumah ke rumah kaya lagi minta sumbangan 17'an. Ia juga menyelesaikan pekerjaannya dengan Rio.
Fara duduk bersila di atas ranjang usang miliknya, dapet 'nyak kredit waktu ia masih smp. Meskipun tak seempuk kasur hotel tapi itu miliknya sendiri.
Ia menghitung semua angsuran presto yang harus ia tagih esok, termasuk bu Fani, seraya tak lepas dari usahanya melamar kerja sesuai prodi saat ia kuliah. Tak mungkin kan selamanya ia yang seorang lulusan desain grafis jadi sales presto.
Perlahan tangan mungil itu memijat pangkal hidungnya, melihat angka-angka di atas kertas bukanlah keahliannya, ia bukan sarjana ekonomi. Pantas saja membuat Fara langsung pusing dan mual. Gadis ini lebih memilih menutup buku dan keluar dari kamar.
Tangannya terulur mencomot gorengan yang ibunya buat dan duduk di kursi reot meja makan sambil menemani sang ibu yang masih menyelesaikan pekerjaannya.
Tak ada keinginan yang muluk-muluk dari Fara, cukup tak dipusingkan dengan masalah perut ia sudah cukup senang, meskipun cita-cita terbesarnya harus ia kubur dalam-dalam.
"Ra, minggu depan pemilu. Lu bisa cuti kan?" tanya ibunya, Fara menggidikkan bahunya menunjukkan ketidakmauannya.
"Engga. 'Nyak aja yang nyoblos! Fara ngga ikut, golput aja kaya biasanya," jawabnya melahap potongan terakhir.
"Kebiasaan lu, udah 4 taun golput, 'nyak malu sama pak RT," bujuknya mengeluarkan keluh kesah. Ini dia hal yang paling sulit, membujuk Fara untuk menggunakan hak pilihnya.
"Ngapain harus malu sama pak Rt, suka-suka Fara lah, itu hak Fara mau pilih atau engga. Lagian ngga ada yang bener. Mau pilih siapapun hidup kita bakalan gini-gini aja. Ga ada gunanya sekarang milih, cuma ngasih kesempatan biar mereka bisa ngacak-ngacak sistem di atas sana sama korup! Jangan paksa Fara buat milih! Kita tuh cuma orang-orang bo*doh yang mau-maunya di peres, do'ain Fara biar banyak duit, biar bisa bawa 'nyak ke luar negri, kita tinggal disana," gadis itu beranjak dari duduknya.
Wajah ibu menyendu, "nyak keburu dikubur kalo gitu,"
Fara menyunggingkan senyumnya di balik sana lalu melanjutkan langkahnya kembali ke kamar.
***********
Fara sudah siap dengan celana jeans hitam ketatnya, dan kemeja lengan pendek berwarna biru, seragam yang diberikan tempatnya bekerja. Ia mengikat rambut panjang nan lurusnya satu. Menyemprotkan parfum diskonan, yang kalo siang wanginya udah ilang kebawa angin. Tak ada dandanan berlebih darinya, hanya menyapukan make up tipis saja, biar awet bedak katanya. Meskipun begitu, gadis ini memang sudah manis dan enak dipandang dari orok. Satu warisan yang ditinggalkan ayahnya sebelum meninggal, gen wajah rupawan.
Ia melangkahkan kakinya menapaki jalanan seperti biasa. Hingga sampailah di tempat-tempat konsumennya, membawa-bawa buku ala-ala tukang kredit.
"Terakhir, rumah bu Fani!" senyumnya merekah meski lelah.
Gadis itu menganga tak percaya saat si supir angkutan umum menurunkan Fara di depan sebuah kompleks tentara, dimana markas besar elite khusus berada.
"Ini bener kan, alamatnya?!" ia memastikan dengan membuka kembali data yang diberikan bu Fani.
"Coba---coba?!"
"Bu Fani ngga bercanda dan lagi mau nipu kan?!" Fara memastikan dengan menelfon si ibu.
Panggilan sudah diangkat, dan Fara diminta masuk.
"Yang bener aja! Masa gua masuk kandang macan begini?!" gumamnya. Layaknya anak kecil yang ternganga-nganga melihat betapa anehnya keadaan, Fara meneliti keseluruhan inci gerbang besar, kembali ia membaca tulisan di atas gerbang takut-takut kalau ia salah baca.
Di depan gerbang sana dijaga ketat kacang ijo bersenjata, membuat jantungnya seketika ingin menjual dirinya sendiri.
"Ini gua ngga akan ditembak kan?" ia menelan salivanya sulit.
"Permisi pak," sapanya di luar gerbang membuat si bapak berbaju loreng itu menoleh.
"Ya?"
Gleuk! Ucapan Fara terpotong oleh tegukan salivanya.
"Mau ketemu bu Fani, istrinya kapten Regan detasemen khusus," gleuk! Kembali ia menelan saliva yang mendadak kering, tenggorokannya berasa tercekat, Fara mengulang ucapan bu Fani tadi dari sambungan telfon.
Percayalah! Rasanya Fara ingin menceburkan diri ke waduk Jatiluhur saat itu juga diperhatikan se begitunya kaya ia terpidana peneror bom di masjid besar. Sadar ditatap intens bagai dilucuti, Fara berdehem.
"Bisa perlihatkan ktp-nya mbak?" ucapan itu cukup ramah meski dengan nada tegas khas seorang tentara, mungkin terbiasa dengan aura kedisiplinan.
Fara segera mengeluarkan ktp dari dompet dan menyerahkannya.
Salah seorang lainnya membuka celah sedikit saja untuk Fara masuk, "bisa lewat sini mbak!"
Fara cepat-cepat mengangguk dan bergegas masuk, "ah iya!"
"Bisa kami periksa barang bawaannya?!" Fara mengangguk dan menyerahkan tasnya.
Jangan bilang kalau mereka mau meraba-raba, sudah dipastikan Fara akan menendang muka para tentara itu nantinya.
"Bersih," angguk salah satunya.
"Mbak Fara!" teriak bu Fani di kejauhan, Fara menghembuskan nafas lega, bu Fani bagai dewi penolongnya.
"Pak, dia teman saya,"
"Siap bu!" mereka langsung manut, membuat Fara tertawa mengehkeh.
"Keren!" selintas di pikirannya jadi mengingat si laki-laki triplek, karena kejadian ini dejavu untuknya.
"Yu mbak, ke rumah. Saya lupa uangnya di rumah! Tadi saya habis kumpulan," Fara mengangguk mengerti rupanya bu Fani baru saja selesai melakukan kumpulan para istri tentara, itu terlihat dari baju yang ia kenakan saat ini. Fara melangkah sambil mengumpulkan kembali kewarasannya yang tadi tercerai berai di gerbang. Ia kira akan sekeren itu, layaknya film di tv-tv, nyatanya ia malah ketakutan melihat lelaki bersenjata begitu.
"Maaf ya mbak, jadi harus lewatin prosedur pemeriksaan," ucap bu Fani, berjalan bersama Fara.
"Oh ngga apa-apa bu, emang udah seharusnya kan?!" kekeh garingnya padahal ia sudah menahan ketakutan setengah mati.
Dua orang perwira tengah berlari di sore hari,
"Kapt!"
"Ya?!"
"Lapor kapt, maaf atas keteledoran saya dan rekan. Barusan ada tamu ibu, lalu saat pemeriksaan terlupa kalau ktp-nya masih disini," ucapnya.
"Tamu istri saya?"
"Siapa bang?" Al Fath menyeka keringat dengan punggung lengan ikut menghentikkan aktivitas larinya.
Regan mengambil ktp Fara dan melihatnya, "Faranisa Danita?" ia mengerutkan dahinya. Al Fath ikut melongokkan kepala demi melihat ktp di tangan Regan.
Ia cukup tercengang melihat foto ktp Fara, "dia.."
"Ya sudah nanti saya berikan, sekalian jalan pulang. Terimakasih,"
"Faranisa Danita, hm."
Mereka berdua kembali melanjutkan aktivitasnya, dengan ktp Fara di kantongi kapten Regan.
Fara semakin menganga melihat aktivitas para kacang ijo ini di sore hari, sumpahhhh! Ini pemandangan paling indah di dunia, tak dapat dijabarkan dengan kata-kata, pokoknya hottt! Ia bersyukur datang di saat waktu yang tepat. Rasa takut tadi sirna oleh para abang-abang tentara yang memperlihatkan abs-nya.
"Vitamin ini mah!" tanpa sadar ia berucap dengan pandangan tak lepas menyorot lapangan, bahkan ilernya aja hampir netes. Bu Fani tertawa dengan sikap lucu seorang Fara, tak tau kenapa ia senang dengan Fara, gadis ini menarik dengan semua yang ia miliki.
"Mbak Fara kalo sering-sering main kesini bakalan liat yang kaya gitu tiap hari. Tau kan tips sehatnya para istri prajurit sekarang?" Fara tersentak dengan pertanyaan Fani lalu ia tertawa.
"Ibu bisa aja. Ya--ya bener bu! Di rumah saya soalnya ngga ada yang begitu, banteran juga dada kurus kaya minta di olesin sambel geprek!"
Sekarang bergantian bu Fani yang tertawa, "mbak Fara ni lucu ih!"
Fara dan bu Fani berbelok ke halaman satu rumah tak cukup besar, ya lumayan lah untuk menampung keluarga berisi 7 orang mah. Halaman itu sangat kontras dengan rumah di sampingnya meskipun sama-sama bercat hijau.
"Mama!!" seorang anak laki-laki lebih besar berlari ke arah bu Fani dengan menenteng laptop.
"Eh, kenapa nak?" tangkupnya di kepala si anak.
"Bisa tolong kaka buat bikin tugas ini, ko susah banget!"
"Iya sebentar ka, mama ada tamu!" jawabnya, "yuk masuk mbak Fara!" ajaknya.
Fara mengangguk, "iya bu!"
Fara juga melihat bocah perempuan yang waktu itu ia selamatkan, kejadian yang membawa Fara bisa sampai disini hari ini.
"Hay, Kirani lagi ngapain?" tanya Fara berjongkok menyapanya.
"Lagi gambar," Fara melihat buku gambar yang ada di depan si bocah.
"Mbak Fara, ini uangnya!" bu Fani keluar lagi dengan membawa sejumlah uang dan tentunya air minum untuk Fara.
"Eh, ngga usah repot-repot bu!"
********
"Fath, jadi kapan berangkat ke Born3o?"
"Belum tau kapt, belum ada surat tugasnya, mungkin bulan depan."
Pekerjaannya memang terlampau beresiko, dimana orang-orang akan berlarian menjauh, disaat itu Al Fath dan unit masuk ke dalam kerusuhan.
"Sepertinya tugas saya selanjutnya memimpin pengawalan pemimpin negara yang mau mengadakan kunjungan kerja di daerah Sarinah," balas Al Fath menunduk melihat sepatunya, kapten Regan mengangguk-angguk layaknya burung kakak tua.
Tepat di arah depan, terdengar suara cekikikan Kirani, kedua lelaki itu mendongak melihat.
"Aduh mbak Fara makasih. Sampe mau nemenin Kirani sama Zidan ngerjain tugas?!"
"Ngga apa-apa bu, daripada keahlian saya mubadzir!" tawa renyah Fara manis.
"Udah sore bu Fani, saya pulang dulu. Makasih loh jamuannya," jawab Fara senang menaik turunkan alisnya bermaksud keluar jalur, bu Fani yang mengerti maksud dari jamuan itu tertawa tergelak.
"Pingin sehat terus nikah sama tentara mbak Fara," kelakarnya.
"Nanti kalo saya selingkuh, bisa-bisa ditembak bu, rumah saya dilemparin granat!" balasnya.
"Mbak Fara mau pulang ya?" tanya Kirani penuh kekecewaan.
"Eh iya, bulan depan kita ketemu lagi!"
"Yaaaa, lama dong kak!" sahut si sulung Zidan.
"Bu," keempat manusia itu menoleh ke arah suara, Fara cukup terkejut melihat lelaki di samping orang yang memanggil bu Fani.
"Pak, ini mbak Fara.."
"Fara aja bu, ngga usah pake mbak, bukan tukang getuk soalnya!" kelakar Fara membuat bu Fani dan suaminya tertawa.
"Oke--oke,"
"Ini tadi ktp Fara tertinggal di gerbang," ia menyerahkan ktp Fara.
"Oh iya, sampe lupa saking takutnya liat senjata!" akui Fara.
Si kecil Kirani terkikik, "kak Fara takut di tembak ya?!"
"Iya dong! Nanti makhluk manis di bumi punah, kalo kak Fara mati!" kini Zidan yang berseru sambil terkikik.
Al Fath masih disana, menyaksikan mereka. Tak tau kenapa kakinya terasa kaku untuk melangkah, rasanya lari sore hanya hal sepele untuknya, tapi melihat Fara seakan hal indah yang tak boleh dilewatkan, entah karena wajahnya, sikapnya atau celotehannya. Seakan ia rindu. Rindu? Oh come on! Bertemu sekali di moment kamvret, cantik? Banyak wanita cantik mengantri untuknya. Celoteh nyelenehnya? Bisa jadi, ia teringat uminya di Aceh sana, wanita-wanita seperti inilah yang berhasil menembus pertahanan sisi terdalam seorang Al Fath.
Bak gayung bersambut, Fara memalingkan wajahnya ke arah Al Fath, "kamu!"
"Kamu kesini buat nagih cendol sama aku?!" pertanyaan itu lolos dari mulut Fara. Sontak keluarga itu ikut menoleh, terutama kapten Regan, pikirnya...punya nyawa berapa Fara berani menunjuk Al Fath dan menuduhnya meminta cendol.
"Fara kenal letnan kolonel Al Fath?" bisik bu Fani.
Matanya dipaksa tercongkel keluar, Fara terhenyak seakan dunia berhenti berputar, "let..apa?" ulangnya.
Ckrek!
Dorrrr!
Seketika khodam Fara sudah berlari jauh sambil say good bye pada si empunya jasad.
.
.
.
.
.
gokil....