Penasaran dengan ceritanya yuk langsung aja kita baca
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mbak Ainun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 10: Kebenaran di Ujung Pena
Kereta komuter terakhir yang membawa Aris dan Hendra dari Bogor merayap masuk ke peron Stasiun Manggarai seperti ular besi yang kelelahan. Di dalam gerbong yang sepi, cahaya lampu neon yang berkedip-kedip memberikan kesan dramatis pada wajah kedua pria tua itu. Aris memeluk tas kulitnya erat-erat, di dalamnya tersimpan buku catatan lapangan Hendra—sebuah artefak yang mampu meruntuhkan gedung pencakar langit Grup Mahakarya tanpa perlu satu kilogram dinamit pun.
"Kita tidak bisa langsung ke kantor Yudha," bisik Aris, matanya waspada memperhatikan setiap orang yang naik ke gerbong. "Baskoro pasti sudah menaruh orang di sana."
Hendra mengangguk, keringat dingin masih membasahi keningnya. "Lalu ke mana, Pak? Saya tidak punya siapa-siapa lagi di kota ini."
"Ke tempat di mana semuanya dimulai. Ke bantaran sungai," jawab Aris tegas. "Warga adalah pelindung terbaik kita sekarang. Baskoro tidak akan berani melakukan tindakan kekerasan di depan ratusan saksi mata yang sedang mengawasi lewat kamera ponsel mereka."
Mereka turun di stasiun kecil dekat kawasan pemukiman kumuh itu. Hujan telah reda, menyisakan genangan air yang memantulkan lampu-lampu kota yang berwarna-warni. Saat mereka memasuki wilayah bantaran, suasana terasa berbeda. Warga tampak berjaga-jaga di depan gang dengan obor dan lampu senter. Mereka telah mendengar tentang serangan media terhadap Aris dan mereka bersiap untuk membela "arsitek mereka".
"Pak Aris! Bapak kembali!" seru Pak RT yang sedang berjaga di pos ronda.
Aris segera membawa Hendra masuk ke dalam balai warga yang sederhana. Di bawah sinar lampu bohlam tunggal, Aris membuka buku catatan itu di depan Pak RT dan beberapa tokoh warga. Ia menjelaskan isinya—bukti bahwa kegagalan proyek masa lalu adalah sabotase perusahaan demi keuntungan, bukan kesalahan Aris.
"Ini adalah bukti yang akan membersihkan nama saya, dan sekaligus membatalkan izin gudang itu secara permanen karena cacat integritas perusahaan," jelas Aris.
Namun, sebelum mereka bisa merayakan, suara deru mesin mobil mewah terdengar dari jalan raya di atas bantaran. Tiga buah mobil SUV hitam berhenti, dan tak lama kemudian, Baskoro turun dengan langkah angkuh, didampingi oleh beberapa pengacara dan pria-pria berbadan besar. Kali ini, ia tidak membawa payung; ia membiarkan pakaian mahalnya sedikit terkena sisa rintik hujan.
Baskoro melangkah masuk ke balai warga tanpa izin. Matanya langsung tertuju pada Hendra yang gemetar di sudut ruangan.
"Jadi, si tikus kayu ini yang kau temukan, Aris?" suara Baskoro dingin dan penuh ancaman. "Hendra, aku sudah memberimu cukup uang untuk diam selamanya. Kenapa kau malah memilih untuk menggali kuburanmu sendiri di sini?"
"Cukup, Bas!" Aris berdiri menghalangi pandangan Baskoro terhadap Hendra. "Permainanmu sudah berakhir. Kami punya catatan asli Sektor 12-B. Besok pagi, dokumen ini akan berada di meja Kejaksaan Agung dan seluruh media nasional."
Baskoro tertawa, sebuah tawa yang kering dan tidak menyenangkan. "Dokumen itu hanya selembar kertas tua, Aris. Aku bisa menyebutnya palsu. Siapa yang akan percaya pada seorang arsitek gagal dan seorang tukang kayu miskin?"
"Aku yang akan percaya," sebuah suara wanita terdengar dari arah pintu.
Maya masuk ke dalam balai warga, diikuti oleh Yudha yang membawa sebuah laptop dan peralatan siaran langsung. Maya memegang sebuah flash drive di tangannya.
"Dan saya punya rekaman percakapan Anda di kantor kemarin, Pak Baskoro," ujar Maya dengan suara bergetar namun berani. "Rekaman di mana Anda memerintahkan tim IT untuk memalsukan dokumen malpraktik Pak Aris. Saya sudah mengirimkan salinannya ke server cloud yang tidak bisa Anda akses."
Wajah Baskoro yang tadinya merah karena marah, kini berubah menjadi pucat pasi. Ia menyadari bahwa ia telah meremehkan orang-orang "kecil" di sekitarnya. Aris, Hendra, Maya, dan warga bantaran—mereka semua bersatu membentuk dinding yang lebih kuat dari beton mana pun yang pernah ia bangun.
"Kalian pikir kalian bisa menghancurkanku?" desis Baskoro, namun suaranya tidak lagi memiliki wibawa.
"Kami tidak menghancurkanmu, Bas," jawab Aris pelan sambil menatap buku catatan di tangannya. "Kamu menghancurkan dirimu sendiri saat kamu memilih untuk mengabaikan kemanusiaan demi angka-angka di buku bankmu. Senja ini adalah akhir bagi kekuasaanmu, tapi ini adalah awal bagi Rumah Senja."
Yudha mengarahkan kamera laptopnya ke arah Baskoro. "Kita sedang live di media sosial warga, Pak Baskoro. Ribuan orang sedang menonton pengakuan Anda saat ini."
Baskoro mundur perlahan, menyadari bahwa ia terjebak. Tanpa berkata apa-apa lagi, ia berbalik dan masuk ke mobilnya, memerintahkan sopirnya untuk pergi secepat mungkin. Namun, mereka semua tahu, tidak ada tempat untuk lari dari kebenaran yang sudah tersebar luas.
Malam itu, di balai warga yang sempit, Aris tidak merayakan kemenangannya dengan pesta. Ia duduk di pinggir sungai, menatap aliran air yang tenang. Ia mengambil pena dari saku jaketnya dan menuliskan sesuatu di halaman terakhir buku sketsanya: "Mimpi tidak memiliki masa kedaluwarsa, ia hanya menunggu pemiliknya untuk bangun dan memperjuangkannya."
Kebenaran kini telah terungkap di ujung pena. Dan untuk pertama kalinya dalam sepuluh tahun, Aris bisa tidur dengan nyenyak, tahu bahwa fajar esok tidak lagi membawa ketakutan, melainkan fondasi pertama dari rumah yang ia janjikan pada Sarah dan anak-anak bantaran.