kisah nyata seorang anak baik hati yang dipaksa menjalani hidup diluar keinginannya, hingga merubah nya menjadi anak yang introvert dengan beribu luka hati bahkan dendam yang hanya bisa dia simpan dan rasakan sendirian...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Widhi Labonee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Liburan Penuh Tanya
Sudah tiga hari Tiwi berada di rumah Pamannya. Suasana pedesaan di lereng gunung tertinggi sepulau Jawa ini memang sangat sejuk. Udaranya sangat bersih, jika pagi, dia masih bisa merasakan kabut yang merambat pelan menutupi jarak pandang. Gemerlap embun seolah permata yang berkilauan diatas dedaunan dan juga rumput liar, ditimpa sinar matahari yang sedang malu-malu mengintip dari balik gunung yang berdiri gagah itu.
"Mbak... Mbak Tiwi... dipanggil ibu disuruh mandi dulu!" teriak Widya putri sulung sang Paman kepada Tiwi yang sedang melamun di pinggir jalan depan rumah Pamannya itu.
Tiwi menoleh kemudian bangkit berdiri dan berjalan mendekati sepupunya itu.
"Kamu sudah mandi ?" tanyanya pada Widya.
"Belum mbak,, ayo kita pulang dan mandi sesudah itu kita disuruh sarapan. Nanti agak siang sedikit kita pergi ke rumah kakek ya," ajak Widya kepada Tiwi.
Kedua anak kecil itu pun bergandengan tangan melangkah kedalam rumah. Setelah mandi dan sarapan, Tiwi, Widya dan Lili berjalan menyusuri kebun melalui jalan setapak kecil menuju ke rumah sang kakek yang memang jaraknya sangat dekat dengan tempat tinggal mereka itu.
"Assalamualaikum... !" ketiga anak kecil itu mengucap salam.
"Waalaikumsalam!" Sebuah jawaban dari dalam terdengar.
Suara pintu dibuka dan nampak lah seorang wanita seusia bu Mirah berdiri memasang wajah yang tidak ramah.
"Ada apa kalian ke sini? Masih pagi kok sudah keluyuran?" tanyanya ketus.
Ketiga anak kecil itu pun mundur satu langkah, mereka memang agak takut berhadapan dengan istri dari kakeknya ini.
"Siapa itu? Tiwi ya?" tanya sebuah suara dari dalam rumah, disusul kemudian terdengar langkah kaki mendekat.
Tampak seorang pria tua yang masih gagah dengan memakai baju khas suku Madura dan ikat kepala di atas kepalanya yang membuatnya semakin berwibawa.
"Oh, sudah di sini tiga cantikku yang aku rindukan.. Kalian sedang libur sekolah ya? Ayo sini masuk!" ajak pak Parman kepada ketiga cucunya tersebut. Seketika raut wajah perempuan tua itu berubah menjadi sangat ramah kepada tiga anak kecil itu.
"Ayo masuk! Nenek tadi sedang membuat kue, mungkin ada sebagian yang sudah matang, ayo kalian boleh mencicipinya..." ujarnya lembut kepada ketiganya.
Ketiga anak kecil itu pun saling pandang. Mereka heran, mengapa nenek mereka ini gampang sekali berubah? Jika tadi sikapnya begitu menakutkan, sekarang berubah menjadi ramah jika ada di dekat sang kakek. Ketiga gadis kecil itu pun mengikuti sang kakek masuk ke dalam rumah.
"Ayahmu sudah berangkat ke kantor Wid?" tanya Parman kepada Widya.
"Sudah Mbah Kung," jawabnya.
"Kung, kata paman jeruknya sudah pada matang di kebun. Bolehkah kami pergi ke sana untuk memetik beberapa?" tanya Tiwi mewakili kedua adiknya.
"Oh iya, memang sudah matang. Mbah Kung juga mau pergi ke sana. Hari ini ada panen, sekalian kita lihat apakah ada durian yang masak. Kalian sudah sarapan?" tanya kakung lagi.
"Sudah Kung," jawab ketiga anak itu serempak.
"Baiklah kalau begitu bersiap-siaplah. Tunggu kakung di halaman depan, kita naik motor ya."
"Siap Kung...!"
Dan ketiga anak itu pun berlarian menuju ke teras depan rumah pak Parman. Lelaki paruh baya itu pun keluar dan mengganti ikat kepalanya dengan topi koboi yang lebar. Kemudian mengajak ketiga cucunya naik di motor. Dengan Lili si kecil ada di depan, Widya di tengah dan Tiwi di belakang. Mereka menuju lereng gunung bagian atas, di mana di sana terdapat kebun jeruk yang di pinggirnya terdapat barisan pohon durian.
"Hore! Sudah sampai .." teriak Lili gembira.
"Ketiga anak itu pun segera turun dan berlarian masuk ke dalam kebun yang sedang banyak orang memanen buah jeruk itu.
"Boleh aku memetik sendiri Kung?" tanya Widya.
"Boleh, ambil sesuka kalian! Kakung akan melihat apakah ada durian yang matang!"
Ketiga anak kecil itu pun berlarian memilih jeruk buah jeruk matang dan besar yang masih menggantung di pohon. Kemudian mereka petik dan mereka makan. Tiwi berjalan ke arah pinggir kebun mengikuti Kakungnya. Dia melihat ada beberapa pohon buah salak seperti yang ada di kebun neneknya.
"Kung, itu ada pohon buah salak. Apakah ada yang masak?"
"Oh iya. Coba kita lihat kesana."
Kedua orang kakek dan cucu itu pun mendekat ke rumpun pohon salak dan memeriksa apakah ada buah salak yang sudah masak. Ternyata ada dua buah tangkai salak yang bisa dipetik di sana.
"Biasanya aku bersama nenek panen berdua seperti ini. Kayak aku dan kakung begini di kebun belakang rumah Mbah Mirah," kata Tiwi.
Tetapi setelah berkata demikian tiba-tiba dia menjadi sedih dan meneteskan air mata. Parman yang melihat ke arah cucunya tersebut segera mengusap air mata dengan ujung jarinya.
"Kamu jangan nangis... Kamu kangen nenekmu ya? Berdoalah agar semuanya segera selesai dan kamu bisa pulang lagi bertemu dengan nenek dan ibumu."
Tiwi mendongakkan wajahnya dengan penuh tanya kepada kakeknya.
"Sebenarnya ada apa Kung? Mengapa aku seperti diusir keluar dari rumah dulu. Lalu siapakah Pak Ismawan itu Kung? Kenapa seolah dia ingin dekat denganku dan berkata akan membawaku pergi dari rumah itu? Aku benar-benar tidak suka padanya. Karena dia yang melarangku bermain dengan Melky dan Boy juga Lupus."
Pak Parman menghela nafas dalam, kemudian menghembuskannya pelan-pelan.
"Kamu duduk di pangkuan sini,"panggil pak Parman yang duduk di atas tumpukan kayu dan Tiwi pun duduk di pangkuannya.
"Dengarkan kata-kata Kakung ini. Jika nanti Tiwi mendengar ada banyak orang yang bicara aneh yang membuatmu menjadi tidak mengerti, maka jangan pernah dimasukkan ke dalam hati. Janji?"
Tiwi pun menganggukkan kepalanya.
" Jika suatu saat ada yang mengakuimu sebagai anak, maka Kakung minta jangan pernah kamu meninggalkan Ibu Riyanti dan nenek Mirah karena dia yang sudah merawatmu sejak bayi. Jangan hiraukan orang di sekitarmu yang berkata macam-macam. Jangan biarkan dirimu bingung dan hatimu sedih. Kakung tidak ingin kamu masuk rumah sakit lagi. Bahkan kalaupun nanti Ismawan akhirnya yang menikahi ibumu, maka kamu pun harus menjadi anak yang baik dengan berbakti kepadanya dan menganggapnya sebagai ayahmu sendiri. Ingat semua pesan Kakung ini ya Nduk."
Tiwi mengangguk pelan sembari memeluk erat kakeknya. Air matanya perlahan turun, pak Parman mengelus lembut rambut panjang Tiwi.
"Tiwi sayang Kakung,, sayang Mbah Mirah dan juga sangat menyayangi Ibu Riyanti. Tiwi nggak mau jauh-jauh dari semuanya. Tapi Tiwi juga kangen Bapak, dan Bapak sudah di surga kan Kung?"
"Iya Nduk, jangan lupa untuk selalu mendoakan dia, agar bapakmu itu masuk ke surga. Ya sudah, ayo kamu bawa pulang buah salak ini nanti kamu makan bersama Tante dan Pamanmu. Kamu kembalilah ke dua adikmu sana. Kakung akan menyuruh orang memanjat pohon durian dan memeriksa Apakah ada yang sudah matang."
Tiwi segera mematuhi apa kata kakeknya tersebut, dan berjalan kearah kedua sepupu kecilnya yang sedang memakan buah jeruk itu.
----------------
Sementara di rumah Bu Mirah, telah terjadi ketegangan di ruang tamu siang itu. Pak Raka datang bermaksud untuk mengunjungi Tiwi dengan membawakan hadiah seperti biasanya serta akan mengajaknya jalan-jalan. Tetapi yang ditemui malah seorang yang pria yang mengaku sebagai ayah kandung Tiwi.
"Oh jadi Anda ini yang bernama Raka? Hmm... setelah ini saya harap Anda tidak pernah datang lagi ke rumah ini,” kata Ismawan jumawa kepada Raka.
Mendengar itu Raka menjadi terkejut.
“Apa maksud ucapan Anda? Siapakah Anda? Mengapa anda bisa ada di rumah ini?” tanya Raka dengan raut penuh tanya.
“Kenalkan nama saya Ismawan. Saya adalah ayah kandung dari Tiwi. Dia adalah anak saya dengan mantan istri pertama saya yang berada di luar Jawa. Dan telah diadopsi oleh Riyanti bersama almarhum mantan suaminya. Dan karena sekarang Riyanti sudah sendiri, maka saya menikahinya agar saya bisa merawat sendiri anak saya itu dan membesarkannya bersama Riyanti.”
Raka sangat amat terkejut mendengar perkataan Ismawan. Untuk satu hal ini Riyanti tidak pernah menceritakan jika ternyata Tiwi bukanlah anak kandungnya. Belum habis rasa kaget Raka, dilihatnya Riyanti keluar dengan membawa dua cangkir minuman. Setelah meletakkan diatas meja kemudian dia duduk di samping Ismawan.
“ Mas Raka, maafkan saya.. dengan penuh rasa hormat saya mohon pengertian Mas untuk tidak ke sini lagi agar tidak menimbulkan salah paham di antara saya dan Mas ismawan ini,” ujar Riyanti sembari menunduk.
“Apa maksudmu Dek? Mas Ismawan? Kenapa kau memanggilnya seperti itu? Apakah kalian…?” tanya Raka dengan menggantung pertanyaannya, memandang wajah Riyanti yang menunduk.
“Iya,benar! Tiga hari yang lalu kami telah menikah. Riyanti adalah istri saya sekarang. Apakah Anda, seorang Raka Hadinata yang terhormat yang memiliki jabatan tinggi akan menjadi pebinor di dalam rumah tangga orang lain?” tanya Ismawan dengan sinis.
Kembali jantung Raka seperti dihantam oleh palu godam. Dia hanya bisa terdiam, ditatapnya wajah Riyanti, mencari sebersit kebohongan disana. Setetes air mata di sudut matanya tampak ingin sekali jatuh, hatinya hancur. Harapan untuk hidup bersama wanita di depannya ini sudah tidak mungkin lagi terwujud. Padahal dia sangat mencintai wanita ini sama seperti dia mencintai Tiwi sang anak.
“Jadi benar Dek, sudah tidak ada lagi harapan buatku ya?” Raka menghembuskan nafasnya pelan. Kemudian berkata lagi,
“ Aku membawa boneka yang Tiwi inginkan. Tolong berikan padanya. Katakan boneka ini kenangan terakhir dari Om Raka yang sangat menyayanginya dan merindukannya. Maafkan aku Dek, jika selama kenal dirimu juga Tiwi dan ibu ada kata maupun sikap yang pernah menyakiti atau menyinggung perasaanmu, aku pamit Dek. Semoga kamu bahagia,” Raka berdiri menyalami Ismawan kemudian melangkah gontai keluar dari rumah itu dan membawa kehancuran hatinya.
Riyanti menangis tergugu, memandangi kepergian lelaki yang sebenarnya sangat dia cintai itu. Hanya karena keadaanlah yang memaksa dia menerima Ismawan sebagai suaminya karena dia tidak mau kehilangan Tiwi yang diancam akan dibawa pergi oleh Ismawan jika dia tidak mau menerima pinangannya. Riyanti hendak mengambil boneka yang tadi diberikan oleh Raka untuk Tiwi, namun segera diambil oleh Ismawan, direbutnya, kemudian dia bawa keluar menuju ke halaman. Dengan tanpa perasaan boneka itu pun dibakar. Riyanti menjerit histeris.
“ Mas,,!!! Apa maksudmu membakar boneka milik anakmu?”
“ Aku tidak pernah mengijinkan anakku menerima barang dari orang lain, aku masih mampu memberikan Hadiah yang jauh lebih baik dari itu. Terutama aku tidak mau sedikitpun ada jejak kenangan mengenai Raka di rumah ini. Camkan itu Dek!!!”
Setelah berkata demikian Ismawan melangkah keluar dari halaman dan pergi dengan menaiki motornya.
Sementara Riyanti terduduk menangis memandangi boneka yang perlahan-lahan hangus terbakar itu.
'Maafkan Ibu Tiwi… maafkan aku Mas Raka… Ampuni aku Ya Allah..’
Dari dalam rumah bu Mirah hanya bisa memandangi kesedihan anaknya, dalam hati dia berkata ‘Ya Tuhan semoga saja pilihan kami kali ini untuk mempertahankan Tiwi di rumah ini adalah pilihan yang benar dan Kau ridhoi…Seberat apapun langkah ke depan semoga Engkau selalu menguatkan kami dan juga anak itu.. aamiin.’
Setetes air mata meluncur di pipinya yang mulai keriput itu.
—---------
Senja mulai mengurat di langit yang mendung. Rintik gerimis turun perlahan seolah mengerti kesedihan hati seorang Raka yang menyetir mobilnya dengan air mata yang bercucuran.
‘Ya Allah, maafkan aku yang masih sangat mencintai Riyanti juga Tiwi, meskipun mereka sekarang telah menjadi milik orang lain. Ampunilah dosaku ya Allah...jika pun aku tidak bisa bersatu bersama Riyanti di dunia ini, maka Izinkan aku untuk bisa hidup bersamanya di akhiratMu nanti ..’
Mobil pun melaju perlahan membawa seorang Raka yang sedang patah hatinya itu kembali ke rumahnya.
Tanpa disadari, ada tiga hati yang hancur sore itu, terhubung oleh nasib dan terpisah oleh takdir ..
...****************...