Cinta sejati terkadang membuat seseorang bodoh karena dibutakan akal sehat nya. Namun sebuah perkawinan yang suci selayaknya diperjuangkan jika suami memang pantas dipertahankan. Terlepas pernah melakukan kesalahan dan mengecewakan seorang istri.
Ikuti kisah novel ini dengan judul
ISTRI YANG DIPOLIGAMI
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Naim Nurbanah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5
Adam melangkah pelan dan duduk di samping Nay yang berada di deretan paling belakang, di antara peserta kaderisasi yang lain. Di depan, Umar dengan suara tegas sedang menjelaskan materi, wajahnya serius dan penuh wibawa. Para mahasiswa dan mahasiswi dari berbagai fakultas terpaku, menyimak dengan penuh konsentrasi. Adam menoleh ke Nay, mencoba menahan rasa penasarannya.
"Bu, saya mau tanya sesuatu, boleh nggak?" suaranya agak ragu tapi penuh semangat. Nay menoleh sambil menyunggingkan senyum tipis, matanya bercahaya.
"Mau tanya apa, Dam? Boleh saja, tapi ingat ya, aku juga boleh nolak jawab kalau pertanyaannya aneh-aneh," candanya santai, seolah memberi tantangan ringan.
Di sudut ruangan, Umar sesekali melirik ke belakang, memperhatikan dengan mata tajam bagaimana Adam, salah satu mahasiswa, berani mendekati Nay, gadis yang selalu berhasil mencuri perhatiannya meskipun ia terkesan dingin dan jarang menunjukkan emosi. Adam menarik nafas dalam-dalam sebelum mengajukan,
"Saya cuma penasaran, Bu. Pak dosen yang terkenal tampan tapi killer itu, gimana sih, dia dulu nembak Bu Nay? Pakai surat, chat, atau langsung ngomong ke Bu Nay?"
Matanya berkilat ingin tahu, seakan menunggu cerita rahasia yang selama ini tersembunyi di balik sikap tegas Umar.
Nay terkekeh kecil sambil mengacak-ngacak rambutnya, wajahnya mendadak memerah.
"Hem, kayaknya aku yang duluan nyatakan cinta ke Mas Umar, nih. Hehehe."
Matanya yang bersinar memperlihatkan campuran malu dan bangga. Adam menatapnya dengan alis mengerut, tapi tak lama kemudian dia ikut tertawa pelan.
"Gue udah duga, pria dingin itu pasti nggak bakal berani nembak cewek duluan, hehe."
Nay menyipitkan mata, menyadari celetukan Adam tadi. Ia menunduk sebentar sebelum melanjutkan dengan senyum geli.
"Sebenarnya aku ngerti kalau Mas Umar suka sama aku. Tapi dia diam aja, nggak nyapa atau ngasih kode apa-apa. Aku jadi nggak sabar. Akhirnya aku aja yang nekat ajak dia ketemuan di kafe deket kampus dan bilang terus terang... kalau aku suka sama dia." Tawa kecilnya pecah saat mengingat kejadian itu.
"Ya, aku yang duluan nembak pak dosen, hehehe."
Adam menatap Nay dengan mata berbinar, rasa penasarannya makin memuncak.
"Oh, walah begitu ya? Hem, terus bagaimana tanggapan Pak Umar saat Bu Nay nyatakan cinta?" tanyanya sambil menyunggingkan senyum nakal.
Nay mengerutkan dahi, seolah mencoba menguak kembali kenangan yang lama tersimpan. Matanya sedikit melotot sebelum akhirnya meledak dalam senyum lebar, bangga sekaligus geli dengan keberhasilannya dulu. Adam sudah tak sabar.
"Jadi, Bu Nay? Pak Umar gimana reaksinya setelah Bu Nay bilang cinta?"
Nay justru terhenyak, pandangannya terarah ke panggung. Di sana, Pak Umar tampak serius mengarahkan seorang mahasiswi maju ke depan. Suasana di ruangan riuh penuh semangat, suara riang dari kader-kader yang aktif mengikuti materi.
Nay tahu betul, Pak Umar bukan sekadar dosen, tapi sosok alumni yang dulu begitu gigih dalam organisasi kemahasiswaan Islam. Sambil matanya tak lepas dari Pak Umar, Nay akhirnya menghela napas pelan, kemudian menjawab dengan suara lembut namun mantap. Adam pun kembali fokus, mengikuti pembicaraan sambil menatap penuh kekaguman sosok Pak Umar yang sedang memimpin diskusi.
Nay menatap Adam dengan mata yang berbinar, senyum kecil mengembang saat mengingat masa lalu.
"Seingatku, Mas Umar langsung blak-blakan ngakuin perasaannya ke aku. Katanya dia sudah lama naksir, cuma gak pernah berani bilang." Bibir Nay melengkung lebih lebar.
"Akhirnya kami sepakat pacaran, buat saling kenal lebih dalam." Adam terkekeh, mengangkat alis.
"Wah, ternyata Mas Umar romantis juga, ya?"
Nay cuma tersenyum simpul, matanya menyiratkan kebahagiaan lama yang tak hilang. Tiba-tiba, suasana berubah saat pergantian pemateri diumumkan. Mas Umar turun dari podium dan melangkah menuju belakang gedung. Di sana, Citra sudah menunggu, wajahnya tersenyum tipis tapi ada sentuhan sindiran saat menjabat tangan Umar.
"Kupikir kamu gak bakal mau ikut jadi pemateri, sibuk jadi dosen, kan?" Umar terkekeh ringan, menatap Citra dengan mata berbinar.
"Yah, siapa tahu aku masih punya tenaga." Percakapan mereka sejenak menggantung, menyisakan tanya dan nostalgia yang samar.
Umar menggeleng cepat, berusaha meyakinkan.
"Kamu salah paham, Citra! Aku nggak akan menolak jadi pemateri di kaderisasi ini."
Tapi, sebelum Umar sempat melangkah pergi, tangan Citra tiba-tiba mencengkeram lengannya, menariknya ke sudut ruangan panitia di belakang gedung serbaguna.
Matanya memancarkan harap yang sulit disembunyikan.
"Umar, aku kangen banget sama kamu, loh," ucapnya pelan sambil menggigit bibir bawah.
"Nanti setelah aku selesai bagi materi, aku pengen banget ngajak kamu ngobrol sambil ngopi. Mau nggak?"
Umar menghindar sebentar, menunduk, lalu menggeleng pelan.
"Malam ini? Aku rasa aku nggak bisa, ada urusan."
Citra menatapnya dengan wajah memelas. Kedua tangannya dia satukan, menelungkup penuh harap.
"Plis, Umar! Aku mohon, cuma sekali ini aja," bisiknya dengan suara yang bergetar.
Umar berdiri diam, terjebak di antara keinginan menolak dan rasa tak enak yang menggelayut. Sementara Citra buru-buru melepaskan genggaman tangannya dan berlari menuju tempatnya memberi materi, meninggalkan Umar dengan beban rasa yang sulit diungkapkan.
""Pokoknya kamu nggak boleh nolak, ya! Tunggu aku, dong!" teriak Citra sambil melenggang santai ke arah podium.
Citra dan Umar pernah satu kelas, satu fakultas, bahkan satu jurusan. Tapi entah kenapa, suatu hari Citra tiba-tiba memutuskan berhenti dan memilih pindah ke jurusan kedokteran. Sementara itu, Umar menyusuri lorong, matanya terus mencari sosok Nay yang tadi ia lihat duduk santai bersama mahasiswa paling nakal di kampus, Adam. Jantungku berdebar aneh, campur aduk antara penasaran dan sedikit cemburu saat mendekati pintu depan.
"Kenapa Nay harus ngobrol sama Adam? Apa, ya, yang mereka bicarain sampai bisa ketawa lepas begitu?" gumamku pelan.
Setelah melewati pintu, aku menemukan Nay masih asyik duduk di sana, tertawa lepas seperti beban di pundaknya menguap entah ke mana. Mataku terus menatap mereka berdua, perasaan ini makin campur aduk. Aku benar-benar ingin tahu, seberapa dekat sebenarnya mereka sampai bisa begitu nyaman.
Umar memanggil pelan, “Nay.” Mata keduanya bertemu, hening yang canggung mengambang di antara mereka. Adam tiba-tiba angkat suara,
“Bu, Pak Umar sudah cari ibu, ya. Saya izin dulu, Bu. Makasih ceritanya, saya suka, Bu Nay.”
Tanpa menunggu jawaban, Adam buru-buru melangkah pergi, seolah takut Pak Dosen akan cemburu karena terlalu dekat dengan kekasihnya.
Nay berdiri dari kursi, melangkah mendekat ke Umar. Tatapan pria itu tajam dan sedikit dingin ketika bertanya,
“Mau di sini atau pulang?”
Mata Nay menyipit, kebingungan dan sedikit tersinggung.
“Hah? Pulang ke mana maksudmu? Kan sudah malam, Mas. Kamu mau aku pulang ke Semarang malam ini juga?”
Umar mengerutkan kening, wajahnya serius,
“Maaf, bukan begitu maksud aku.”
Tangan Umar tiba-tiba meraih pergelangan tangan Nay, menariknya pelan ke arah mobil yang terparkir di dekat sana. Nay menatap pria itu penuh tanda tanya, sikapnya kali ini benar-benar membingungkan.
Umar menyalakan mesin mobil dengan cekatan, suaranya yang tenang mengisi kesunyian malam.
"Kita nyari makan dulu ya? Setelah itu aku antar kamu ke rumah kontrakan Airin," ucapnya sambil melirik ke arah Nay yang duduk di samping.
Jalanan sudah lengang, hanya lampu-lampu jalan yang berkelip di pinggiran kota, tempat mereka mengakhiri kegiatan pengkaderan. Nay mengangguk pelan, perutnya memang sudah keroncongan sejak sore karena Umar belum sempat mengajaknya makan malam.
"Nay, kamu mau sop iga nggak?" tanya Umar sambil tersenyum tipis. Nay cepat mengangguk, bibirnya membentuk senyum kecil yang hangat.
"Kita makan sop iga malam ini, ya!" Umar menegaskan dengan nada lembut sambil tetap fokus memegang setir.
Dalam diam, Nay memandangi pria di sebelahnya mata yang penuh tekad, tangan yang tak kenal lelah, hati yang begitu baik.
“Dia begitu kuat, sabar, dan selalu berjuang untuk orang-orang di sekitarnya,” pikir Nay pelan, dadanya penuh rasa bangga dan kagum yang sulit diungkapkan dengan kata-kata.
Nay menatap Umar dengan mata lembut, seolah ingin menyuntikkan kekuatan dari dalam dirinya ke pria di depannya.
"Ini bukan cuma soal seberapa jauh kita sudah berjalan bersama, tapi bagaimana kita saling berdiri saat dunia terasa berat," bisiknya penuh arti.
Tiba-tiba, senyum nakal menghiasi wajah Nay. "Mas, kamu cemburu ya kalau aku ngobrol panjang sama Adam?" tanyanya sambil menunggu reaksi.
Umar menegakkan tubuh, menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab dengan nada tegas tapi ada getar halus di suaranya.
"Ah, enggak kok! Adam itu anak ingusan, wajahnya juga enggak banget. Mana mungkin kamu suka sama dia? Aku kan satu-satunya pria yang kamu pilih. Bukannya begitu, Nay sayang?"
Mendengar itu, Nay mengulum senyum lega, merasakan kehangatan yang menjalar dari balik kata-kata Umar yang berusaha menutupi cemburunya..
Umar mengernyitkan kening sambil menatap layar ponselnya. "Syukurlah kamu nggak cemburu sama Adam," ujar Nay sambil tertawa ringan.
"Kami tadi ngobrol panjang lebar tentang kamu, loh, Mas."
Nay tampak antusias, seolah-olah ingin membagikan rahasia kecil yang baru ia dengar. Umar menatapnya penuh curiga.
"Nay, kamu nggak sedang nyerang aku di depan mahasiswaku, kan?"
"Nggak mungkin, Mas! Aku kan nggak pernah cerita keburukan kamu. Lagipula, mana ada keburukan kamu di mata aku," jawab Nay sambil tersenyum manis, matanya berbinar menggoda.
Umar tak kuasa menahan tawa kecil yang tiba-tiba muncul, hatinya terasa berdebar cepat. Tubuhnya seolah tertarik untuk lebih dekat, merasakan hangatnya kehadiran Nay, dan membiarkan dirinya tenggelam dalam pelukan itu. Namun, pikiran rasionalnya segera mengingatkan, ini bukan waktu yang tepat untuk melangkah lebih jauh.
Umar menatap kosong ke arah Nay yang asyik tertawa dengan teman-temannya. Dadanya sesak, campur aduk antara bingung dan haru yang sulit dijelaskan.
"Apa aku terlalu cepat? Atau sebenarnya aku cuma takut menghadapi rasa ini?" gumamnya pelan di dalam hati.
Matanya tak lepas dari sosok Nay yang selalu berhasil menyalakan getar hangat di dadanya, seolah setiap senyumnya membuat hati Umar mekar dalam diam..