Masih kelanjutan dari PETUALANGAN AJI DI MASA DEPAN.
Petualangan Aji kali ini lebih kelam. Tidak ada Pretty, dkk. Hanya dirinya, Sari (adiknya), bidadari nyentrik bernama Nawang Wulan, Tumijan, Wijaya, dan beberapa teman barunya seperti Bonar dan Batubara.
Petualangan yang lebih kelam. Agak-agak horor. Penuh unsur thriller. Sungguh tak bisa ditebak.
Bagaimanakah dengan nasib Pretty, dkk? Oh, tenang, mereka masih memiliki porsi di serial ini!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon IG @nuellubis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Di Saat Chola Mendatangi Mereka
Temasek berhasil ditaklukkan oleh Majapahit. Sekarang rombongan Majapahit bergegas ke Semenanjung Melayu. Ingin menaklukkan Semenanjung Melayu. Namun, rumornya, di sana ada beberapa kerajaan. Terus melakukan serangan, maka mereka akan berurusan dengan Kerajaan Chola. Konon Sriwijaya dipukul mundur oleh Kerajaan Chola, yang pasukan Chola menguasai Kepulauan Andaman dan Nikobar.
Aji dan lainnya sedang berlatih di salah satu barak. Ia disuruh mengitari barak beberapa putaran. Napas Aji terengah-engah. Di saat kelelahan itulah, ia teringat akan Sari yang masih tak jelas keberadaannya. Semoga adik bungsunya baik-baik saja.
Namanya Tomo, dan mengaku dari desa dekat pesisir selatan Yawadwipa. Ia menepuk bahu Aji, yang sedang duduk di atas batu. Katanya, "Mimpi kadang hanya sebuah penghias kita tidur, Aji."
"Tapi, di mimpiku," protes Aji masih sedih. "Sari sedang diperkosa beramai-ramai. Dan, itu terlihat nyata sekali."
Tomo menarik napas panjang, lalu duduk di samping Aji. Debu barak masih menggantung di udara, bercampur bau keringat dan besi senjata. Dari kejauhan terdengar teriakan prajurit yang masih berlatih tombak, seolah dunia tak memberi ruang bagi kegundahan pribadi.
“Aku tidak bilang mimpi itu tak berarti,” kata Tomo pelan. “Aku hanya bilang, jangan biarkan mimpi melumpuhkan langkah-langkahmu di dunia nyata.”
Aji menunduk. Tangannya gemetar, bukan karena lelah semata, melainkan karena rasa bersalah yang menyesakkan.
“Aku kakaknya,” ucap Aji lirih. “Seharusnya aku ada di dekatnya. Seharusnya aku melindunginya.”
Tomo menatap lurus ke depan. “Di kampungku, ada orang tua berkata begini: 'Mimpi yang terlalu nyata bisa jadi pesan'. Tapi pesan itu bukan selalu tentang apa yang sudah terjadi, Aji. Kadang tentang apa yang harus kita cegah.”
Ucapan itu membuat Aji mendongak. “Mencegahnya?”
“Ya, mencegahnya. Bisa jadi adikmu belum mengalami apa pun. Bisa jadi mimpimu itu semacamperingatan. Atau bisa juga… panggilan.”
Tomo berhenti sejenak, sekadar untuk memilih kata. “Panggilan agar kau bertahan hidup. Agar kau jadi cukup kuat untuk terus melanjutkan hidup.”
Sebuah genderang dipukul bertalu-talu. Seorang perwira Majapahit melintas, menatap tajam prajurit-prajurit yang duduk terlalu lama. Aji dan Tomo segera berdiri. Tubuh Aji protes, tapi ia memaksa kakinya tegak.
Saat latihan berlanjut, pikiran Aji justru semakin jernih. Setiap tusukan tombak, ia bayangkan sebagai upaya menyingkirkan bayang-bayang buruk dalam mimpinya. Setiap langkah, ia hitung sebagai jarak yang suatu hari akan membawanya pulang.
Malamnya, di barak yang remang, Aji terbangun oleh mimpi lain. Kali ini berbeda. Ia melihat Sari berdiri di tepi sungai, pakaiannya basah, wajahnya pucat namun matanya menatap lurus ke arahnya.
“Mas Aji,” kata Sari dalam mimpi itu. “Aku masih belum mati. Mas Aji juga jangan menyerah.”
Aji terbangun dengan napas tersengal. Keringat dingin membasahi dahinya. Di luar, angin laut Semenanjung Melayu berdesir, membawa suara asing dari negeri-negeri yang belum mereka taklukkan.
*****
Keesokan paginya, kabar beredar di barak. Bahwasanya pasukan pengintai Majapahit melihat pergerakan kapal asing di perairan barat. Bukan kapal Temasek. Bukan pula kapal dari kerajaan Melayu setempat. Bentuknya besar, lambungnya tebal, layarnya asing.
“Chola,” gumam beberapa prajurit.
Aji merasakan getaran aneh di dadanya. Antara takut dan takdir. Seolah dunia tengah mengujinya: tetap terjebak dalam mimpi buruk, atau berdiri tegak di tengah sejarah yang sedang ditulis dengan darah dan besi.
Ia mengepalkan tangan.
Jika benar mimpi adalah panggilan, maka ia akan menjawabnya. Bukan dengan lari, tapi dengan bertahan. Karena selama ia masih hidup, masih ada harapan untuk Sari. Dan selama harapan itu ada, Aji tak akan menyerah. Baik pada mimpi, maupun pada perang yang kian mendekat.
Benar saja. Satu-dua kapal tiba-tiba merapat. Orang-orang yang keluar dari kapal, mereka berkulit lebih gelap dari rombongan Majapahit. Dari bahasa isyarat, diketahui mereka memang dari Chola. Sekonyong-konyong beberapa pasukan Majapahit bergetar. Ada yang ciut, ada pula yang terbakar emosinya. Untungnya, beberapa petinggi berhasil mengondusifkan suasananya.
Kapal-kapal itu berhenti tak jauh dari bibir pantai. Layar mereka berwarna gelap, lambungnya dihiasi ukiran asing yang tak pernah Aji lihat sebelumnya. Bau garam dan ter menyatu dengan udara panas. Para prajurit Majapahit merapatkan barisan, sebagian menggenggam tombak lebih erat, sebagian lain menelan ludah, berusaha menyembunyikan getar di tangan.
Dari kapal terdepan, turunlah beberapa lelaki bertubuh tegap. Kulit mereka legam terbakar matahari, rambut disanggul sederhana. Dada mereka dihiasi kalung logam yang berkilau redup. Senjata mereka tak banyak, tapi aura yang mereka bawa membuat pantai seolah menyempit. Seorang di antara mereka melangkah maju. Ia lebih tua, matanya tajam, janggutnya kelabu. Dengan bahasa yang asing di telinga Aji, ia berbicara singkat, lalu menunggu.
Seorang juru bahasa Majapahit maju, menerjemahkan dengan suara tertahan. “Mereka utusan Chola. Mereka ingin tahu maksud kehadiran Majapahit di Semenanjung. Mereka mengingatkan kita, bahwa wilayah ini berada dalam pengaruh dagang mereka.”
Desir angin terasa seperti bisik ancaman. Aji menoleh ke arah para petinggi. Wajah-wajah itu tenang, namun mata mereka berhitung cepat. Gajah Mada melangkah setapak ke depan. Suaranya tak keras, namun tegas, seakan pantai itu sendiri tunduk mendengarnya. Ia berbicara panjang, juru bahasa kembali bekerja. Kata-kata tentang kehormatan, tentang jalur dagang, tentang niat Majapahit yang tak mencari perang, namun tak gentar bila harus menjalaninya.
Utusan Chola menyimak tanpa berkedip. Lalu ia tersenyum tipis. Sebuah senyum yang tak sepenuhnya ramah. Ia membalas singkat.
Juru bahasa menghela napas sebelum menerjemahkan. “Mereka berkata, Chola menghargai keberanian Majapahit. Namun, mereka juga mengingatkan, bahwa setiap langkah di Semenanjung akan diperhatikan mereka terus.”
Ketegangan mereda setipis benang. Tidak ada pedang terhunus, tidak ada teriakan. Namun Aji merasakan sesuatu yang lebih berat dari pertempuran. Memang perang yang belum dimulai, tapi sudah membayangi segenap raga dan jiwa Aji. Bahkan di saat kapal-kapal Chola itu akhirnya mundur perlahan, layar terkembang, meninggalkan garis putih di laut.
Setelah pantai kembali lengang, perintah latihan diteriakkan. Seolah tak terjadi apa-apa, para prajurit dipaksa bergerak, berlari, berlatih formasi. Aji ikut bergerak, keringat mengalir di pelipis. Namun pikirannya tertinggal di pertemuan barusan. Dunia yang ia masuki jauh lebih luas dan berbahaya dari yang ia bayangkan.
Di sela istirahat, Tomo kembali duduk di sampingnya.
“Kau lihat sendiri,” kata Tomo pelan. “Kadang kemenangan bukan tentang mengalahkan, tapi menahan diri.”
Aji mengangguk. Bayangan Sari kembali menyelinap, bukan sebagai mimpi buruk kali ini, melainkan sebagai alasan. Ia menggenggam tanah di bawahnya, merasakan teksturnya, seolah berjanji pada bumi dan dirinya sendiri. Apa pun yang menunggu di Semenanjung, ia harus bertahan. Bukan hanya sebagai prajurit, tapi sebagai kakak yang suatu hari ingin pulang dengan jawaban. Bahkan bertahan demi apa pun.