NovelToon NovelToon
"Perpindahan Jiwa" Mafia Queen X Gadis Cupu

"Perpindahan Jiwa" Mafia Queen X Gadis Cupu

Status: sedang berlangsung
Genre:Mafia / Reinkarnasi
Popularitas:1.9k
Nilai: 5
Nama Author: PrinsesAna

Kisah menakjubkan tentang perpindahan Jiwa seorang Ratu Mafia ke dalam Tubuh seorang Gadis Cupu yang diabaikan dan direndahkan oleh keluarganya.
Gadis Cupu itu terus-menerus dianggap tidak berarti oleh keluarganya.
Namun semua hinaan dan pandangan meremehkan itu tak pernah mempu mematahkan semangat nya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PrinsesAna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

5

Setelah dari kantin, Ara langsung berjalan menuju kelas, diikuti Manda yang berada di belakangnya. Saat tiba di kelas, Ara segera duduk dan memejamkan matanya di atas meja. Ara berusaha keras mengendalikan emosinya, karena jika tidak, mungkin ia sudah melakukan hal ekstrem kepada Gavin tadi akibat terlalu terbawa emosi.

"Gila, gila, gila! Sahabat gue keren banget! Ra, tadi lo luar biasa, Ra!" seru Manda dengan penuh antusias, senang karena akhirnya Ara berhasil memberikan pembalasan kepada seseorang yang memperlakukannya dengan tidak baik.

"Ra, eh, kok malah tidur sih, Ra?" tanya Manda sambil memanggil Ara.

"Gue ngantuk," jawab Ara singkat, kemudian kembali memejamkan matanya.

"Woi, sebentar lagi bel masuk! Mana mungkin lo tidur, Ra," ucap Manda yang terus menggoda Ara.

"Kalau guru masuk, bangunin gue," balas Ara dengan nada malas.

"Ya udah, iya-iya," jawab Manda akhirnya.

Tak lama kemudian, guru masuk ke dalam kelas. "Ra, bangun! Guru udah masuk," ujar Manda membangunkan Ara.

"Hmm," sahut Ara sambil bangkit dan mulai fokus melihat ke depan.

Waktu berlalu hingga jam pelajaran selesai. Ketika pulang sekolah, Manda berpamitan lebih dulu. "Ra, gue duluan, ya. Lo hati-hati, ya, Ra," pesannya sebelum pergi.

"Hmm," balas Ara singkat sambil mengangguk kecil.

Ara berjalan menuju area parkir dan menaiki motornya untuk kembali ke apartemen. Ada urusan penting yang harus ia selesaikan dengan sekretaris perusahaan miliknya.

Setibanya di apartemen, Ara segera naik ke unitnya. Saat ia masuk, terlihat Kak Dewi sudah menunggu sambil duduk di sofa. Ara berjalan menghampiri dan memilih duduk di sofa single di dekatnya.

"Nona, ini ada beberapa dokumen yang perlu Anda tanda tangani. Silakan diperiksa dulu. Ini termasuk dokumen keuangan perusahaan, mohon dicek juga," ujar Kak Dewi sambil menyerahkan dokumen-dokumen itu kepada Ara.

Ara memeriksa semua dokumen tersebut dengan teliti. Setelah memastikan semuanya dalam kondisi baik dan aman, ia mengembalikan dokumen itu kepada Kak Dewi.

"Dan ini juga ada kontrak kerja sama dari Perusahaan Anderson," lanjut Kak Dewi.

"Jangan menerima kerja sama apa pun dengan Perusahaan Anderson, Kak," jawab Ara tegas. Ara menyapa dengan sebutan Kak karena Kak Dewi lebih tua darinya.

"Baik, Nona. Kalau begitu, saya permisi dulu," ucap Kak Dewi sebelum beranjak pergi.

Ara hanya menanggapi dengan gumaman pelan sebelum ia memutuskan untuk pulang. Ia mengendarai motornya dengan kecepatan sedang. Dalam perjalanan, Ara mampir di minimarket untuk membeli beberapa camilan yang akan dinikmatinya di kamar nanti. Setelah selesai berbelanja, ia melanjutkan perjalanan kembali ke rumah.

Sesampainya di depan rumah, Ara segera turun dari motor dan masuk ke dalam. Namun, ia langsung dikejutkan oleh sebuah peristiwa saat melewati pintu.

PLAK!

“Dasar anak tidak tahu diri! Mau jadi apa kamu, hah? Apa yang sudah kamu lakukan pada putri saya?!” bentak ayah Ara sambil menampar wajahnya keras hingga bibirnya terluka dan berdarah.

“Aku tidak melakukan apa-apa,” jawab Ara dingin sambil menatap mata ayahnya.

DEG.

Semua orang di ruangan itu terkejut, bukan hanya karena nada suara Ara yang dingin, tetapi juga tatapan matanya yang berbeda dari biasanya.

“Kamu bilang tidak melakukan apa-apa?! Tapi kenyataannya kamu melukai putri saya! Bahkan teman anak saya sampai masuk rumah sakit. Itu yang kamu sebut tidak melakukan apa-apa?!” seru Abraham, ayah Ara, dengan nada penuh amarah.

“Iya! Anak seperti kamu memang tidak tahu diri. Saya sangat menyesal telah melahirkanmu! Seharusnya anak yang saya lahirkan itu Vania, bukan kamu!” tambah Elmira, ibunya, dengan nada penuh kebencian.

DEG.

Hati Ara terasa seperti dihantam keras mendengar kata-kata dari orang yang selama ini ia panggil ibu.

Kenapa rasanya sakit sekali? Apa ini perasaan Ara yang sebenarnya? batin Ara dalam hati dengan penuh kesedihan.

“Saya menyesal telah merawatmu dan membiayai semua kebutuhanmu. Dengan perilaku seperti ini, benar-benar tidak pantas!” ucap Abraham lagi dengan nada tajam.

“Biaya? Biaya apa yang Tuan maksud? Saya membiayai hidup saya sendiri.

Tuan yang disebut sebagai ayah, orang tua saya, tidak pernah memberi saya biaya apa pun. Saya berjuang sendiri untuk hidup saya, tidak bergantung pada Tuan.

Untuk Nyonya, jika saya bisa memilih, saya tidak akan pernah mau terlahir dari perempuan seperti Anda. Bahkan kata ‘ibu’ pun tidak cocok untuk Anda yang selama ini hanya menyiksa dan menyakiti anak yang Anda lahirkan dari rahim sendiri.

Saya tidak pernah berharap bisa berada di keluarga seperti ini. Keluarga yang seharusnya menjadi tempat berlindung malah berubah menjadi sumber penderitaan saya selama ini. Saya sudah pernah berkata bahwa lebih baik kita anggap satu sama lain sebagai orang asing yang tidak saling mengenal. Saya dengan kehidupan saya sendiri, dan kalian dengan kehidupan kalian. Itu jauh lebih baik.”

Ara mengucapkan kata-kata itu dengan nada dingin, tapi penuh tekanan di setiap kalimatnya.

“Dan untuk lo, Vania, jangan coba-coba cari masalah sama gue. Kalau lo mau semuanya, ambil aja. Gue nggak butuh siapa pun. Gue nggak akan pernah iri sama lo yang jadi ‘putri kebanggaan’ satu-satunya di keluarga ini, karena gue udah nggak peduli sama kasih sayang dari keluarga ini. Anggap aja gue cuma anak dari Bi Inah, pembantu rumah tangga di sini. Jadi jangan usik gue lagi. Kalau lo nggak berhenti dan masih nekat bermain, nggak masalah buat gue asal nyawa lo taruhan.”

Ara berkata lantang sebelum segera berbalik dan masuk ke kamarnya.

Ada keheningan yang mendalam di rumah tersebut setelah Ara selesai berbicara. Kata-kata keras itu meninggalkan bekas dalam hati setiap orang yang mendengarnya. Rasa sakit bercampur kesedihan tiba-tiba memenuhi suasana.

“Aku merasa sakit mendengar semua ucapan Ara. Apakah aku benar-benar begitu kejam hingga putriku berubah menjadi seperti ini?” gumam Abraham dalam hatinya.

“Apakah aku telah gagal menjadi seorang ibu? Apa benar gelar ibu tidak pantas untukku? Apakah aku terlalu jahat hingga putriku menganggapku seperti ini?” pikir Elmira dengan penuh kesedihan.

“Kenapa hati gue sakit mendengar ucapan Ara? Kenapa ada rasa sedih setiap kali melihat tatapan matanya?” Arga bergumam dalam hati, tak mampu menyembunyikan kegundahannya.

“Maaf ya, Dek. Lagi-lagi abang nggak bisa bantuin kamu atau sekadar membela,” ujar Arka dalam hati dengan rasa bersalah yang mendalam.

Sementara itu, Vania hanya tersenyum licik sembari berkata dalam hati, “Sialan, awas aja lo, Ra. Gue bakal bikin lo pergi dari rumah ini. Tungguin aja saatnya nanti.”

Sesampainya di kamar, tubuh Ara terkapar lemas di atas tempat tidur. Ia begitu lelah hari ini, penuh drama yang menguras emosi dan tenaganya sampai habis.

Ara merasa iba terhadap dirinya sendiri, betapa beratnya semua yang ia lalui selama ini. Meski begitu, ia tetap berusaha kuat. Dalam hati, ia bergumam bahwa suatu saat akan ada balasan untuk orang-orang yang menyakitinya, hingga mereka menyesal.

Rasa lelah yang teramat sangat membuat Ara memutuskan untuk segera tidur. Namun, ia terbangun pada pukul 9 malam. Tanpa menunda-nunda, Ara bangkit dan masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Sejak pulang sekolah tadi, ia langsung terlelap tanpa sempat mengganti pakaiannya.

Selesai mandi, Ara turun ke bawah untuk makan malam. Namun, sesampainya di ruang makan, rumah tampak sepi; tidak ada siapa pun di sana. Dengan santai, ia melangkah ke dapur.

“Ara bikin mie instan sama telur saja,” pikirnya. Di tengah persiapannya memasak mie, Bi Ina—pembantu rumah tangga—datang ke dapur.

“Eehh, Non Ara mau bikin apa?” tanya Bi Ina.

“Ara mau bikin mie pakai telur, Bi,” jawab Ara dengan sederhana.

“Biar bibi saja yang bikin, Non. Non duduk saja,” tawar Bi Ina.

“Enggak usah, Bi. Ara masak sendiri saja. Mending bibi kerjakan yang lain atau istirahat,” jawab Ara sambil mengaduk mie di panci.

Bi Ina hanya mengangguk dan memilih menunggu Ara memasak. “Oh iya, Non. Tuan, Nyonya, Kakak Non, dan Non Vania pergi makan di luar tadi. Makanya bibi nggak masak,” jelas Bi Ina.

“Mereka? Biarin saja, Bi. Ara sudah nggak peduli,” ujar Ara singkat sembari mulai menyajikan mie ke atas piring.

“Non beneran nggak sedih lagi? Jangan sedih, ya... Ada Bibi di sini. Bibi sayang banget sama Non, udah kayak anak sendiri,” ungkap Bi Ina yang khawatir Ara menyimpan perasaan sedih.

“Bi, Ara sudah nggak apa-apa. Ara udah berhenti berharap dapat kasih sayang dari mereka. Ada Bibi aja yang sayang sama Ara itu lebih dari cukup. Ara benar-benar capek... Biarkan saja mereka seperti itu,” jawab Ara jujur dengan nada lelah. Ia memandang Bi Ina dengan senyum kecil tapi penuh makna. “Selagi ada Bibi, Ara nggak bakal sedih lagi... Ara juga sayang banget sama Bibi, udah kayak ibu kandung Ara.”

Kata-kata Ara membuat Bi Ina terharu sampai menitikkan air mata. “Iya, Non, Bibi akan selalu ada buat Non Ara,” ucap Bi Ina tulus sambil menghapus air matanya.

“Bibi jangan nangis dong. Ara nggak mau Bibi nangis,” ujar Ara ikut menghapus air mata Bi Ina.

Ara tahu betul bahwa Bi Ina adalah orang baik yang tulus menyayanginya seperti anak sendiri.

“Iya, Non... Sekarang ayo makan dulu, ya. Abis itu istirahat supaya besok bisa sekolah,” ujar Bi Ina seraya tersenyum lembut.

“Siap, Bi! Hehehe,” jawab Ara sambil bercanda dengan gaya hormat seperti sedang upacara. Bi Ina tertawa kecil melihat kelakuan Ara yang kerap kali lucu.

Namun, tanpa disadari oleh keduanya, interaksi hangat tersebut diam-diam diperhatikan oleh Elmira dan Abraham dari ruang tamu. Ada rasa iri yang menyeruak di hati Elmira ketika menyaksikan putrinya lebih dekat dengan seorang pembantu rumah tangga dibanding dirinya sebagai ibu kandung. Elmira melihat dengan jelas bagaimana wajah Ara penuh kebahagiaan saat berbicara dengan nada lembut terhadap Bi Ina, juga tatapan sayang yang ia tunjukkan kepada wanita itu.

Berbeda dengan sikap dingin dan datar yang kerap kali ditampilkan Ara setiap berhadapan dengan kedua orang tuanya.

Merasa tidak tahan melihat kehangatan putrinya dengan orang lain sementara hubungan mereka terasa begitu jauh dan asing, Elmira segera pergi ke kamarnya diikuti Abraham yang juga menyimpan kesedihan mendalam di dalam hatinya.

1
Jeremiah Jade Bertos Baldon
ceritanya keren banget, thor! Aku jadi ketagihan!
Deyana: Makasih ya kak..
total 1 replies
♥Kat-Kit♥
Ceritanya dapet banget.
Deyana: thanks banget kak.
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!