Lin Zhiyuan, adalah pemuda lemah yang tertindas. Ia menyelam ke kedalaman Abyss, jurang raksasa yang tercipta dari tabrakan dunia manusia dan Dewa, hanya untuk mendapatkan kekuatan yang melampaui takdir. Setelah berjuang selama 100.000 tahun lamanya di dalam Abyss, ia akhirnya keluar. Namun, ternyata hanya 10 tahun terlalui di dunia manusia. Dan saat ia kembali, ia menemukan keluarganya telah dihancurkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SuciptaYasha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
24 Kedatangan Jenderal Kekaisaran
“A-apa—?! Ini jebakan babi hutan?! Lepaskan aku!” Yexuan berusaha melepaskan diri, tapi semakin banyak ia bergerak, ikatan itu justru semakin kuat.
Setelah beberapa menit berjuang sia-sia, ia akhirnya pasrah.
“Hebat… luar biasa… aku kabur dari orang gila hanya untuk ditangkap oleh perangkap hewan…” katanya kesal, lalu tertidur dalam posisi terbalik karena kelelahan.
....
Pagi berikutnya.
Burung-burung berkicau riang, matahari memanjat perlahan di balik pegunungan.
Tiga pria pemburu berjalan santai sambil mengobrol.
“Semoga kali ini dapat babi hutan yang besar.”
“Ya, kemarin cuma dapat ayam hutan, malu sekali aku.”
“Eh… tunggu… itu… itu apa yang tergantung di sana?”
Ketiganya berhenti. Mereka menatap jerat yang menggantung di antara dua pohon besar.
Bukan babi. Bukan rusa. Tapi seorang wanita muda dengan rambut berantakan, masih tertangkap dan mendengkur pelan.
“APA ITU?!”
Beberapa saat kemudian—
BUAGH!
Tubuh Yexuan terhempas ke tanah di depan Zhiyuan. Ia bangkit sambil berusaha memberontak, namun tangan dan kakinya masih terikat kuat. Rambutnya berantakan, wajahnya merah karena marah.
“Kau akan menyesali ini, bajingan!!” teriaknya sambil menendang-nendang udara.
Zhiyuan hanya berdiri di depannya, tangan terlipat di dada, ekspresi datar. Tapi di ujung bibirnya ada sedikit lengkungan.
“Bukankah aku sudah bilang,” katanya santai, “kau boleh kabur kapan saja.”
Yexuan menatapnya penuh amarah.
“Tapi…” Zhiyuan menahan tawa. “Kau malah tertangkap oleh jerat babi hutan.”
Ia memalingkan wajah sedikit, bahunya berguncang pelan. “Pfft… jerat babi hutan…”
Akhirnya ia tak bisa menahan lagi—tertawa pelan sambil menutup wajahnya.
“Hahaha… Aku tidak percaya ada seorang kultivator yang terjebak jerat babi hutan!"
Yexuan mengertakan giginya. "I-itu bukan jerat babi hutan biasa! Kau sudah mengaliri talinya dengan energi spiritual yang sangat kuat, bahkan ranah Raja Alam tidak bisa melepaskan diri!"
Pemburu yang tadi menemukan Yexuan tergantung, terkekeh sambil menggaruk belakang kepalanya.
"Itu memang jerat khusus karena sebelumnya tangkapan kami selalu lepas."
"Sudah kuduga Tuan Zhiyuan sangat hebat!" sahut yang lainnya.
Jinzu yang menyaksikan dari samping hanya menepuk kening. “Setiap kali aku berpikir hari ini akan berjalan normal, selalu saja ada kejutan.”
Siang harinya. Kota Linzhang kembali hidup. Orang-orang bekerja, memahat batu, mengangkat kayu, dan membangun fondasi rumah.
Sementara itu, Yexuan—dengan wajah cemberut—ditempatkan di dapur bersama para wanita lainnya.
Tangannya memegang pisau dapur, memotong kentang… atau lebih tepatnya menghancurkannya.
Potongannya tidak rapi, sebagian besar kentang malah berubah jadi bubur.
Li Guan, seorang wanita paruh baya yang bertugas sebagai kepala dapur menatapnya dengan heran.
“Kenapa kau mengupas kentang seperti itu?” tanyanya sambil mengangkat alis.
Yexuan menoleh dengan senyum kaku. “Hehe… ini pertama kalinya aku mengupas kentang.”
Li Guan menatapnya lama, lalu berucap datar, “Pertama kali mengupas kentang? Apa kau putri kerajaan, hah?”
Yexuan hanya terkekeh gugup. “Mungkin… di kehidupan sebelumnya....”
Li Guan menghela napas panjang, mengambil sebuah kentang dan duduk di sebelah Yexuan seperti guru yang mengajari muridnya.
“Pegang kentangnya seperti ini. Lalu putar. Begini, begini… lalu—nah, jadilah begini!”
Yexuan menatapnya polos. “Bisa kau ulangi?”
Li Guan memutar bola matanya. “Dasar anak ini…”
Sementara di kejauhan, Jinzu memperhatikan mereka dengan senyum lembut di wajahnya. Melihat Yexuan yang kini tampak seperti gadis biasa di tengah para pekerja, entah kenapa ada perasaan hangat di dadanya.
Ia berbalik, mengambil keranjang buah, lalu mulai membagikannya pada orang-orang dengan langkah ringan.
Suara aktivitas para wanita terdengar ramai dari dalam dapur. Para wanita mencuci sayur, mengaduk panci besar, mengupas sayuran, semuanya bergerak cepat namun penuh koordinasi.
Yexuan perlahan mulai larut dalam ritme mereka.
“Aku rasa aku mulai mengerti…” gumamnya sambil menggenggam kentang baru.
Dengan hati-hati—pelan, pelan—ia meniru gerakan tangan Li Guan:
putar… kerik… putar… kerik…
Selama beberapa menit, hanya terdengar suara pisau menggores kulit kentang.
Hingga akhirnya ia berhasil mengupas satu kentang dengan baik.
Yexuan berdiri tegak, wajahnya bersinar seolah baru saja memenangkan turnamen bela diri tingkat nasional.
“Lihat!” serunya dengan bangga, mengangkat kentang yang mulus dan bulat seperti batu giok.
Li Guan melirik…
Lama…
Sangat lama…
Lalu ia mengangguk tipis. “Hm. Tidak buruk.”
“Tidak buruk?! Ini sangat bagus!” Yexuan memeluk kentangnya seperti bayi, membuat beberapa wanita lain menahan tawa.
“Jangan berlebihan,” ujar Li Guan sambil mendorongnya ke tumpukan sayuran lain. “Sekarang buat seratus lagi.”
“S—seratus…?”
Namun Yexuan tetap tersenyum. Ia akhirnya bisa mengikuti pekerjaan dapur layaknya warga lain.
Untuk pertama kalinya sejak tiba di Linzhang… ia merasa sedikit normal.
Tapi ketenangan itu tak bertahan lama.
TAP! TAP! TAP! TAP!
Suara derap kaki kuda menggema keras dari gerbang kota.
Seluruh warga spontan berhenti bekerja.
Pisau berhenti bergerak. Palu berhenti mengetuk. Bahkan Yexuan meletakkan kentangnya.
Tidak lama kemudian, rombongan berkuda berpakaian zirah memasuki halaman utama Linzhang. Baju zirah mereka berkilau memantulkan cahaya matahari, bendera merah dengan simbol Phoenix berkibar gagah.
Namun bukannya rasa hormat, hanya ketegangan dan kebencian yang menyelimuti udara.
Di depan rombongan itu, seorang pria bertubuh besar menunggangi kuda hitam—dadanya bidang, wajahnya keras seperti pahatan batu. Tatapannya dingin, penuh superioritas.
Zhang Wei.
Jenderal Kekaisaran.
Prajurit di sampingnya mengangkat suara keras.
“Jenderal Zhang telah tiba! TUNDUKKAN KEPALA KALIAN!”
Namun tak ada satu pun warga yang bergerak.
Tidak ada kepala yang menunduk.
Tidak ada penghormatan.
Yang ada hanyalah tatapan kosong. Penuh luka, dendam, dan kelelahan.
Senyum jijik muncul di bibir Zhang Wei.
“Lihatlah mereka…” gumamnya lantang. “Kumpulan kera lusuh yang bahkan tidak tahu sopan santun kepada kekaisaran yang memberi mereka hidup.”
mlh kalo baru awal2..kek semua tokoh tu mukanya smaaaaaaa..🤣🤣