Sepuluh bulan lalu, Anna dijebak suaminya sendiri demi ambisi untuk perempuan lain. Tanpa sadar, ia dilemparkan ke kamar seorang pria asing, Kapten Dirga Lakshmana, komandan muda yang terkenal dingin dan mematikan. Aroma memabukkan yang disebarkan Dimas menggiring takdir gelap, malam itu, Anna yang tak sadarkan diri digagahi oleh pria yang bahkan tak pernah mengetahui siapa dirinya.
Pagi harinya, Dirga pergi tanpa jejak.
Sepuluh bulan kemudian, Anna melahirkan dan kehilangan segalanya.
Dimas dan selingkuhannya membuang dua bayi kembar yang baru lahir itu ke sebuah panti, lalu membohongi Anna bahwa bayinya meninggal. Hancur dan sendirian, Anna berusaha bangkit tanpa tahu bahwa anak-anaknya masih hidup. Dimas menceraikan Anna, lalu menikahi selingkuhan. Anna yang merasa dikhianati pergi meninggalkan Dimas, namun takdir mempertemukannya dengan Kapten Dirga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
19. Panik
Telepon dari penjaga rumah dinas membuat darah Dirga seakan berhenti mengalir.
[Kapten … ada orang masuk rumah. Ibu Anna … hampir diserang.]
Tidak perlu berpikir dua kali. Dirga langsung menutup telepon, meraih kunci mobil, dan melesat secepat mungkin. Wajahnya menegang, rahangnya mengeras kemarahan dan ketakutan bercampur menjadi satu.
Begitu mobil berhenti, Dirga bahkan tidak menutup pintunya dengan benar. Ia berlari masuk, langkahnya berat namun cepat.
“Anna!”
Suara tangis bayi menggema dari dalam. Dirga nyaris menjebol pintu kamar. Dan di sana Anna duduk di lantai, memeluk Alvaro dan Almira erat-erat. Tubuhnya bergetar hebat. Penjaga rumah berdiri di depan pintu, tak berani mendekat karena Anna masih syok.
Wajah Dirga langsung berubah. Garis rahangnya menegang begitu melihat ketakutan di mata wanita itu.
“Anna...” suaranya pecah, setengah panik. Anna mendongak, baru melihat Dirga saja, air matanya kembali mengalir.
Dalam hitungan detik, Dirga sudah berlutut di depannya dan menarik Anna ke dalam pelukannya, hati-hati agar tidak menekan bayi kembar yang ada di pelukannya.
“Aku di sini … kamu aman…”
Suara Dirga rendah, namun jelas gemetar karena marah dan takut. Anna menyandarkan wajahnya di dada Dirga, menangis hebat.
“Tadi … dia masuk … dia ... dia mau ambil bayi … dia mau … aku...”
“Sudah…” Dirga menutup mata, memeluknya lebih erat lagi.
“Aku minta maaf … aku terlambat … aku janji nggak akan terjadi lagi. Tidak akan.”
Genggamannya di punggung Anna mengeras seolah memastikan wanita itu tidak akan disentuh oleh bahaya lagi. Almira menangis kecil di antara mereka. Dirga mengusap punggung bayi itu dengan tangan gemetar.
“Maafkan papa, Nak … papa terlambat…”
Anna menutup mata, tangannya meraih seragam Dirga seakan itu satu-satunya pegangan hidupnya saat ini.
“Kapten … aku takut … aku benar-benar takut…”
Dirga menangkup wajahnya pelan.
“Lihat aku, Anna.”
Anna menatapnya sambil terisak.
“Selama aku ada … tidak ada satu pun yang menyentuh kamu atau anak-anak kita. Satu pun tidak. Aku bersumpah.”
Nadanya sangat pelan namun sangat tegas, seolah itu sumpah hidup dan mati seorang prajurit. Anna menunduk, menangis dalam pelukannya, kali ini bukan hanya takut, tapi juga lega karena Dirga datang di saat ia benar-benar membutuhkannya.
Di luar, penjaga rumah menunggu, wajahnya tegang. Dirga kemudian menoleh padanya, nadanya berubah seperti seorang kapten yang siap berperang.
“Siapkan laporan. Tutup akses rumah. Pasang penjagaan 24 jam. Dan cari dia. Hidup atau mati, aku harus tahu di mana Dimas.”
Penjaga itu segera mengangguk dan pergi. Dirga kembali menatap Anna, mengusap rambutnya yang acak-acakan.
“Anna…”
“Mulai sekarang … aku nggak akan ninggalin kalian lagi.”
Ia memeluk Anna dan bayi-bayinya lebih erat seakan meneguhkan, ini keluarganya dan ia akan melindungi mereka sampai titik darah terakhir.
Setelah berhasil menenangkan Anna dan memastikan bayi-bayinya aman, Dirga perlahan melepas pelukan itu. Ia berdiri, napasnya berat, wajahnya tidak lagi lembut seperti tadi. Aura militernya kembali muncul kali ini jauh lebih gelap.
Dirga menatap seisi ruangan, memperhatikan jendela yang setengah terbuka paksa, tirai yang terseret ke lantai, dan selembar selimut bayi yang jatuh, dan bahkan jendela kaca pecah. Tanda-tanda pertarungan kecil.
Wajahnya berubah pekat, “Dia masuk dari sini?” suaranya rendah dan dingin. Penjaga yang tadi menghampiri mengangguk cepat.
“Ya, Kapten. Saya sempat mendengar suara benturan, tapi saat saya tiba … pelaku sudah kabur.”
Dirga mengepalkan tangan, kuku-kukunya memutih. Ia menoleh ke Anna yang masih duduk di lantai sambil menenangkan Alvaro dan Almira.
“Anna, aku keluar sebentar, ya. Kamu tetap di kamar, jangan buka pintu untuk siapa pun selain aku.”
Anna mengangguk pelan, matanya masih menyimpan sisa ketakutan. Dirga melangkah ke ruang tengah. Begitu ia memastikan Anna tak bisa melihat, ekspresinya berubah sepenuhnya.
Tidak lagi menahan diri, dia memukul tembok dengan keras sampai dinding bergetar.
Dugh!
Penjaga tersentak, namun Dirga tidak peduli. Matanya merah menahan amarah.
“Dia sudah berani masuk ke rumah dinasku…”
Dirga bergumam, namun setiap kata bagai pisau.
“Dia sudah berani sentuh wanita yang ku lindungi…”
Rahangnya mengeras.
“Dan menyentuh anak-anakku.” Dirga menarik napas panjang, namun tak mampu menahan gemetar di ujung jarinya. Ia menepuk bahu penjaga.
“Mana CCTV-nya?”
Mereka menuju ruang pemantauan kecil. Dirga menatap layar, alur kejadian diulang. Cuplikan memperlihatkan sosok Dimas melompat pagar, seseorang menunggu dengan mobil di luar, lalu Dimas kabur secepat mungkin. Dirga bersandar ke dinding, menunduk sambil mengatur napas.
Kemudian, senyuman muncul di sudut bibirnya. Senyuman yang bukan milik seorang kapten biasa, tapi milik seorang pria yang siap membalas.
“Baiklah, Dimas…”
Nada Dirga rendah, nyaris seperti geraman.
“Kalau kau ingin perang … kau akan mendapatkannya.”
Ia menatap penjaga rumah.
“Mulai malam ini, tempatkan dua regu berjaga. Satu di luar, satu di dalam. Tidak ada celah. Dan kontak tim intel, aku ingin identitas orang yang membantu Dimas, dalam waktu 24 jam.”
“Baik, Kapten!”
Dirga mengangguk dan kembali ke kamar.
Saat membuka pintu, ia melihat Anna yang sudah menidurkan kedua bayinya di tempat tidur kecil. Bahunya masih bergetar halus.
Hanya melihat Anna saja, amarah Dirga kembali naik, karena perempuan itu seharusnya tidak perlu merasakan ketakutan seperti ini.
Ia mendekat pelan dan berkata pelan,
“Anna,” panggilnya lembut, kontras sekali dengan aura gelap yang baru saja ia keluarkan di luar.
Anna menatapnya.
“M-maaf … aku tidak bisa melindungi anak-anak dengan baik…”
Dirga langsung menggeleng cepat.
“Tidak. Tidak, Anna. Jangan pernah salahkan dirimu.”
Ia mengulurkan tangan, menghapus air mata di pipinya.
“Mulai sekarang, kamu tidak perlu melindungi mereka sendirian.”
Dirga menatap bayi-bayinya, lalu kembali menatap Anna.
“Aku di sini. Aku yang jaga kalian. Dengan nyawaku.”
Sesaat kemudian, Dirga duduk di tepi tempat tidur, tenggorokannya bergerak menelan rasa takutnya sendiri.
“Anna … aku hampir gila membayangkan apa yang bisa terjadi kalau aku terlambat…”
Ia menunduk.
“Jadi mulai hari ini, aku tidak akan pergi jauh dari kalian.”
Anna menatapnya, perlahan merasa aman untuk pertama kalinya sejak ia melahirkan. Dan Dirga, untuk pertama kali sejak menjadi prajurit, merasa tidak ingin kehilangan seseorang melebihi dirinya sendiri.
Malam itu masih terasa berat bagi Anna. Setelah kejadian menyeramkan yang hampir menimpanya, tubuhnya selalu gemetar setiap kali mendengar suara di luar kamar.
Dirga duduk di sofa dekat pintu kamar, bersandar dengan tangan terlipat di dada. Lampu kamar sengaja diredupkan agar Anna bisa tidur. Tapi Anna tidak bisa tidur, justru terus memperhatikan sosok Dirga yang duduk diam, berjaga seperti batu karang.
“Kapten…” suara Anna lirih.
Dirga menoleh cepat, khawatir.
“Kamu baik-baik saja?”
Anna menggeleng pelan.
“Tidak … aku takut kalau aku memejamkan mata Dimas akan datang lagi…”
Dirga berdiri dan mendekat.
“Aku ada di sini. Tidak ada yang bisa menyentuhmu,” ujarnya mantap.
Anna menarik napas panjang, masih gemetar. Dan secara tak sadar atau mungkin karena rasa aman itu hanya ada pada Dirga dan Anna mengulurkan tangannya.
Dirga terpaku.
“Boleh … pegang tanganku sebentar?” bisik Anna, matanya memohon.
Dirga tidak ragu. Dia duduk di tepi tempat tidur dan menggenggam tangan Anna erat, hangat, membuat Anna akhirnya bisa bernapas sedikit lebih lega.
“Terima kasih … sudah datang tepat waktu,” ucap Anna lirih.
Dirga menatapnya lama nyaris terlalu lama.
“Kalau aku terlambat sedikit saja … aku tidak tahu apa yang akan terjadi. Dan itu membuatku sangat marah.”
Anna menunduk.
“Aku tidak ingin menjadi beban…”
“Kamu tidak beban, Anna.”
Nada Dirga tegas,
“Kamu dan anak-anak adalah prioritas utamaku sekarang.”
Anna menatapnya, dan untuk pertama kalinya, ia tidak merasa sendirian. Dan tanpa disadari, jarak antara mereka menjadi semakin dekat.
Keesokan paginya.
Dirga berangkat pagi-pagi. Namun sebelum pergi, ia memastikan dua regu penjaga berada di luar dan dalam rumah.
“Jika ada yang mendekati rumah ini tanpa izin, tangkap,” perintahnya.
Setelah itu ia menatap penjaga khusus yang ditugaskan tepat di depan kamar Anna.
“Kalau terjadi sesuatu sekecil apa pun, langsung telepon aku. Aku juga merasa ada yang berkhianat!"
“Baik, Kapten!”
Dirga pergi dengan wajah tegang, sorot mata penuh amarah yang ditahan.
Tiba di kantor.
Dirga masuk ke ruang rapat dengan seragam lengkap. Semua bawahannya berdiri tegak.
“Tugas hari ini berubah. Ada target utama.”
Nada Dirga berat, dingin, tajam. Dimas yang biasanya duduk di bagian depan, kursinya kini kosong membersitkan ketegangan di antara para anggota.
“Kita akan memburu seorang pengkhianat internal. Nama, Dimas.”
Suara di ruangan langsung berubah hening. Kerut tegas muncul di kening Dirga.
“Dia terlibat dalam penyerangan rumah dinas saya semalam.”
Salah satu anggota bertanya, “Perintah, Kapten?”
Dirga menarik napas, lalu berkata dengan suara yang tak bisa dibantah,
“Tangkap dia hidup-hidup. Bawa ke saya.”
Beberapa anggota saling menatap karena memahami Dirga, tahu perintah itu artinya Dimas akan menghadapi nasib jauh lebih buruk di tangan Kapten daripada di tangan hukum.
Hari berubah malam, Dirga masih belum pulang.
Meski hari telah gelap, Dirga tetap berada di markas. Peta lokasi rumah Asti, keluarga Dimas, dan titik-titik yang mungkin jadi persembunyian Dimas terpampang di layar.
Ia berdiri tepat di depan papan, wajahnya tidak menunjukkan lelah. Salah satu bawahannya menghampiri.
“Kapten, Anda tidak pulang?”
Dirga menggeleng.
“Tugas saya hari ini dan malam ini adalah memastikan Anna dan anak-anak aman. Selama Dimas belum tertangkap, aku tidak akan tidur.”
Ia mengambil ponsel, menelepon penjaga rumah.
“Bagaimana keadaan rumah?”
“Semua aman, Kapten. Ibu Anna dan bayi kembar sudah tidur.”
Dirga menutup mata sejenak, merasakan sedikit lega.
“Terus pantau. Kirim laporan setiap satu jam.”
“Baik, Kapten!”
Dirga menatap layar peta lagi.
“Dimas…” gumamnya pelan.
“Kali ini aku tidak akan membiarkanmu menyentuh apa pun yang menjadi milikku.”
Hujan turun deras malam itu, membasahi jalanan gang sempit di pinggiran kota. Suara mesin mobil hitam tanpa plat pemerintah berhenti tepat di ujung gang.
Empat pria berpakaian hitam turun dengan sigap, semuanya anak buah Dirga.
Salah satu dari mereka berkata lirih di alat komunikasi,
[Target terdeteksi. Kapten, izin eksekusi?]
Suara Dirga terdengar datar namun tajam:
“Tangkap. Jangan beri celah. Saya menuju lokasi.”
Para anggota bergerak cepat menyusuri gang. Di dalam sebuah rumahnya, Dimas mondar-mandir gelisah. Ia mencoba menyalakan rokok, namun jarinya bergetar.
“Asti … Asti!” panggilnya.
Namun tidak ada jawaban. Hanya suara hujan di atap yang terus menggedor. Dimas merasa tidak enak. Dadanya sesak, dia memeriksa jendela. Dan sebelum ia sadar,
Brak!
Pintu depan rumah ditendang hingga terpental menghantam dinding.
“Dimas! Kapten Dimas! Angkat tangan!”
Tiga pria bersenjata masuk bersamaan, menerjangnya. Dimas terlonjak kaget, berusaha kabur ke pintu belakang, namun satu tendangan keras menghantam tubuhnya dari samping.
“Agrh!”
Ia jatuh terguling menghantam meja hingga gelas pecah berhamburan. Belum sempat bangun, dua anggota sudah menindihnya dan mengunci kedua tangannya di belakang.
"Lepaskan! lepaskan aku! Aku nggak salah apa-apa!" Dimas menjerit panik.
Anggota menahannya tanpa ampun.
“Diam!”
Talian zip tie mengikat kedua pergelangan tangannya.
Tepat saat itu, langkah kaki berat terdengar memasuki rumah. Semua anggota otomatis berdiri memberi jalan. Dimas menoleh, wajahnya langsung pucat pasi.
Kapten Dirga berdiri di ambang pintu, seragamnya basah separuh karena hujan. Sorot matanya gelap, penuh amarah terpendam yang menakutkan. Ia mendekat perlahan.
Setiap langkahnya membuat Dimas mundur, meski tangannya terikat.
“Ka—Kapten … aku bisa jelaskan … aku...”
Duagh!
Dirga meninju wajah Dimas sebelum kalimat itu selesai. Dimas terjatuh menghantam lantai, darah langsung keluar dari hidungnya.
Dimas terbatuk-batuk.
“Kapten … Kapten, saya ... saya nggak … maksud saya...”
Dirga menunduk, memegang kerah Dimas dan mengangkatnya sedikit.
“Kau hampir menyentuh Anna.” Suaranya sangat pelan dan berbahaya.
“Dan kau hampir menyentuh anak-anakku.”
Dimas membelalak. “An… anak?”
Ia terkejut, Dirga tidak menjawab. Dia hanya menatapnya dengan tatapan yang cukup untuk membuat Dimas ingin merangkak masuk ke tanah.
“Kalau penjaga rumah tidak datang tepat waktu…”
Dirga menggertakkan gigi.
“Kau sudah mati malam itu.”
Dimas mencoba bersuara, namun Dirga memukulnya sekali lagi, lebih keras, membuat Dimas hampir pingsan. Para anggota menunduk. Mereka tahu Kapten sedang menahan diri agar emosinya tidak melewati batas.
Dirga berdiri tegak.
“Bawa dia.”
Suaranya dingin.
“Hidup-hidup.”
Salah satu anggota bertanya pelan, “Ke markas, Kapten?”
Dirga menggeleng tipis.
“Tidak.”
Tatapannya menusuk seperti pisau.
“Ke ruang interogasi lama.”
Ruangan yang jarang digunakan dikenal sebagai tempat Dirga memproses para pengkhianat internal. Tidak ada yang keluar dari sana dalam keadaan sama.
Dimas menjerit panik.
“Kapten! Kapten, jangan! Tolong! Saya ... saya salah! Saya mohon!”
Namun jeritan itu ditutup oleh suara hujan dan langkah berat mereka meninggalkan rumah. Dirga memberikan satu perintah terakhir melalui komunikasi,
“Setelah aman, saya akan kembali ke rumah.”
Suara salah satu anggota bertanya, “Untuk Bu Anna, Kapten?”
Dirga menatap kosong ke luar rumah yang gelap.
“Ya.”
ayo basmi habis semuanya , biar kapten dirga dan anna bahagia
aamirandah ksh balasan yg setimpal dan berat 🙏💪
kejahatan jangan dibiarkan terlalu lama thor , 🙏🙏🙏
tiap jam berapa ya kak??
cerita nya aku suka banget🥰🥰🙏
berharap update nya jangan lama2 🤭🙏💕