Ketika Li Yun terbangun, ia mendapati dirinya berada di dunia kultivator timur — dunia penuh dewa, iblis, dan kekuatan tak terbayangkan.
Sayangnya, tidak seperti para tokoh transmigrasi lain, ia tidak memiliki sistem, tidak bisa berkultivasi, dan tidak punya akar spiritual.
Di dunia yang memuja kekuatan, ia hanyalah sampah tanpa masa depan.
Namun tanpa ia sadari, setiap langkah kecilnya, setiap goresan kuas, dan setiap masakannya…
menggetarkan langit, menundukkan para dewa, dan mengguncang seluruh alam semesta.
Dia berpikir dirinya lemah—
padahal seluruh dunia bergetar hanya karena napasnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Radapedaxa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5
Udara malam di tepi danau kembali tegang. Embusan angin yang semula tenang kini membawa aroma darah dan niat membunuh. Di hadapan Li Yun, empat pria masih berdiri dengan aura membara, sementara yang kelima perlahan melangkah maju, matanya dingin seperti bilah pedang.
Langkahnya teratur, tiap hentakan kakinya menimbulkan getaran halus di tanah. Ia menghunus pedangnya perlahan, cahaya Qi menari di sepanjang bilahnya yang tipis dan tajam.
Li Yun yang sedari tadi berdiri terpaku di tepi danau langsung keringat dingin. Ia mengangkat kedua tangannya panik, mundur beberapa langkah.
“Hei, tunggu dulu! Mari kita bicarakan baik-baik! Tidak ada gunanya melakukan kekerasan terhadap orang biasa, bukan? Bukankah seorang kultivator sejati itu tidak akan menodai pedangnya dengan darah rakyat jelata?”
Namun pria itu tidak menggubris. Tatapan matanya seperti harimau lapar yang menemukan daging segar.
“Sangat berisik. Mati sana!”
Ia melompat, pedangnya menebas udara dengan kecepatan yang bahkan tak bisa diikuti mata manusia biasa.
Li Yun spontan menutup matanya dan mengangkat apa pun yang ada di tangannya—pancingan bambu lusuh yang tadi digunakannya untuk memancing.
Dalam hatinya hanya satu kalimat berputar seperti doa terakhir:
Sepertinya aku akan mati konyol.
CLANG!
Suara keras bergema, namun bukan suara daging terbelah… melainkan suara logam pecah.
Li Yun masih memejam, tubuhnya gemetar. Tapi yang ia dengar berikutnya bukan teriakan kemenangan—melainkan napas tertahan dari orang-orang di sekeliling.
Ia perlahan membuka mata.
Di depannya, pria bersenjata itu menatap pedangnya sendiri dengan wajah tak percaya. Bilah yang tadinya memancarkan cahaya Qi kini retak dari pangkal hingga ujung—dan dalam satu detik, pecah berkeping-keping jatuh ke tanah.
“Ha…?” Li Yun menatap pecahan itu, lalu menatap pancingan bambunya. Bambu itu utuh. Tak ada goresan. Bahkan tali pancingnya masih bergoyang pelan, seolah mengejek logika dunia.
“Uh… apakah pedangmu rusak karena… pancinganku?”
Pria itu menatapnya marah. “Apa maksudmu, sialan!? Apa yang kau lakukan pada pedangku!?”
Li Yun melotot polos. “Aku tidak melakukan apa pun. Aku yang dipukul, kenapa kau yang marah? Logikanya terbalik, bukan?”
Urat di pelipis pria itu menegang. “Pedangku sudah dikuatkan dengan Qi selama bertahun-tahun. Tidak mudah retak meski beradu ribuan kali! Tapi saat menghantam pancinganmu, hancur seketika! Itu tidak masuk akal!”
Li Yun menunduk, mengambil sepotong pecahan pedang dan menatapnya lama. “Mungkin pedangmu sudah sekarat. Kau bilang sudah beradu ribuan kali, kan? Jangan salahkan aku. Tidak mungkin pancingan bambu lusuh menghancurkan pedang. Tapi… tenang saja, aku akan ganti rugi.”
Ia menatap pria itu dengan tulus. “Anggap saja kesalahanku, ya?”
Beberapa detik hening. Lalu—
“KAU MEMPERMAINKAN AKU!?” raung pria itu marah dan melesat maju seperti kilat.
Li Yun menjerit kaget. “Tunggu dulu, jangan emosian!”
Pukulan berselimut Qi menghantam udara ke arah wajahnya, namun anehnya, Li Yun tiba-tiba bisa melihat jalur serangan itu sejelas garis cahaya di udara. Tubuhnya bergerak refleks, bergeser ke samping tepat waktu.
Tinju itu meleset, menyapu angin kosong.
“Hah!?” pria itu melotot.
Li Yun terengah. Ia juga tak percaya dirinya barusan menghindar. “A-aku… apa aku baru saja… mengelak?”
“Tidak mungkin!” pria itu meraung, lalu menyerang lagi, bertubi-tubi.
Namun entah bagaimana, Li Yun selalu bergerak selangkah lebih cepat, tubuhnya seolah tahu ke mana serangan berikutnya datang.
“Hei, tolong hentikan! Kita bisa bicarakan ini baik-baik!” teriaknya panik sambil terus menunduk dan melompat ke sana kemari.
Pria itu semakin marah. “DIAM! Bagaimana kau bisa terus menghindar!? Apakah kau benar-benar orang biasa!?”
“Pukulanmu saja yang lambat dan mudah ditebak!” seru Li Yun tanpa sadar.
Pria itu nyaris meledak saking marahnya.
Dari kejauhan, Nie Feng mengamati dengan wajah gelap. “Apa yang kau lakukan!? Jangan buang waktu! Bunuh dia, dasar tidak berguna!”
Pria itu mendengus keras, lalu menarik napas dalam. Qi di tubuhnya melonjak tajam. “Cukup main-main. Kali ini kau pasti mati!”
Dia berlutut rendah, mengalirkan teknik bela diri khas keluarga Nie—Pukulan Bintang Hitam Menyambar Bulan.
Li Yun memegang pancingan bambunya erat, tubuhnya tegang. Napasnya memburu. Ia bisa merasakan tekanan udara mulai menekan dadanya.
Oke Li Yun, pikir. Kalau kau mati di sini, siapa yang akan ngurus taman dan ikan koi? Fokus!
Ia menarik napas dalam, lalu menatap pria itu lurus-lurus. “Mungkin mereka memang berada di ranah dasar. Serangannya kasar dan tidak stabil… bahkan petinju amatir di duniaku lebih rapi dari itu. Kalau begini, mungkin aku bisa melawannya.”
Ia menegakkan tubuh, mengatur posisi seperti yang ia pelajari dari video latihan kungfu di masa lalu.
“Kuharap semua jam menonton video tutorial itu nggak sia-sia.”
Pria itu mengaum dan melompat dengan dorongan Qi yang membuat tanah retak. Anginnya saja cukup untuk membuat Li Yun kehilangan keseimbangan. Ia terpeleset ke belakang.
“WAAH—!”
Tinju pria itu meleset lagi, menghantam udara kosong. Dan dalam refleks panik, Li Yun mengayunkan pancingannya sembarangan.
PLAK!
Suara itu tidak terlalu keras. Tapi seketika, tubuh pria itu berhenti di tempat. Matanya membelalak. Wajahnya membeku… lalu darah menetes perlahan dari hidungnya.
BRUK!
Ia jatuh, tubuhnya tak bergerak.
Li Yun terpental ke tanah, duduk dengan pantatnya menghantam keras. “Aduh pantatku…”
Ia meringis, lalu menatap pria itu. “Hei, tuan? Kau tidak apa-apa? Maaf ya, aku tidak sengaja memukul wajahmu pakai pancingan…”
Diam. Tak ada jawaban.
“Eh? Halo? Tuan?”
Ia mengguncang bahu pria itu pelan, lalu menatap wajahnya lebih dekat. Tak ada reaksi, tak ada napas.
Empat pria lainnya tertegun. Nie Feng yang tadinya murka kini tampak kehilangan warna di wajahnya.
“Ba… Bai Ling… mati?” salah satu dari mereka bergumam, nyaris berbisik.
Nie Feng menatap tubuh bawahannya dengan tatapan tak percaya. “Tidak mungkin… dia mati hanya dengan satu sentuhan pancingan… jiwanya lenyap begitu saja meski tubuhnya masih utuh… Itu… Itu mustahil!”
Salah satu pria yang lebih muda menelan ludah. “Bos… pancingan itu… bukan benda biasa… Aku pernah dengar legenda tentang Harta Langit dan Bumi—artefak yang mampu menolak hukum Dao. Itu… itu sepertinya salah satunya!”
Semua menatap pancingan di tangan Li Yun. Benda sederhana dari bambu, dengan tali kusut dan pelampung yang setengah patah. Tapi aura samar di sekelilingnya terasa… menelan segalanya.
Sementara itu, Li Yun masih berjongkok di samping tubuh tak bernyawa itu. “Apa dia… pingsan? Hmm, segini doang kekuatan kultivator? Sudah kuduga dia berada di ranah paling dasar. Pukulan ringan pancingan saja langsung tumbang.”
"Tunggu dulu..kalau begitu.."
Ia berdiri sambil mengelus dagunya, berpikir. Lalu sebuah ide muncul di kepalanya—ide yang salah tempat tapi sangat Li Yun banget.
Ia tersenyum. Senyum lebar, santai… tapi entah kenapa membuat keempat pria di depannya merinding.
“Ohh… jadi dari tadi aku cuma membodohi diri sendiri ya.”
Nada suaranya rendah tapi jernih. “Kalau tahu dari awal mereka semua cuma sampah, aku tak akan repot takut setengah mati.”
Ia menggenggam pancingan bambunya erat, dan cahaya lembut samar kembali muncul di sekitarnya.
Nie Feng mundur setengah langkah tanpa sadar. Keringat menetes dari pelipisnya.
“Itu… senjata apa sebenarnya…?” gumamnya serak.
Li Yun menatap mereka, senyumnya masih sama—hangat tapi berbahaya. “Yah, kalau begitu… kita lanjutkan saja, ‘kan?”
Danau bergetar pelan. Angin malam kembali berdesir, tapi kini terasa berat, seolah seluruh dunia menahan napas.
Empat kultivator itu seketika melihat siluet iblis tersenyum lebar di depan mereka.