"Kehilangan terbesar adalah kehilangan yang terjadi lagi setelah kehilangan yang sebelumnya. Karena itu menandakan kita selalu kehilangan lagi, lagi dan lagi."
Season : I ....
જ⁀➴୨ৎ જ⁀➴
“Kamu udah nyerah satu tahun yang lalu!” gertak Ernest.
“Itu dulu, sekarang beda!” Kakiku pun mengetuk lantai, dan kami berdiri saling berhadapan.
“Terserah! Aku enggak mau harga diriku kamu injak-injak!”
“Kamu masih sayang sama aku kan, Ernest?”
Dia enggak berkedip sedikitpun. “Tandatangani aja suratnya, Lavinia!!!”
“Gimana kalau kita buat kesepakatan?”
“Enggak ada kesepakatan. Tandatangani!!”
“Mama kasih aku dua bulan di sini. Aku janji, dua bulan lagi ... apa pun yang terjadi ... mau ingatan aku pulih atau enggak ... kalau kamu masih pingin cerai, aku bakal tandatangani! Tapi please ba—”
“Udah, lah!! Aku jemput kamu jam sembilan, Sabtu pagi!” dengusnya sambil membanting pintu.
Aku ambil surat cerai itu, lalu membuangnya ke tempat sampah.
Aku enggak akan tanda tangan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DityaR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
I. Kita Semua Butuh Closure Ending
...୨ৎ E R N E S Tજ⁀➴...
Jumat pagi, aku memutuskan untuk mengajak Lavinia jalan-jalan naik ATV. Jadi, aku keluarkan trailer sama ATV-nya dari garasi.
Sejak Senin kemarin saat kita mampir ke rumah orang tuaku, dia seperti sedang melamun. Padahal dia itu semangat banget waktu berhasil mengingat hari pernikahan kita. Tapi entah kenapa ... ada saja yang berbeda dari caranya bersikap waktu itu.
Saat aku balik masuk ke rumah, Lavinia sudah siap, duduk di meja, memainkan HP-nya sambil diputar-putar.
“Eh, ngapain kamu?” tanyaku.
Dia angkat kepala, terus bangkit sambil mengambil HP-nya. “Enggak ngapa-ngapain, nungguin kamu aja.”
“Kamu kayak lagi mikirin sesuatu.”
“Mama aku,” jawabnya.
Sudah, itu saja jawaban yang aku butuhkan.
Mamanya Lavinia itu suka berkirim chat atau menelepon setiap hari. Kadang Lavinia angkat, kadang kalau aku ada di ruang tamu, dia malah pura-pura enggak dengar. Aku kesal, sih. Kayak dia itu ingin menutupi kenyataan kalau kita sedang tinggal serumah lagi.
Walaupun ya ... sumpah deh, enggak akan pernah terjadi apa-apa.
Buktinya?
Meski tiap malam aku cuma bisa melamun sambil membayangkannya dan menuntaskan hasratku sendirian, tapi tanganku sekalipun enggak pernah menyentuh dia.
Saat kita di rumah Mama sama Papa, aku sempat terpikir, sih waktu lagi di dapur. Tapi aku tahu, kalau aku cium dia, dia pasti berharap lebih, dan aku ... aku enggak yakin bisa janjikan apa yang dia mau.
“Apa kata Mamamu?” tanyaku.
“Dia nanyain soal jurnal terakhir aku yang hilang. Aku pingin banget nemuin itu.”
“Dia enggak tahu di mana?”
“Katanya, sih enggak tahu, tapi kalau aku aja nyimpan semua jurnal aku, masa iya yang satu itu aku enggak simpan?”
“Benar juga, sih.” Aku ambil air mineral, buka botolnya, terus langsung teguk seperempatnya.
“Eh, Ernest,” pekiknya.
“Ya?”
Aku sedang menyiapkan tupperware untuk bekal makan siang kami. Aku siapkan sandwich sama camilan buat nanti saat kita istirahat.
“Boleh enggak kita ngelakuin hal lain hari ini?”
Aku berhenti sebentar, menaruh minuman di kulkas. “Hal lain? Maksudnya?”
Dia mengangguk pelan. “Maksud aku, boleh enggak kita satu hariiiii aja, kita enggak bahas soal ingatanku, atau ungkit kejadian-kejadian masa lalu, atau siapa aku yang dulu sama sekarang?”
Kelihatan banget dia capek, lelah membawa beban pikiran belakangan ini. Harusnya aku peka dari kemarin-kemarin. Badanya tampak letih, stres.
Aku taruh bekal itu, jalan mendekat, terus taruh tanganku di pundaknya. Walaupun otakku bilang jangan, tapi aku tetap tarik dia ke pelukanku. Pelukan yang masih sama seperti dulu.
Kepalanya ada di bawah daguku, tangannya melingkar di pinggang, merangkul erat.
“Okay. Aku setuju sama ide itu,” bisikku, tanganku mengusap-usap punggungnya pelan. Aku belum siap melepaskan dia sekarang.
“Ya Tuhan, aku butuh banget ini.” Dia sandarkan pipinya ke dadaku. “Ini emang yang paling nyaman.”
Aku peluk dia lebih lama, tapi dia benar, ini rasanya nyaman banget. Saat kita berpisah, aku cuma ingin mengajak dia rebahan seharian di sofa sambil berpelukan.
“Kita berangkat sekarang, biar enggak kemaleman pulangnya,” kataku sambil menata bekal-bekal kami.
“Oh … Kita mau ke mana?”
“Hemm, ke ...” gumamku, berpikir sejenak. “... ah, lihat aja nanti. Surprise.”
Dia pun tersenyum, mengerti kalau aku nyaris keceplosan, terus dia ambil jaketnya. “Enggak sabar aku buat ngerasain getaran mesin di antara pahaku.”
Alis aku langsung naik.
“Ya ampun, kamu ngerti lah maksudku.”
“Dari dulu kamu emang suka banget ada mesin di antara paha kamu!” Aku memperhatikan dia dari atas sampai bawah sambil menyeringai. Dia geleng-geleng kepala, pipinya merah, terus buru-buru masuk kamar.
Sial.
Ada sesuatu yang berubah di antara kita, dan aku yakin pertahananku bakal jebol sebentar lagi.
Dia balik lagi, lalu kita pergi.
Di jalan, dia menyalakan HP-nya, memutar lagu Indie. Aku melirik dia.
Dia bilang, “Kenapa? Ini lagu favorit aku sekarang.”
Aku tertawa. “Kamu enggak pingin tahu, biasanya dulu kamui dengarin apa.”
“Apa emangnya?” Dia menoleh sebisanya karena sabuk pengaman.
“Blues.” Aku enggak mau menjelaskan panjang lebar, soalnya kita sudah janji enggak bicara soal masa lalu atau amnesia dia. “Dan sekarang aku juga suka!”
“Serius? Aku kira kamu tuh anak senja gitu. Dulu kamu selalu nemuin band-band aneh yang enggak pernah aku dengar sebelumnya.”
“Ya, namanya orang bisa berubah, lah.” Aku memperhatikan dia sebentar, dan dia tarik napas panjang sambil bersandar santai di jok.
“Gimana kalau pas berangkat lagu Indie, pas pulang Blues?” tawarnya.
“Deal.”
Dia tersenyum lagi, dan rasa familiar itu pun kembali lagi. Rasa bahagia yang aku dapat kalau dekat dengan Lavinia.
Kita berhenti untuk makan siang di pinggiran danau kecil. Airnya bening dikelilingi pepohonan, tapi aku tahu pasti masih dingin banget kalau dicemplungi sama badan kita sekarang.
Lavinia menggelar tikar piknik, aku taruh perbekalan di tengah-tengah agar ada jarak sedikit di antara kita. Soalnya saat kita naik ATV tadi, dia memelukku dari belakang, menempelkan dadanya terus sepanjang jalan.
Bedanya, Lavinia yang sekarang malah senang banget mengajakku melewati jalur yang berlumpur. Padahal dulu, boro-boro. Tapi ya sudahlah, aku diam saja. Banyak banget hal yang berubah dari dia sekarang. Bukan berarti dia jadi jelek atau lebih baik, cuma ... beda saja.
“Seru enggak?” tanyaku sambil rebahan, miring, ambil keripik dari kantong snack.
“Seru, sih. Eh, Aku boleh nyetir, enggak … nanti pas perjalanan balik?”
Aku ingin banget tarik dia ke pelukanku, pegang tengkuknya, terus cium dia sampai lupa dunia kita. Tapi yang keluar dari mulutku malah, “Ya, boleh, lah.”
Dia senyum sedikit terus mengambil sandwich yang aku buatkan.
“Terus, kamu lagi sibuk apa, nih sekarang?”
Bagaimana, sih caranya menjelaskan ke dia kalau hidupku itu cuma capek buat memikirkan dia?
Keluargaku saja sampai khawatir melihat aku begini.
“Kerja doang, serius.”
“Hemm … Enggak ada gosip apa, gitu?”
Aku duduk, ambil sandwich dari tas.
“Silas sama Rosemary tuh sempat jadi trending topic di Palomino, tapi cuma bentar, sih.”
“Ceritain, deh!” Dia duduk menyilangkan kaki.
“Dia cocok banget buat Silas. Kamu tahu sendiri, kan, dulunya Silas kayak gimana?”
Dia mengangguk pelan. “Aku ingat, dulu kalian berdua tuh beda banget waktu Mama kamu meninggal.”
“Ya, gitu deh.”
“Kamu tuh dari dulu pingin banget punya keluarga besar. Punya anak banyak, hehehe.”
Aku pun kaget juga karena dia mengingatnya.
“Kamu masih ingat soal itu?”
Dia tersenyum. “Iya, dari pertama kali kamu cium aku, kamu tuh kayak lagi cari calon istri, tahu enggak?”
“Ya, lihat aja sekarang kayak gimana?” Aku menggulung bungkus sandwich, berdiri lalu menjauhinya, tapi dia malah mengikutiku sampai pinggir danau.
Kita diam lama. Baru akhirnya dia bicara lagi, pelan banget. “Menurutmu, suatu saat kamu bisa maafin aku, enggak?”
“Aku pikir kita udah sepakat enggak bahas ini hari ini?” Aku balik lagi ke tikar. “Kita pulang aja, yuk!”
“Please, jawab, dong!” Dia masih berdiri di situ.
“Kan, tadi kamu bilang pingin satu hari aja buat santai … ya, udah bahas ini besok aja.” Aku mulai membereskan barang-barang.
“Biar kamu punya waktu mikirin cara buat ngecewain aku lagi?”
Aku berhenti, memperhatikan dia.
“Kamu benaran mau tahu?”
Dia mengangguk.
Aku tarik napas panjang, kepalaku pun jatuh ke belakang, mencari langit. “Aku enggak bisa benci kamu karena kamu aja enggak ingat kenapa kamu ninggalin aku ,Lavinia! Itu yang kerap kali aku omongin ke diri aku sendiri tiap kali ketemu kamu. Dan … pelan-pelan marahku hilang.” Dia cuma tersenyum, tipis banget. “Tapi itu juga yang bikin aku takut setengah mati. Takut suatu hari kamu ingat alasan kamu ninggalin aku, terus pergi lagi. Dan aku bakal ditinggalin … hancur, menerima semua ini … sendirian, lagi.”
Dia menatap ke bawah, ke batu-batu di bawah kakinya. “Aku cuma pingin di antara kita tuh ada ‘Closure’, tahu enggak sih, Ernest?”
Aku duduk lagi. “Aku juga, Lavinia. Bahkan sampai detik ini pun, aku belum tahu alasannya kenapa kamu ninggalin rumah kita, hubungan ini ... dan mungkin bisa jadi kamu enggak akan pernah ingat kenapa kamu pergi. Closure dari mana kalau kayak gini?”
Dia jalan pelan ke arahku dengan berhati-hati, terus duduk di sampingku di atas tikar. “Kita ini lagi bohongin diri sendiri enggak, sih?”
Aku peluk lutut aku. “Maksudnya?”
“Setelah kecelakaan itu, aku sadar satu hal. Nunda-nunda, pura-pura enggak ada masalah tuh cuma buang-buang waktu.”
“Ya udah bilang aja! Kita bohongin diri sendiri soal apa?”
“Soal keinginan kita bisa kembali seperti dulu lagi. Aku tahu, aku cuma ingat hal-hal indah tentang kita. Tapi aku enggak bisa bohong, aku pingin kita balik kayak dulu. Aku pingin kita jalanin ini lagi. Sebagai pasangan.” Dia taruh tangan di lenganku, matanya berkaca-kaca. “Tapi kalau menurut kamu kita udah enggak bisa, mungkin kita memang harus pisah.”
Dadaku rasanya seperti diremas waktu dia bicara begitu.
“Aku janji bakal bantuin kamu.”
“Tapi itu bakal nyakitin kamu, kan? Kamu pikir aku enggak tahu gimana tersiksanya kamu? Kamu bersikap dingin gara-gara ingat apa yang udah aku lakuin.”
“Bukan karena apa yang kamu lakuin!” Aku langsung berdiri, enggak bisa duduk kalau dia mulai bicara seperti itu.
“Terus karena apa?” Dia berdiri juga, tapi enggak mengikutiku.
Aku balik badan, menatapnya.
“Kamu tuh hancurin aku! Kamu ninggalin aku gitu aja! Mau tahu apa yang aku lakuin waktu kamu menghilang? Aku mengurung diri, depresi, kecuali pas kerja. Aku udah kayak zombie tahu, enggak? Cuma sisa kulit sama tulang. Aku selalu mikirin, apa salah aku ... kenapa kamu bisa ninggalin aku kayak gitu. Aku hampir mati jatuh dari tebing waktu kerja gara-gara otakku enggak fokus dan aku enggak bisa tidur. Itu titik terendah aku, Lavinia!!! Aku sadar aku harus ngelakuin sesuatu biar bisa move on. Dan waktu aku mulai sedikit lega, ha ha ha ... Sialnya kamu muncul lagi di Palomino, dan kamu enggak ingat sama sekali kalau kamu udah hancurin aku.”
“Aku minta maaf.” Suaranya berat, dan aku tahu dia menahannya agar enggak menangis.
Aku kepal tanganku kuat-kuat. “Stop minta maaf!”
“Tapi aku emang minta maaf!” Dia balik teriak. “Aku juga pingin ngerti, biar kita bisa lewatin ini sama-sama. Aku pingin nyalahin diri aku yang dulu, teriak ke diri aku ‘kenapa kamu tega banget ngelakuin itu ke cowok yang kamu cintai?’, aku juga marah sama diri aku sendiri, Ernest! Kamu pikir gampang ya, jalanin hidup kayak gini? Tahu kalau semua ini salahku? Tahu kalau kita udah enggak bisa bersama lagi, dan itu semua ... gara-gara aku!”
Kita saling tatap, dan terdiam.
“Aku enggak tahu kita ini jadi apa sekarang, Lavinia.” Aku garuk-garuk kepala.
“Mungkin kita harus pisah. Aku bakal balik ke Jogja, kamu bisa tinggal di rumah dia, pacar baru kamu ... Dan aku bakal tanda tanganin surat cerai yang kamu mau itu!!!”
Hatiku memanas saat dia bicara soal cerai.
“Apa?” tanyaku, melangkah maju.
Aku merasa seperti lagi berjalan di atas tali setinggi 30 meter, satu ujungnya ada singa, ujung satunya lagi ada buaya. Mau melangkah kemana pun juga akan sama-sama digigit. Jadi aku harus memilih, mau mati dicabik-cabik sama singa atau ditelan hidup-hidup sama buaya?
Karena menaruh hati ke Naomi itu rasanya sakit, tapi melihat Lavinia pergi lagi juga sakit banget.
Dia taruh tangan di dadaku, dekat banget sampai aku bisa mencium wangi shamponya.
“Aku takut kalau aku tuh bukan cewek yang kamu cintai. Aku tahu aku berubah. Aku lihat di ekspresi orang-orang itu kalau aku enggak sesuai ekspektasi mereka. Mungkin aku udah bukan Lavinia yang kamu sayangi dulu.”
“Dan gimana kalau suatu hari nanti ingatan kamu pulih, terus kamu sadar aku bukan cowok yang kamu harapkan? Karena pernikahan kita terlalu cepat, kamu pernah bilang, kan, kamu pingin ngejar cita-cita kamu buat dapat gelar Prof?”
“Atau gimana kalau jusrtru nanti kamu enggak tahan sama kebiasaan baru aku yang nyebelin, atau enggak bisa terima kalau aku mungkin enggak bakal ingat semuanya?”
Aku pegang tangannya. “Mungkin itu masalahnya.”
“Ernest, aku siap kalau kamu siap. Aku bakal hadapi semua itu karena kamu tuh penting banget buat aku. Tapi kalau kamu emang enggak sanggup, oke ... aku ngerti. Aku bakal tanda tanganin surat itu. Aku capek menerka-nerka kayak gini. Aku cuma ingin tahu.”
Dia berjinjit, mencium pipiku. Terus balik badan. Aku langsung pegang pergelangan tangannya sebelum tangannya terlepas dari dadaku.
Dia berhenti, tapi enggak menoleh. “Please, Ernest ... jangan bohong. Aku mau kamu jujur.” Suaranya bergetar, menahan tangis.
Aku tarik dia ke pelukanku, tanganku menahan pipinya, aku hapus air matanya. “Oke. Aku mau berjuang untuk hubungan kita.”
“Apa maksud kamu?” Matanya berat, penuh dengan kerinduan.
“Aku siap. Karena kamu selalu jadi milikku, Lavinia Sastrowardoyo. Aku udah berjuang buat kamu seumur hidupku, dan aku enggak bakal nyerah kali ini!”
Dia tutup tanganku dengan tangannya, erat. Dan akhirnya .. aku lakukan apa yang sudah aku ingin lakukan dari sejak awal dia kembali.
Aku cium dia.
^^^────୨ৎ────જ⁀➴^^^
..."Cinta bukanlah sesuatu yang bisa dirampas dari genggamanmu. Ia juga bukan hadiah yang jatuh begitu saja ke pangkuanmu. Melainkan peristiwa yang lahir dari pertemuan dua hati yang saling jujur dan terbuka. Karena tak seorang pun berkewajiban mencintaimu, sebagaimana cinta tak pernah menjadi hak yang bisa kau tuntut dalam hidup ini."...
────୨ৎ────જ⁀➴
lanjut kak