Dibuang oleh ibu, dipertemukan oleh takdir, dan diakhiri oleh waktu.
Hidup Angkasa mungkin singkat,
tapi cintanya… abadi dalam setiap detak jantung yang ia tinggalkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Realrf, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Memberanikan diri.
“Soal buku yang lo sebutin minggu lalu itu… ternyata beneran bagus banget! Gue…baru selesai baca semalam dan nggak bisa tidur! Gila, rekomendasi lo emang nggak pernah salah.”
Dengan lancar Mia melontarkan basa-basi agar bisa kembali ke kafe. Dia tahu Angkasa tidak suka dicampuri urusannya, maka dia melakukan cara lain untuk tetap bisa dekat dengan laki-laki itu.
Angkasa membeku sesaat, otaknya yang sudah bersiap menghadapi badai kini hanya menemukan gerimis yang menyejukkan. Kepanikan yang sempat mencengkeram dadanya menguap begitu saja, meninggalkan residu kebingungan yang aneh. Buku. Semua ini hanya karena sebuah buku.
“Oh,” hanya itu respons yang berhasil ia rangkai.
Mia, tampaknya sama sekali tidak menyadari gejolak internal yang baru saja dialami Angkasa, melangkah lebih dekat ke konter, matanya masih berbinar antusias.
“Karakter utamanya itu, lho! Persis kayak yang lo bilang. Kelihatan dingin, tapi sebenarnya cuma takut disakiti. Gue sampai nangis di bagian akhir. Sumpah, lo harusnya jadi kritikus buku, bukan cuma barista.”
“Pekerjaan gue bikin kopi,” sahut Angkasa datar, lega karena bisa kembali bersembunyi di balik peran familiernya. Ia meraih lap dan mulai membersihkan permukaan konter yang sebenarnya sudah bersih.
“Iya, iya, Mas Kopi Pahit,” Mia terkekeh, tidak terpengaruh oleh nada dingin Angkasa. Ia mencondongkan tubuhnya sedikit.
“Tapi serius, muka lo kok kayak cucian belum kering gitu? Pucat banget. Lo beneran nggak apa-apa?”
Kekhawatiran dalam suara Mia kini terasa berbeda. Bukan lagi kepanikan akut, melainkan kepedulian tulus yang entah kenapa terasa lebih berat untuk ditolak.
“Gue cuma kurang tidur,” jawab Angkasa, sebuah kebohongan yang separuh benar.
“Kalau gitu, gue pesen Americano panas aja, deh. Biar lo nggak repot bikin "Racun" lagi,” katanya sambil tersenyum.
“Dan lo, habis ini pulang, terus tidur. Janji?”
Angkasa hanya mengangguk, tangannya bergerak membuat pesanan Mia dengan efisiensi mekanis. Saat ia menyerahkan cangkir panas itu, jari mereka bersentuhan sesaat. Sebuah sengatan kehangatan yang singkat, namun cukup untuk mengingatkannya pada sesuatu yang nyata di tengah kabut ketakutannya.
“Makasih, Angkasa,” ujar Mia pelan, menggunakan namanya tanpa embel-embel julukan.
“Jaga diri, ya.”
Gadis itu pergi, dengan senyum merekah, setidaknya ia memastikan Angkasa baik-baik saja. Dia berjalan keluar meninggalkan Angkasa sendirian di tengah kafe yang mulai temaram. Aroma kopi bercampur dengan keheningan yang memekakkan. Ia menatap punggung tangannya, tempat darah itu tadi menetes, lalu mengepalkannya erat-erat.
.
.
.
.
.
.
.
.
Tiga hari berikutnya adalah neraka sunyi yang Angkasa ciptakan untuk dirinya sendiri. Kelelahan itu tidak lagi seperti jubah, melainkan telah berubah menjadi pasir hisap yang perlahan menelannya. Setiap pagi, ia bangun dengan kepala yang terasa seperti dibebat kain basah yang berat. Napasnya lebih sering tersengal setelah menaiki tangga ke apartemennya. Yang paling menakutkan adalah munculnya lebam-lebam biru keunguan di lengannya, muncul tanpa sebab, seperti cap dari dunia lain yang menandai dirinya.
Setiap kali melihat memar itu di cermin, bayangan ayahnya muncul. Wajah pucat itu, senyum lelah itu, dan kalimat yang selalu diulang-ulang, “Cuma kecapekan, Jagoan.”
Angkasa tahu ia tidak bisa terus berlari. Kutukan ini, jika memang benar adanya, tidak akan berhenti mengejar hanya karena ia menutup mata. Pada hari keempat, saat ia hampir menjatuhkan setumpuk cangkir di kafe karena tangannya tiba-tiba gemetar hebat dan pandangannya mengabur, ia akhirnya menyerah.
Dengan jemari yang terasa kaku, ia menekan nomor telepon sebuah klinik kecil yang tak jauh dari tempat tinggalnya. Suara operator di seberang sana terdengar ceria, sebuah kontras yang menyakitkan dengan detak jantungnya yang berdebar panik.
“Selamat siang, Klinik Sehat Sentosa, ada yang bisa dibantu?”
“Saya… saya mau buat janji dengan dokter umum,” suara Angkasa terdengar asing di telinganya sendiri, serak dan ragu.
“Untuk sore ini. Bisa?”
🛵🛵. . . . .
Ruang tunggu klinik berbau antiseptik dan kecemasan yang tertahan. Angkasa duduk di kursi vinil yang dingin, memeluk lengannya sendiri, merasa telanjang di bawah cahaya lampu neon yang terlalu terang. Ia mengamati pasien lain—seorang ibu dengan anak yang demam, seorang pria tua yang batuk-batuk—dan merasa seperti penyusup. Penyakit mereka terlihat. Mereka punya alasan yang jelas untuk berada di sini. Sementara dirinya? Ia merasa seperti membawa bom waktu tak kasatmata di dalam tubuhnya.
“Atas nama Angkasa Dirgantara?”
Suara perawat menyentaknya. Angkasa bangkit dengan kaki yang terasa seperti jeli dan berjalan memasuki ruang periksa.
Dokter Aris, seorang pria paruh baya dengan kacamata berbingkai tebal dan senyum yang menenangkan, menyambutnya.
“Silakan duduk, Mas Angkasa. Ada keluhan apa?”
“Saya… beberapa minggu ini sering lemas, Dok,” Angkasa memulai, suaranya pelan.
“Gampang capek, sering pusing. Kemarin sempat mimisan juga.”
Dokter bernama Aris mengangguk-angguk sambil mencatat.
“Ada keluhan lain? Mungkin memar tanpa sebab yang jelas?”
Pertanyaan itu seperti anak panah yang menancap tepat di sasaran. Angkasa menelan ludah.
“I-iya, Dok. Ada beberapa.”
“Boleh saya lihat?”
Dengan enggan, Angkasa menyingsingkan lengan kemejanya, memperlihatkan dua bercak keunguan di lengan bawahnya. Dokter Aris mengamatinya dengan saksama, wajahnya tetap tenang, tetapi matanya menyiratkan konsentrasi yang dalam. Setelah pemeriksaan singkat, mengecek tekanan darah, mendengarkan detak jantungnya, Dokter Aris duduk kembali di kursinya.
“Mas Angkasa, untuk memastikan, saya sarankan kita lakukan tes darah sederhana dulu, ya. Hasilnya bisa kita tunggu sekitar dua puluh menit. Supaya kita tidak menduga-duga.”
Dua puluh menit itu terasa seperti dua puluh tahun. Angkasa kembali ke ruang tunggu, lengannya yang baru disuntik terasa nyeri. Ia mencoba membaca majalah usang, tetapi huruf-hurufnya menari-nari di depan matanya, membentuk kata-kata yang menakutkan, penyakit, warisan, kematian.
Ketika namanya dipanggil lagi, jantungnya seolah berhenti berdetak.
Kali ini, senyum Dokter Aris sedikit memudar. Ia menatap hasil cetakan dari laboratorium di tangannya, lalu menatap Angkasa dengan sorot yang serius.
“Mas Angkasa,” ujarnya dengan nada hati-hati.
“Hasil lab cepatnya sudah keluar. Terus terang, angkanya… cukup mengkhawatirkan.”
Dunia Angkasa menyempit menjadi hanya suara dokter itu.
“Jumlah trombosit, sel darah merah, dan sel darah putih Anda sangat rendah. Jauh di bawah normal,” lanjut sang dokter, menunjuk deretan angka di kertas.
“Ini menjelaskan semua gejala yang Mas rasakan. Kelelahan, pusing, mimisan, dan mudah memar itu semua akibat dari kurangnya sel-sel darah ini.”
Angkasa hanya bisa diam, merasakan dingin yang merayap dari ujung jari kakinya.
“Ini bukan sekadar anemia biasa atau kecapekan,” kata Dokter Aris tegas namun lembut.
“Ada sesuatu yang menyebabkan sumsum tulang belakang Mas, pabrik darah di tubuh kita,seolah berhenti berproduksi. Untuk tahu penyebab pastinya, kita perlu melakukan serangkaian tes yang lebih komprehensif di rumah sakit.”
Rumah sakit. Kata itu bergema di kepala Angkasa, membangkitkan hantu-hantu dari masa lalunya.
“Saya akan buatkan surat rujukan ke spesialis hematologi, dan mengirimkan sampel darah mas langsung ke sana. Jadi kita akan tahu hasilnya lebih cepat,” kata Dokter Aris sambil menulis di secarik kertas.
“Jangan ditunda, Mas. Semakin cepat kita tahu apa yang kita hadapi, semakin baik.”
Angkasa menerima surat rujukan itu dengan tangan gemetar. Kertas itu terasa tipis, tetapi bobotnya seperti batu nisan. Ia mengucapkan terima kasih dengan suara lirih, lalu berjalan keluar dari klinik seperti robot.
Lampu-lampu jalanan sudah menyala saat ia melangkah ke trotoar. Senja di Jakarta membentangkan warna jingga dan ungu yang indah di langit, tetapi Angkasa tidak melihatnya. Pandangannya kosong, pikirannya adalah badai sunyi yang mengamuk. Ia berjalan tanpa tujuan yang jelas, hanya menuruti insting untuk pulang, untuk kembali ke ruang sempit yang ia sebut rumah.
Langkah kakinya membawanya ke sebuah persimpangan jalan yang ramai. Ia tidak memperhatikan lampu lalu lintas, tidak mendengar klakson mobil, tidak merasakan desakan orang-orang di sekitarnya. Ia hanya berjalan, tenggelam dalam lautan ketakutannya sendiri.
Di sebuah tikungan, saat ia melangkah dari trotoar, tubuhnya menabrak sesuatu atau seseorang dengan keras.
BRAK!
Terdengar pekikan kaget. Tas tangan jatuh berdebam, isinya tumpah ruah ke aspal yang kotor—sebuah lipstik, dompet, dan beberapa lembar kertas.
“Aduh!”
Kesadaran Angkasa tersentak kembali. Ia mengerjap, fokusnya kembali ke dunia nyata. Di hadapannya, seorang wanita terduduk di trotoar, menatapnya dengan campuran antara kaget dan kesal.
“Maaf, Mbak, saya… saya nggak lihat…” gumam Angkasa, refleks membungkuk untuk membantu memunguti barang-barang yang berserakan.
“Lain kali kalau jalan lihat-lihat, Mas!” sahut wanita itu dengan nada tajam.
Saat Angkasa meraih dompet kulit berwarna cokelat tua itu, ia mendongak untuk menyerahkannya. Matanya bertemu dengan mata wanita itu.
Seketika, waktu berhenti.
Wajah itu. Sedikit lebih tua, dengan garis-garis halus di sudut matanya yang tidak ia kenali, tetapi bentuknya, sorotnya… adalah wajah yang terpahat dalam setiap mimpi buruk dan kerinduannya selama delapan belas tahun. Mata yang sama yang menatapnya dengan penuh air mata di depan gerbang panti asuhan. Bibir yang sama yang membisikkan janji palsu tentang liburan yang tak pernah datang.
Udara seolah tersedot dari paru-parunya. Seluruh kebisingan Jakarta lenyap, digantikan oleh satu nama yang menjerit tanpa suara di dalam kepalanya.
Laras.