NovelToon NovelToon
Istri Terbuang

Istri Terbuang

Status: sedang berlangsung
Genre:Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Janda / Crazy Rich/Konglomerat / Cinta pada Pandangan Pertama / Mengubah Takdir
Popularitas:4.6k
Nilai: 5
Nama Author: ummushaffiyah

Sepenggal kisah nyata yang dibumbui agar semakin menarik.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ummushaffiyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 8 — Malam yang Menyalakan Harapan

Malam itu, rumah terasa lebih tenang dari biasanya. Tidak ada suara barang berjatuhan, tidak ada teriakan, tidak ada ketegangan. Zahwa duduk di sisi ranjang sambil mengoleskan lotion ke lengannya yang mulai memar karena lelah bekerja beberapa minggu terakhir. Di kamar itu hanya lampu tidur kecil yang menyala, memberikan cahaya temaram yang lembut.

Farhan masuk setelah mandi, rambutnya masih basah, kausnya sederhana. Namun tatapan matanya berbeda, lebih lembut dari biasanya. Seperti ada sesuatu yang cair di dadanya, seakan malam itu ingin berubah menjadi malam yang lebih hangat.

“Wa…” panggil Farhan pelan.

Zahwa menoleh. “Iya, Han?”

Farhan mendekat, duduk di sebelahnya, lalu menggenggam tangan Zahwa. Genggeman itu… sudah lama sekali tidak terasa sedekat ini. Zahwa menunduk, dadanya terasa berguncang kecil.

“Terima kasih untuk hari ini,” suara Farhan berat namun tulus.

“Untuk semuanya… kamu sudah capek banget, tapi tetap kuat.”

Zahwa hanya menggeleng. “Itu kewajiban saya sebagai istri, Han…”

Tanpa banyak kata, Farhan memeluknya. Erat. Hangat. Pelukan yang lama tidak ia rasakan, seolah selama ini ia hidup di rumah yang sama tapi dengan jarak tak kasat mata.

Dan malam itu, tanpa perlu banyak bicara, mereka saling menghangatkan kembali. Bukan hanya tubuh mereka yang dekat, tapi juga hati mereka. Zahwa merasakan Farhan benar-benar hadir, bukan hanya sebagai suami, tapi sebagai laki-laki yang masih mencintainya, masih menginginkannya.

Dalam keheningan setelahnya, Zahwa menempelkan kepala di dada Farhan.

“Semoga kali ini ada anak di perutku ya, Han…” bisiknya lirih.

Farhan mengangguk, mengusap rambutnya.

“Amin… aku juga ingin, Wa. Insya Allah… kalau Allah kasih, itu hadiah terbesar.”

Zahwa memejamkan mata, menahan air yang hampir jatuh. Malam itu, ia merasakan sesuatu yang mengalir, sebuah harapan baru yang selama ini hilang.

---

Pagi hari setelah salat Subuh, rumah masih sepi. Zahwa menutup doa panjangnya, menatap Farhan yang masih duduk di sajadah, bersandar di dinding.

“Aku cuti hari ini,” kata Farhan tiba-tiba.

Zahwa menoleh kaget. “Loh? Kenapa?”

Farhan tersenyum kecil. “Kita cari rumah, Wa. Rumah kita sendiri.”

Dada Zahwa seketika hangat.

“Serius, Han?”

“Serius banget.”

Farhan bangkit, merapikan sajadah. “Aku enggak mau nunda. Kita cari tanah, yang penting halal, cash, enggak pakai riba. Aku tahu kamu takut dosa-dosa, Wa. Kita mulai hidup baru tanpa hutang bank.”

Zahwa menunduk.

“Iya, Han… tapi saya takut. Dosa saya udah banyak…”

Farhan menyentuh bahunya.

“Kita usaha yang halal ya. Biar Allah jaga.”

---

Hari-hari berikutnya Zahwa dan Farhan bolak-balik mencari tanah. Dari ujung kota sampai pelosok. Kadang hujan turun tiba-tiba, kadang panas menyengat sampai membuat kulit Zahwa perih. Namun ia tidak pernah mengeluh.

Zahwa tidak bekerja sampingan selama proses itu. Fisiknya sudah sangat lelah setelah berminggu-minggu mengurus notaris, polsek, tanda tangan keluarga, dokumen waris, hingga hari akad. Tenaganya seperti habis.

Farhan menyadarinya.

“Kamu jangan kerja dulu. Istirahat. Tubuhmu capek banget, Wa.”

Zahwa hanya mengangguk. Ia merasa tubuhnya memang rapuh akhir-akhir ini. Tapi hatinya tetap tegak karena satu harapan baru: rumah sendiri.

Butuh waktu hampir sebulan.

Berjalan, mencari, membandingkan harga, bertanya warga, mengukur lokasi. Sampai akhirnya, di sebuah daerah agak pelosok, sepi tapi masih dekat dengan akses utama, mereka menemukan sebidang tanah dengan harga yang masuk akal.

“Ini bagus, Han…” Zahwa tersenyum untuk pertama kalinya setelah lama terlihat pucat.

Farhan mengangguk mantap.

“Ini dia. Rumah kita nanti di sini.”

Dan tanpa lama berpikir, mereka membelinya. Cash. Tanpa bank. Tanpa cicilan.

Zahwa menahan tangis.

“Alhamdulillah… Ya Allah, terima kasih…”

Ia membayangkan halaman kecil, pintu rumah yang bisa ia buka tanpa takut suara bentakan, dapur sederhana, tempat ia memasak dengan damai.

Mimpi itu terasa sangat nyata.

---

Beberapa minggu kemudian, proses pembangunan dimulai. Farhan sibuk mengatur tukang, Zahwa sibuk menggambar denah sederhana dengan pena hitam.

Namun satu sore, ketika mereka datang melihat progress pembangunan, Zahwa melihat sesuatu yang membuat langkahnya terhenti.

Di tanah sebelah… sudah ada pondasi.

Dan seorang mandor menghampiri.

“Bu Zahwa ya? Ini… ibu mertua Ibu yang bangun rumah di sini. Katanya biar dekat sama kalian.”

Zahwa terdiam.

Wajahnya pucat.

Tangan yang memegang map desain rumah bergetar halus.

Farhan tampak kaget.

“Ibu bangun di sini? Tanpa bilang dulu?”

Mandor mengangguk.

“Iya, Pak. Katanya mau tinggal dekat kalian. Kemarin udah DP bahan bangunan.”

Zahwa menunduk, napasnya terasa sempit.

Rumah yang selama ini ia impikan sebagai tempat tenang, tempat aman, tempat memulai hidup baru…

Tiba-tiba berubah menjadi bayangan rutinitas lama.

Melayani.

Mengurus.

Menahan diri.

Merawat Rita kalau kambuh.

Mendengar keluhan Bu Nina setiap hari.

Farhan menghela napas panjang.

Ia tampak bingung, gelisah, tapi tidak bisa menolak ibunya.

Seperti biasa.

Zahwa menatap tanah kosong tempat rumah impiannya akan berdiri. Ia mengusap perutnya secara refleks, seakan ingin melindungi doa-doa yang sedang ia titipkan pada langit.

Lalu ia menarik napas pelan dan berkata lirih,

“Tidak apa-apa, Han. Kalau ibu mau tinggal di sini… insya Allah saya coba terima. Semoga itu jadi pahala saya.”

Farhan menatapnya lama, mungkin merasa bersalah, mungkin juga tidak tahu harus berkata apa.

Zahwa tersenyum kecil.

Senyum yang matang oleh luka, tapi tetap lembut.

Tidak apa-apa.

Kalimat itu sudah menjadi pakaian Zahwa sejak awal pernikahannya.

“Tapi kita tetap bangun rumah kita, ya?” tanya Farhan pelan.

“Insya Allah…” jawab Zahwa.

“Saya yakin… kalau ikhlas, Allah pasti jaga.”

Ia menatap langit sore yang memerah indah.

Senja hari itu terasa seperti tanda: indah tapi menyisakan perih.

Namun Zahwa memilih melihat cahayanya.

1
Hafshah
terus berkarya
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!