Lunara Angelita selalu percaya bahwa pernikahannya dengan Halden Nathaniel—pelukis jenius yang menjadi kebanggaan kota kecil mereka—adalah rumah paling aman yang pernah dimilikinya. Lima tahun bersama, lima tahun bahagia… atau setidaknya begitu yang ia yakini.
Hingga pada malam hujan yang sunyi, saat listrik padam, Luna tanpa sengaja menemukan sebuah kanvas tersembunyi di gudang. Dan di balik kain putihnya terpampang wajah perempuan yang seharusnya telah lama hilang dari hidup mereka—Karina, mantan kekasih Halden. Dilukis dengan detail yang hanya diberikan oleh seorang pria pada seseorang yang masih memenuhi hatinya.
Lukisan itu baru. Sangat baru.
Saat Luna menuntut kebenaran, Halden tidak berbohong—tetapi jawabannya jauh lebih menyakitkan dari pengkhianatan.
Melukis, katanya, bukan tentang siapa yang menemani hari-harinya.
Melainkan tentang siapa yang tak pernah benar-benar pergi dari hatinya.
Seketika dunia Luna runtuh.
Apakah selama ini ia hanya menjadi istri di ata
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mga_haothe8, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
"Haruskah?"
Keesokan harinya, Luna berdiri sendiri di atap rumah sakit, ia memandangi kota dari ketinggian itu. Luna ingin menyegarkan pikirannya dari masalah yang terjadi tadi malam.
Tiba-tiba seseorang menyodorkan minuman kaleng. "Buat kamu". Ucap Nathan.
Luna menoleh lalu menerima minum itu. "Makasih". ujar Luna.
Nathan tersenyum dan mengamati Luna. "Na...aku boleh tanya sesuatu?". kata Nathan lembut.
"Apa? tanya aja". ujar Luna sambil meminum minuman itu.
"Kamu akhir-akhir ini pendiam, Na. Mulai dari hari itu...aku terus mikirin kamu, aku ga tenang, Na. sebenarnya ada apa? aku ga maksa kamu cerita tapi tolong... tolong kasih aku kesempatan untuk bisa ada buat kamu". ucap Nathan tulus
Luna menghela nafas. "Aku bukan ga mau cerita...tapi belum, aku belum siap untuk berbagi ini, Nathan".
Nathan meraih tangan Luna. "Na, aku selalu ada buat kamu, apapun keadaan mu aku ada disini, aku masih mencintaimu dan akan selalu begitu". Nathan menatap Luna tulus, semua dunianya berada di Luna, cintanya habis dan berhenti di Luna.
~•-------------------------------------------•~
Sedangkan disisi lain, Halden bersama dengan Karina. ia bertemu lagi dengan nya di sebuah hotel
"Kamu tetap aja ragu?". Ujar Karina
"Aku bingung...aku sayang sama kamu, tapi aku juga ga bisa ninggalin Luna". Halden menatap Karina
Karina terdiam beberapa detik. Tatapannya menusuk Halden, bukan marah, tapi lelah. Lelah menjadi pilihan kedua, lelah menunggu kepastian yang tak pernah benar-benar datang.
“Halden,” ucapnya akhirnya pelan namun tegas, “kamu sadar nggak sih, kalimat barusan itu egois?”
Halden mengerutkan kening. “Maksud kamu?”
“Kamu bilang sayang sama aku, tapi kamu juga bilang nggak bisa ninggalin Luna. Itu artinya kamu pengin kami berdua tetap ada di hidup kamu. Kamu nyaman dengan kebingunganmu, tapi aku yang harus nerima lukanya.”
Halden terdiam. Ia menunduk, jemarinya saling bertaut di atas meja kecil kamar hotel itu. “Aku nggak bermaksud nyakitin kamu.”
“Nyatanya aku tetap terluka,” potong Karina. “Aku datang ke sini karena kamu yang minta ketemu. Kamu bilang kamu butuh aku. Tapi ternyata kamu masih berdiri di dua kaki yang berbeda.”
Suasana kamar terasa berat. Pendingin ruangan berdengung pelan, tapi tak mampu menenangkan ketegangan di antara mereka.
“Aku cuma butuh waktu,” ujar Halden lirih.
“Waktu?” Karina terkekeh pahit. “Berapa lama lagi? Sampai aku capek? Sampai aku sadar sendiri kalau aku cuma persinggahan?”
Halden bangkit dari duduknya. Ia mendekat, mencoba meraih tangan Karina, tapi perempuan itu mundur selangkah.
“Jangan,” ucap Karina cepat. “Kalau kamu belum yakin, jangan sentuh aku. Aku bukan pelarian dari kebingunganmu.”
Kalimat itu menampar Halden lebih keras dari apa pun. Ia menatap Karina, perempuan yang selalu ada saat ia merasa sendirian, yang mendengarkan keluh kesahnya tentang Luna, yang mengisi ruang kosong di hatinya tanpa pernah menuntut terlalu banyak.
Atau setidaknya, itulah yang ia kira.
“Maaf,” ucap Halden akhirnya. “Aku bener-bener minta maaf.”
Karina menghela napas panjang. “Aku nggak butuh maafmu, Halden. Aku butuh kejelasan.”
Ia mengambil tasnya. “Aku pulang.”
“Karin—” Halden mencoba menahan.
“Kalau suatu hari kamu datang ke aku dengan hati yang utuh, bukan setengah-setengah, mungkin aku masih mau dengar,” ucap Karina sambil membuka pintu. “Tapi kalau tidak, berhentilah menyeret aku ke dalam luka yang bukan milikku.”
Pintu tertutup. Halden berdiri mematung, menyadari untuk pertama kalinya bahwa kebimbangannya bukan hanya menyakitkan dirinya sendiri, tapi juga orang lain.
~•-------------------------------------------•~
Di atap rumah sakit, angin berhembus lembut. Matahari mulai meninggi, memantulkan cahaya ke gedung-gedung tinggi di kejauhan. Luna masih berdiri di sana, sementara Nathan menyandarkan tubuhnya di pagar pembatas, menjaga jarak agar Luna tidak merasa tertekan.
“Aku tahu kamu belum siap,” ujar Nathan setelah hening beberapa saat. “Dan aku nggak akan maksa.”
Luna menatap minuman di tangannya. “Aku takut, Nat.”
“Takut apa?”
“Takut kalau aku cerita, semuanya malah jadi lebih rumit. Takut kalau orang-orang yang aku sayang jadi ikut terluka.”
Nathan menoleh, menatap Luna dengan lembut. “Na, hidup itu memang rumit. Tapi kamu nggak harus jalan sendirian.”
Luna tersenyum tipis. “Kamu selalu tahu cara bikin aku ngerasa aman.”
Nathan terkekeh kecil. “Itu tugas aku.”
Luna akhirnya menoleh padanya. “Nathan… kalau suatu hari aku berubah, kalau aku nggak sekuat yang kamu kira, kamu masih mau di samping aku?”
Tanpa ragu, Nathan mengangguk. “Aku jatuh cinta sama kamu bukan karena kamu kuat. Tapi karena kamu Luna.”
Kalimat itu membuat dada Luna sesak. Ada hangat, ada haru, dan ada rasa bersalah yang diam-diam mengendap di hatinya.
Ia belum bisa membalas perasaan Nathan sepenuhnya. Ada luka lama yang belum sembuh, ada masa lalu yang masih membayangi.
Namun untuk pertama kalinya, Luna berpikir: *Mungkin aku nggak harus sendirian selamanya.*
~•-------------------------------------------•~
Sore harinya, Luna kembali ke ruang rawat inap. Ia berdiri di depan pintu kamar, ragu untuk masuk. Di balik pintu itu, seseorang yang pernah menjadi dunianya terbaring lemah.
Halden.
Luna menarik napas dalam-dalam lalu masuk. Halden terbangun, matanya langsung menoleh saat mendengar langkah kaki.
“Luna…” ucapnya lirih.
Luna mendekat, tapi tetap menjaga jarak. “Kondisimu gimana?”
“Masih sama,” jawab Halden. “Dokter bilang aku butuh istirahat.”
Keheningan kembali menyelimuti mereka. Ada begitu banyak kata yang ingin keluar, tapi tak satu pun berani diucapkan.
“Aku dengar kamu ke atap sama Nathan,” ujar Halden akhirnya.
Luna mengangguk. “Iya.”
“Kamu kelihatan… lebih tenang sama dia.”
Luna menatap Halden. “Nathan nggak pernah bikin aku bingung.”
Kalimat itu sederhana, tapi menusuk. Halden menelan ludah. “Aku minta maaf, Lun.”
Luna tersenyum pahit. “Permintaan maaf yang mana? Karena ninggalin aku dulu? Atau karena sekarang kamu muncul lagi dan bikin hatiku kacau?”
Halden terdiam. “Aku salah.”
“Iya,” sahut Luna. “Dan kesalahan itu ninggalin bekas.”
Luna melangkah mundur. “Aku ke sini bukan buat nyalahin kamu. Aku cuma mau pastiin kamu baik-baik aja.”
“Luna…” Halden memanggil lagi, suaranya bergetar. “Kalau aku minta kesempatan—”
“Jangan,” potong Luna tegas. “Jangan minta sesuatu yang kamu sendiri belum siap tanggung jawabnya.”
Mata Halden berkaca-kaca. “Aku masih cinta kamu.”
Luna menunduk. “Cinta aja nggak cukup, Halden.”
Ia berbalik dan keluar, meninggalkan Halden dengan perasaan kosong yang menyesakkan.
~•-------------------------------------------•~
Malam itu, Luna duduk di balkon apartemennya. Kota kembali berkilau, tapi hatinya masih penuh tanya. Ponselnya bergetar, sebuah pesan masuk.
**Nathan:**
*Na, kamu udah makan?*
Luna tersenyum kecil lalu membalas.
**Luna:**
*Belum. Lagi nggak terlalu laper.*
Tak lama kemudian, ponselnya kembali bergetar.
**Nathan:**
*Aku di bawah. Bukan maksa, cuma bawa makanan. Kalau kamu nggak mau ketemu, aku titip ke satpam.*
Luna terdiam beberapa saat. Akhirnya ia berdiri dan turun ke lobi.
Nathan berdiri di sana, membawa kantong plastik berisi makanan hangat. “Aku janji cuma sebentar.”
Luna mengambil kantong itu. “Kamu kenapa sih baik banget?”
Nathan tersenyum. “Karena aku mau.”
Mereka duduk di bangku lobi, makan dalam keheningan yang nyaman.
“Nat,” ujar Luna pelan. “Kalau aku bilang aku masih berantakan, kamu masih mau di sini?”
Nathan menoleh. “Aku nggak nyari yang sempurna, Na. Aku nyari yang nyata.”
Luna menatapnya lama. Untuk pertama kalinya, ia membiarkan dirinya bersandar, meski hanya sedikit.
~•-------------------------------------------•~
Di sisi lain kota, Halden duduk sendiri di kamar rumah sakit. Pikirannya penuh, dadanya sesak. Kata-kata Karina dan Luna berputar-putar di kepalanya.
Untuk pertama kalinya, ia sadar: ia harus memilih. Bukan demi dirinya sendiri, tapi demi berhenti menyakiti orang-orang yang ia klaim ia sayangi.
Ia memejamkan mata, air mata jatuh perlahan.
Pilihan itu semakin dekat. Dan apa pun pilihannya nanti, tak akan ada yang benar-benar keluar tanpa luka.
Pagi itu rumah sakit mulai ramai. Suara langkah kaki, roda brankar, dan panggilan perawat bersahut-sahutan. Luna berjalan menyusuri koridor dengan jas dokternya, wajahnya tenang, namun matanya menyimpan kelelahan yang tak bisa disembunyikan.
Nathan berjalan di sampingnya, membawa map pasien.
“Kamu ambil shift malam lagi?” tanya Nathan.
Luna mengangguk. “Pasien IGD lagi penuh.”
“Kamu nggak capek?” Nathan meliriknya sekilas.
Luna tersenyum tipis. “Capek itu nanti.”
Nathan tak membalas. Ia mengenal Luna terlalu lama untuk tahu: perempuan itu selalu menunda dirinya sendiri.
Mereka berhenti di depan ruang perawat.
“Na,” ujar Nathan pelan, “kalau kamu butuh istirahat—”
“Aku baik-baik aja,” potong Luna cepat, lalu tersenyum, seolah ingin meyakinkan.
Nathan mengangguk, meski hatinya tak sepenuhnya percaya.
~•----------------------------------•~
Sementara itu, di sebuah kafe hotel yang tenang, Halden duduk berhadapan dengan Karina. Jas kerjanya tergantung rapi di sandaran kursi, sementara Karina tampak santai, terlalu santai.
“Kamu lama,” ujar Karina sambil mengaduk kopinya.
“Meeting molor,” jawab Halden singkat.
Karina tersenyum kecil. “Atau kamu takut ketahuan?”
Halden menatapnya tajam. “Jaga omongan kamu.”
Karina terkekeh. “Santai aja. Istri kamu itu dokter sibuk. Dunia dia rumah sakit, bukan kamu.”
Kalimat itu membuat Halden terdiam. Ada rasa bersalah yang singgah, tapi ia menyingkirkannya.
“Aku nggak mau ribut,” ujar Halden. “Aku cuma mau semuanya tetap seperti ini.”
“Seperti ini?” Karina menyandarkan tubuhnya. “Aku di belakang layar, Luna di depan?”
Halden menghela napas. “Aku belum bisa ninggalin dia.”
“Dan aku belum mau ditinggalin,” balas Karina tenang.
Halden menyesap kopinya. Ia tahu ini salah. Tapi kenyamanan itu membuatnya tetap duduk.
---
Siang hari, Luna duduk di ruang dokter, membuka laptop. Nathan masuk sambil membawa dua gelas kopi.
“Kopi hitam. Tanpa gula,” ucap Nathan.
Luna menoleh. “Kamu masih ingat.”
“Aku nggak pernah lupa,” jawab Nathan ringan.
Luna tersenyum. “Makasih.”
Mereka duduk berdampingan, jaraknya aman, tapi keheningannya terasa intim.
“Kamu sama Halden baik-baik aja?” tanya Nathan hati-hati.
Luna mengangguk. “Ya… normal.”
“Normal itu kadang bukan baik-baik aja,” ujar Nathan pelan.
Luna menutup laptopnya. “Kamu terlalu peka.”
“Karena aku kenal kamu,” balas Nathan.
Luna menatapnya, lama. Ada sesuatu di mata Nathan yang membuat dadanya menghangat sekaligus resah.
~•---------------------------------•~
Malamnya, Luna pulang lebih awal. Ia membuka pintu apartemen dan mendapati Halden sudah di rumah, duduk di sofa, ponsel di tangan.
“Kamu pulang cepat,” ujar Halden.
“Iya,” jawab Luna sambil melepas sepatunya. “Kamu juga.”
Halden mengangguk. “Hari ini santai.”
Luna masuk ke dapur, membuka kulkas. “Aku masak mie aja ya. Capek.”
“Biar aku aja,” ujar Halden.
Luna terdiam sejenak, lalu tersenyum. “Jarang-jarang.”
Halden ikut ke dapur. Ia memandangi Luna, ada rasa bersalah yang kembali muncul. Tapi Luna terlalu percaya, terlalu polos untuk mencurigai apa pun.
Saat mereka makan, ponsel Halden bergetar. Sebuah pesan masuk.
*Karina:*
*Kangen.*
Halden menegang, lalu cepat mematikan layar.
“Siapa?” tanya Luna santai.
“Teman kantor,” jawab Halden cepat.
Luna mengangguk tanpa curiga.
Halden menunduk. Rasa bersalah itu kembali kalah oleh kebiasaan berbohong. Sebenarnya dia juga takut jika Luna pergi tapi kenyamanan bersama Karina tapi bisa ia sembunyikan, Halden terlalu terjebak dalam situasi rumit ini.
~•----------------------------------•~
Beberapa hari berlalu. Kedekatan Luna dan Nathan semakin sering terjadi—rapat, diskusi pasien, makan siang bersama. Semuanya profesional, tapi ada kenyamanan yang perlahan tumbuh.
Suatu sore, mereka berdiri di atap rumah sakit.
“Tempat ini nggak berubah,” ujar Luna.
“Kamu juga,” jawab Nathan.
Luna tertawa kecil. “Aku ngerasa aku berubah.”
“Kamu cuma lupa jaga diri sendiri,” balas Nathan.
Angin berhembus pelan.
“Nat,” ucap Luna, “kalau suatu hari aku capek… kamu bakal bilang aku lemah nggak?”
Nathan menoleh. “Enggak. Aku bakal bilang kamu manusia.”
Luna terdiam. Dadanya terasa sesak oleh kehangatan yang tak seharusnya ia rindukan.
~•----------------------------•~
Di tempat lain, Halden kembali bersama Karina. Kali ini di apartemen Karina.
“Kamu kelihatan kacau,” ujar Karina.
“Istriku terlalu baik,” jawab Halden lirih.
Karina tertawa kecil. “Dan kamu terlalu pengecut.”
Halden tak membantah.
“Kalau suatu hari dia tahu, kamu siap?” tanya Karina.
Halden menatap langit-langit. “Aku nggak mau mikirin itu.”
Karina mendekat. “Masalahnya, kebenaran selalu nemuin jalan pulang.”
Halden terdiam. Untuk pertama kalinya, ketakutan itu terasa nyata.
~•--------------------------•~
Malam itu, Luna duduk di balkon apartemen. Nathan mengirim pesan.
*Nathan:*
*Kamu udah sampai rumah?*
*Luna:*
*Udah.*
*Nathan:*
*Istirahat ya.*
Luna tersenyum kecil. Ia menatap Halden yang tertidur di dalam kamar.
“Kenapa aku merasa sendirian padahal aku punya suami?” gumamnya.
Ia belum tahu apa pun.
Belum tahu bahwa kepercayaan itu perlahan dikhianati.
Belum tahu bahwa dua orang terdekatnya sedang berjalan ke arah yang berlawanan.
Dan tanpa disadari, waktu sedang menyiapkan luka yang lebih besar.