NovelToon NovelToon
Se Simple Bunga Selamat Pagi

Se Simple Bunga Selamat Pagi

Status: sedang berlangsung
Genre:Ketos / Diam-Diam Cinta / Cintapertama / Idola sekolah
Popularitas:691
Nilai: 5
Nama Author: happy fit

kinandayu gadis cantik tapi tomboy terlihat semaunya dan jutek..tp ketika sdh kenal dekat dia adalah gadis yang caring sm semua teman2 nya dan sangat menyayangi keluarga nya....

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon happy fit, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

chapter 5- antara study trip dan sinyal yang masih samar

Pagi itu, ruang kelas XI-IPA 2 berisiknya melebihi pasar dadakan.

Bu Hesti baru aja ngumumin kabar besar: minggu depan mereka bakal ikut study trip ke Fakultas Kedokteran Universitas Andalas.

Seketika, suasana berubah kayak euforia fans K-pop liat idol turun panggung.

“STUDY TRIP?! KE KAMPUS DOKTER?!” teriak Maya, suaranya hampir nyamain bel sekolah.

Kinan senyum lebar. “Akhirnya mimpi liat ruang bedah beneran kesampaian juga!”

Andi nyeletuk dari belakang, “Boleh gak kalau study trip-nya ke kantin kampus aja?”

“Boleh,” jawab Maya cepat, “asal kamu yang bayarin satu angkatan.”

Semua ketawa. Tapi di tengah hebohnya, Danu cuma duduk santai, main-mainin bolpoin di tangannya.

Kinan sempat melirik sekilas. “Cowok ini tenang banget, padahal yang lain udah histeris.”

---

Hari keberangkatan tiba.

Bus sekolah parkir di halaman, anak-anak udah ribut rebutan kursi.

Dan seperti biasa, semesta masih suka bercanda: Kinan dapet kursi sebelahan sama Danu.

“Eh Kin,” bisik Maya sambil senyum jail, “selamat ya, kamu menang kursi impian seangkatan.”

Kinan pura-pura cuek. “Aku cuma duduk, bukan daftar undian cinta, May.”

“Yakin?”

“Yakin… sedikit.”

Perjalanan dimulai.

Bus melaju di jalan luar kota, suasana awalnya ramai — ada yang nyanyi, ada yang main tebak lagu.

Danu akhirnya nawarin earphone ke Kinan.

“Mau denger lagu?”

“Lagu apa?”

“Yang gak bikin ngantuk.”

“Berarti bukan lagu cinta ya,” jawab Kinan cepat.

Danu senyum kecil. “Belum tentu.”

Kinan menatap keluar jendela, berusaha menahan senyum.

Mereka berdua akhirnya denger musik bareng, diem, tapi suasananya… nyaman banget.

Beberapa menit kemudian, Danu buka obrolan pelan,

“Kin, kamu yakin mau jadi dokter bedah?”

“Yakin banget.”

“Gak takut lihat darah?”

“Lebih takut lihat nilai merah.”

Danu ketawa kecil. “Jawabanmu selalu kayak punchline tapi dalem.”

Kinan pura-pura nyoret buku catatan di pangkuan. “Ciri khas, biar gak gampang ditebak.”

Suasana hening sejenak sebelum Danu lanjut cerita.

“Btw, kamu tau gak, aku sebenarnya gak niat ikut study trip.”

“Kenapa?”

“Awalnya mikir ngapain, kan aku bukan anak IPA.”

“Terus kenapa akhirnya ikut?”

“Karena Mama pengen aku liat dunia medis juga. Beliau dulu pengen jadi perawat, tapi gak kesampaian.”

Kinan menoleh. “Oh… Mama kamu masih kerja?”

“Udah jarang. Sakit maag kronis, jadi lebih banyak di rumah. Papa juga jarang pulang, kerja di luar kota.”

Kinan menatapnya lembut. “Pantes kamu keliatan tenang banget. Biasanya orang yang tenang itu, karena udah banyak hal yang harus dihadapi sendirian.”

Danu cuma senyum kecil. “Mungkin. Tapi aku juga beruntung, masih punya alasan buat semangat.”

“Contohnya?”

“Bisa liat orang-orang yang berjuang buat mimpi mereka. Kayak kamu.”

Kinan bengong sebentar.

“Uh… makasih, aku jadi gak tau mau jawab apa.”

“Gak usah dijawab, cukup dijalanin.”

Dan lagi-lagi, suasana hening — tapi bukan karena canggung. Lebih ke tenang, kayak dua orang yang lagi belajar saling ngerti tanpa banyak kata.

---

Sesampainya di kampus kedokteran, semua siswa kagum.

Bangunannya megah, alat-alat di lab modern banget.

Kinan langsung semangat 300%.

“May, lihat! Ini model anatomi beneran! Wah, ada alat simulasi bedah juga!”

Maya geleng-geleng. “Kamu tuh kayak anak kecil liat es krim.”

“Ya biarin, ini surganya calon dokter!”

Sementara Kinan sibuk tanya-tanya ke dosen pembimbing, Danu diam-diam memperhatiannya dari jauh.

Ada tatapan kagum yang gak terlalu mencolok, tapi nyata.

Dia liat Kinan ngomong penuh semangat, senyum lebar, matanya hidup banget.

Saat sesi praktik mini dimulai, mereka satu meja.

Tangan mereka gak sengaja bersentuhan waktu ngambil alat bedah simulasi.

Kinan langsung reflek bilang, “Ups, maaf.”

Danu cuma nyengir. “Tenang, belum berdarah kok.”

Kinan ngakak kecil. “Kalau kamu jadi pasien beneran, aku bakal takut sayatnya melenceng.”

“Gak apa, yang penting kamu dokternya.”

“Hmm, kamu ngomong gitu kayak lagi daftar jadi pasien prioritas.”

“Siapa tau dapet diskon perasaan.”

Kinan mendengus. “Gak lucu, tapi kenapa aku senyum?”

---

Jam makan siang tiba.

Anak-anak duduk di kantin kampus, suasana rame dan heboh.

Kinan duduk bareng Maya dan Andi, sambil sibuk ngebahas alat bedah.

Dari jauh, dia lihat Tania (teman sekelasnya) lagi ngobrol sama Danu.

Tania ketawa, pegang lengan Danu waktu ngomongin sesuatu soal basket.

Kinan langsung nunduk pura-pura makan nasi, tapi Maya sudah tanggap.

“Wah, Kin, ekspresimu kayak yang lagi liat hasil ujian tapi belum dibuka.”

“Apaan sih.”

“Kamu cemburu, ya?”

“Gaklah.”

“Yaudah, tapi kamu udah ngaduk nasi lima menit gak dimakan.”

“Lagi mastiin karbohidratnya nyatu aja.”

Tak lama Danu datang ke meja mereka.

“Kin, tadi kamu belum sempat minum kan? Nih, aku bawain air mineral.”

Kinan agak kaget, tapi senyum kecil. “Eh, makasih ya.”

Maya langsung nyorakin, “Minuman cinta spotted!”

Danu cuma garuk kepala, “Iya iya, kalian emang gak bisa liat orang niat baik ya.”

Tapi dalam hati Kinan: “Niat baik yang bikin deg-degan, itu kategori baru sih.”

Sore menjelang.

Bus melaju pulang, jalanan sepi, sebagian siswa udah tertidur.

Kinan duduk di dekat jendela, lihat langit oranye keemasan.

Danu di sebelahnya, baca buku kecil — bukan pelajaran, tapi catatan pribadinya.

“Dan, kamu suka nulis?”

“Kadang. Biar gak lupa sama hal kecil yang penting.”

“Kayak apa?”

“Kayak orang-orang yang bikin hari terasa ringan.”

Kinan diem, matanya gak lepas dari langit.

“Kalau aku, suka nulis karena pengen inget perasaan yang gak bisa diulang.”

“Contohnya?”

“Kayak momen pas kamu ngerasa tenang tanpa alasan.”

Mereka saling pandang sebentar.

Gak ada kata lanjut, tapi di udara ada semacam kesepahaman — halus, belum jelas, tapi hangat.

---

Malamnya, setelah mereka sampai di sekolah, Kinan baru keluar dari bus saat seseorang memanggil,

“Kinandayu!”

Dia menoleh — Rafi, ketua OSIS, berdiri sambil senyum ramah.

Cowok rapi, pinter ngomong, dan populer juga.

“Hei, Kin. Aku tadi liat kamu di list peserta debat bulan depan. Aku juga ikut. Mungkin nanti bisa latihan bareng?”

“Oh, iya… boleh,” jawab Kinan sopan.

Rafi senyum lagi, “Aku WA kamu aja ya buat jadwalnya.”

“Boleh.”

Danu yang baru turun dari bus sempat melihat mereka ngobrol.

Dia gak bilang apa-apa, cuma menatap sebentar, lalu melangkah ke arah gerbang.

Kinan menatap punggungnya sekilas. Ada sesuatu di dadanya yang entah kenapa terasa campur aduk — antara hangat dan ragu.

Maya datang menghampiri. “Siapa tadi? Rafi OSIS?”

“Iya.”

“Wah, persaingan makin ketat nih. Antara Kapten Basket dan Ketua OSIS. Siap-siap drama, Dokter cinta.”

Kinan cuma tertawa pelan.

“May, aku cuma mau fokus belajar dulu.”

“Belajar apa?”

“Belajar ngerti detak jantung sendiri.”

Dan malam itu, Kinan pulang dengan hati yang gak tahu arah:

antara Danu yang diam tapi bikin tenang,

dan Rafi yang datang dengan senyum terang.

---

To Be Continued...

1
Rachmad Irawan
semangat author.. jangan lupa update yg rutin ya thor 😍😍 love you author
Guillotine
Bravo thor, teruslah berkarya sampai sukses!
Winifred
Gak terasa waktu lewat begitu cepat saat baca cerita ini, terima kasih author!
happy fit: makasih komentar nya best..dukung author trs ya 🥰
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!