Senja Ociana, ketua OSIS cantik itu harus menjadi galak demi menertibkan pacar sekaligus tunangannya sendiri yang nakal bin bandel.
Langit Sadewa, badboy tampan berwajah dingin, ketua geng motor Berandal, sukanya bolos dan adu otot. Meski tiap hari dijewer sama Senja, Langit tak kunjung jera, justru semakin bandel. Mereka udah dijodohin bahkan sedari dalam perut emak masing-masing.
Adu bacot sering, adu otot juga sering, tapi kadang kala suka manja-manjaan satu sama lain. Kira-kira gimana kisah Langit dan Senja yang punya kepribadian dan sifat bertolak belakang? Apa hubungan pertunangan mereka masih bisa bertahan atau justru diterpa konflik ketidaksesuaian?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LiaBlue, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
5. Selingkuh?
“Ngit, lo udah kalah dua kali! Biar gue yang main!” ucap Neo kepada Langit.
Langit mendelik. “Masih mending gue kalah dua kali, dari pada elu udah lima kali.”
“Ya, gue mau coba peruntungan juga.” Neo tetap berniat mengambil alih permainan.
Mereka kini tengah bermain biliar, bertanding dengan beberapa preman pengkolan. Sebagai kumpulan berandal di sekolah serta di jalanan, Langit, Neo dan Rance tentunya memiliki banyak teman preman komplek.
Mereka bermain santai, siapa kalah harus membelikan rokok yang menang. Mungkin ini bisa termasuk ke dalam judi ringan, tetapi beruntungnya sampai saat ini hanya sebatas itu.
Berisiknya suara musik di tempat biliar itu membuat Langit tak sadar ketika seseorang memanggilnya. Pria itu masih sibuk dengan rokok di tangannya sembari memainkan tongkat biliar.
“Ngit.” Rance menepuk bahu Langit yang tengah membidik bola di meja biliar.
“Ck, ganggu lo, minggir elah!” Langit menepis kesal tangan Rance yang terus memukul bahunya.
“Itu, ada—”
“Apaan, sih? Ck, salah tembak gue!” geram Langit akhirnya mengalihkan wajah.
Bukannya wajah Rance yang dilihatnya, melainkan wajah cantik sang tunangan. Langit melotot melihat Senja sudah berada tepat di sampingnya. Senja memandangnya dengan kedua tangan terlipat di depan dada.
Langit langsung membuang rokok di tangannya. Senja menatap itu dengan wajah masih tenang, meski matanya begitu tajam, bagi Langit terkesan lebih tajam dari silet.
“Eh, Sayang, kamu ke sini?” cetus Langit bak orang bodoh.
“Iya, nih. Aku ke sini, soalnya mau liatin tunangan aku la-ti-han bas-ket!” tekan Senja di ujung kalimatnya, membuat Langit meringis.
“Em, itu ... tadi aku nyasar, salah jalan. Aku udah niat ke sekolah, kok, latihan basket. Tapi tua-tua, eh maksudnya tau-tau salah jalan. Nyasar ke sini,” celoteh Langit membuat orang-orang di sana tertawa, termasuk sekumpulan preman.
Mereka semua yang berada di sana sudah kenal bagaimana Langit. Mereka juga sudah tahu siapa Senja, sebab gadis itu cukup sering datang ke sana untuk memergoki Langit berbohong, merokok dan bermain biliar dengan alasan latihan basket.
“Ke-luar!”
“Oke, aku emang udah berniat mau pulang, kok, Sayang.” Langit langsung melempar tongkat biliar kepada Rance.
Tak hanya Langit, kini mata Senja beralih ke arah Neo dan Rance. Dua pria itu bergidik ngeri, perlahan secara serentak mereka meletakkan tongkat biliar di tangan masing-masing.
“Kita juga mau pulang, Ja,” ucap Neo diangguki Rance.
“Bagus.” Senja langsung bergerak ke luar pintu diikuti oleh tiga inti geng Berandal tersebut.
Para preman semakin puas menertawakan mereka, mengejek para berandalan sekolah yang takut kepada satu wanita. Neo dan Rance bisa langsung pulang, tetapi Langit harus menghadapi Senja yang merajuk.
Langit berjalan mengikuti langkah sang kekasih. Tak hanya membawa tubuhnya, Langit mendorong motornya, karena ia tak ingin jika Senja berjalan sendirian, itu pikirnya.
“Sayang, maaf.”
Senja sudah lelah rasanya harus mendengar permintaan maaf Langit setiap hari. Gadis itu menatap sang tunangan yang terus mendorong motor sportnya.
“Aku capek.”
Langit terkejut, ia menoleh ke samping dan menatap sang tunangan dengan wajah takut. “M-maksud kamu?”
Senja menghembuskan napas panjang. “Kamu gak mikir kalo aku capek kayak gini mulu? Tiap hari kayak gini, tapi kamu gak ada jera-jeranya, gak ada kapok-kapoknya. Apa keinginan kamu emang biar bebas, terus gak usah aku larang-larang lagi?”
Langit terpaku mendengar itu. “Sayang, aku ....”
“Kamu minta maaf tiap hari, habis itu diulang lagi. Capek tau, aku tiap hari bolak-balik ke sana kemari buat kamu yang gak ada kapoknya. Gak di sekolah, di rumah atau di mana-mana, kamu terus bikin ulah. Kamu maunya aku biarin aja lakuin apa pun? Gak aku larang-larang lagi, iya?”
Langit menggeleng cepat, ia langsung menurunkan standar motornya dan mendekat ke arah sang kekasih. “Gak gitu, Yang. Aku minta maaf, beneran, aku berusaha gak nakal lagi. Aku terus usaha, kok, tapi aku akui kalo jadi cowok baik itu emang susah.”
Senja mengembuskan napas panjang. Ia juga tahu dan paham jika menghentikan kebiasaan itu tak mudah. Senja malah merasa menyesal karena selama ini membiarkan serta mewajarkan setiap hal yang dilakukan Langit, sampai akhirnya menjadi kebiasaan buruk.
Senja memang lelah, ia juga takut serta khawatir setiap harinya. Langit yang suka balapan liar, terlibat tawuran, perang antar geng motor, semua hal itu membuat Senja takut jika nantinya Langit terluka.
“Aku pulang naik taksi aja.” Senja sudah menghentikan sebuah taksi.
Langit pun tak dapat berkata-kata, ia membiarkan sang kekasih memasuki taksi tersebut. Namun, Langit masih memperlakukannya dengan manis, pria itu membukakan pintu untuk Senja. Setelahnya ia mengikuti taksi itu dari belakang.
Senja menoleh ke belakang dan melihat motor sang tunangan mengikuti di belakang. Gadis itu kembali menghembuskan napas panjang.
“Gue gak tau gimana jadinya kalo dia bener-bener terluka. Semenjak mimpi buruk tentang dia tadi malem, gue jadi gak tenang. Gue gak mau langit terluka,” bisik Senja terus menatap Langit di belakang taksi.
Langit sendiri kini sedang dilanda rasa cemas dan takut. Jika Senja sudah berbicara serius dengan nada dan ekspresi seperti tadi, Langit menjadi takut jika Senja benar-benar cuek kepadanya dan tak memperhatikannya lagi.
“Kenapa susah banget jadi cowok baik? Apa gue harus ngurung diri di rumah selama satu minggu atau satu bulan sekalian, biar jadi kebiasaan gak keluyuran?” celoteh Langit di sela hebohnya suara kendaraan kota.
Setibanya di depan rumah, Langit langsung menepikan motornya di depan gerbang rumah Senja. Pria itu meraih pintu mobil penumpang dan membantu sang kekasih untuk turun.
“Makasih, Pak,” ucap Senja kepada sopir taksi.
“Sama aku gak bilang makasih, nih?” celetuk Langit membuat Senja menoleh.
Senja mendengkus malas, ia langsung menarik gerbang rumahnya. Langit pun berniat ikut masuk ke rumah Senja, bahkan sudah bersiap untuk mendorong motornya masuk ke pekarangan rumah sang tunangan.
Prang ...
Pergerakan sepasang insan itu terhenti ketika mendengar suara benda pecah dari arah rumah Langit. Mereka sama-sama menoleh, dan saling tatap sejenak. Langit langsung bergegas ke gerbang rumahnya, takut jika terjadi sesuatu, berpikir mungkin ada maling.
Melihat itu, Senja pun ikut menyusul Langit dari belakang. Namun, baru sampai teras rumah minimalis berlantai dua itu, langkah Langit terhenti, membuat Senja bingung.
“Kena—”
“Brengsek kamu Lukman! Brengsek, pergi kamu dari sini!”
Langit terpaku mendengar teriakan itu dari dalam rumahnya. Tentu saja ia sangat mengenal suara teriakan wanita paruh baya itu, bahkan Senja yang baru datang pun terkejut serta terdiam.
“Itu suara Bunda,” batin Senja cemas.
“Aku minta maaf, Lusi. Aku—”
“Kenapa Ayah gini? Kenapa, Yah! Kenapa Ayah tega selingkuhin Bundaa, kenapa?”
Deg ...
Sepasang insan di depan pintu rumah langsung terkesiap mendengar suara Luna rupanya ikut berada di dalam rumah. Suara tangis terdengar cukup keras, itu suara tangis Lusi dan Luna.
Senja langsung menoleh ke arah Langit. Pria itu sudah mengepalkan tangannya dengan pandangan kosong.
“Ayah minta maaf.” Suara pelan Lukman terdengar dari dalam.
“Sayang?” Senja terkejut ketika tiba-tiba Langit masuk ke dalam rumah, ia langsung bergegas menyusul sang tunangan.
“Ayah selingkuh?” desis Langit mengejutkan tiga orang di dalam rumah.
Lukman, Lusi dan Luna menoleh ke arah Langit yang baru datang, tak lama Senja pun menyusul. Mereka semua sama-sama diam, tetapi Lusi dan Luna masih terisak kecil. Melihat sang ibunda dan kakaknya menangis di depan matanya, membuat emosi Langit langsung bangkit.
“Wanita murahan mana yang berani masuk ke dalam keluarga kita, hah! Mana wanita itu!” teriak Langit membuat Senja terkejut.
“Langit, Ayah—”
“Sedari kecil Ayah adalah panutan aku, aku selalu liat Ayah dan pengen banget jadi kayak Ayah. Tapi kenapa begini? Apa yang kurang dari Bunda, Yah? Apa!” teriak Langit lagi di ujung kalimatnya.
Lusi semakin menangis mendengar itu, Luna pun memeluk sang ibunda. Senja hanya bisa mengusap lengan Langit, berjaga-jaga jika sang tunangan kalap dan memukul ayahnya sendiri.
Lukman sendiri hanya bisa menunduk dengan ekspresi penuh penyesalan. “Ayah minta maaf, Nak. Memang Ayah yang salah,” lirihnya menyesal.
***
Novel ini akan update setiap jam 12.00 WIB, yaa.
pi klo kelen percaya satu sama lain pst bisa
klo ada ulet jg pst senja bantai
kita lanjut nanti yaaahhhhh