Wei Lin Hua, seorang assassin mematikan di dunia modern, mendapati dirinya terlempar ke masa lalu, tepatnya ke Dinasti Zhou yang penuh intrik dan peperangan. Ironisnya, ia bereinkarnasi sebagai seorang bayi perempuan yang baru lahir, terbaring lemah di tengah keluarga miskin yang tinggal di desa terpencil. Kehidupan barunya jauh dari kemewahan dan teknologi canggih yang dulu ia nikmati. Keluarga barunya berjuang keras untuk bertahan hidup di tengah kemiskinan yang mencekik, diperparah dengan keserakahan pemimpin wilayah yang tak peduli pada penderitaan rakyatnya. Keterbelakangan ekonomi dan kurangnya sumber daya membuat setiap hari menjadi perjuangan untuk sekadar mengisi perut. Lahir di keluarga yang kekurangan gizi dan tumbuh dalam lingkungan yang keras, Wei Lin Hua yang baru (meski ingatannya masih utuh) justru menemukan kehangatan dan kasih sayang yang tulus.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fitri Novianti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 30
Gelang dan kalung berbentuk daun clover dengan ruby merah kini menghiasi pergelangan tangan dan lehernya, berkilauan lembut di bawah cahaya matahari siang. Lin Hua menghampiri kedua kakaknya yang sudah menunggu di depan pintu gerbang kediaman mereka. "Ayo pergi," ajaknya dengan senyum cerah, merasa bersemangat untuk menghabiskan waktu bersama kedua pria yang sangat disayanginya itu.
Mereka berjalan kaki, menyusuri jalanan ibukota yang ramai dan beraroma menggoda. Para penjual menjajakan aneka ragam buatan tangan, mulai dari kipas sutra yang dilukis dengan indah hingga hiasan rambut berkilauan yang memikat mata. Kedai-kedai makanan berjejeran, menawarkan aroma rempah yang kaya dan suara wajan yang berdenting, menciptakan suasana yang hidup dan menggugah selera.
Ini memang bukan kali pertama Lin Hua berjalan di jalanan ibukota yang selalu ramai, tetapi kali ini terasa istimewa karena ia berjalan bersama kedua kakaknya. Biasanya, ia hanya bisa melihat pemandangan ini dari dalam kereta kuda atau saat sedang berbelanja sendirian. Liu Han tiba-tiba menarik Lin Hua ke arah sebuah paviliun yang tampak mewah, di mana berbagai perhiasan untuk wanita dipajang dengan indah di atas meja.
"Ayo pilih yang kau mau, aku akan membelikannya untukmu," ujar Liu Han dengan nada lembut, membuat hati Lin Hua menghangat.
Lin Hua menoleh, matanya berbinar. "Benarkah?" tanyanya, tidak bisa menyembunyikan kegembiraannya.
Liu Han mengangguk sambil tersenyum. "Paman, keluarkan tusuk rambut terbaik yang kau miliki," ujarnya kepada pemilik paviliun dengan suara yang berwibawa.
Pemilik paviliun itu mengangguk dengan senyum lebar, matanya berbinar melihat potensi penjualan yang besar. "Baik, tuan muda," ujarnya dengan hormat, lalu dengan cekatan mengeluarkan beberapa tusuk rambut yang terlihat sangat cantik dan mewah, terbuat dari batu giok, perak, dan dihiasi dengan mutiara serta ukiran rumit.
Mata Lin Hua langsung tertuju pada sebuah tusuk rambut perak yang dihiasi dengan batu giok hijau berbentuk bunga plum. Ukirannya sangat halus dan detail, seolah bunga itu benar-benar hidup. "Wah, yang ini cantik sekali," gumamnya tanpa sadar, terpesona oleh keindahannya.
Liu Han tersenyum melihat adiknya begitu tertarik. "Kau suka yang itu? Kalau begitu, kita ambil saja," ujarnya sambil menunjuk tusuk rambut tersebut kepada pemilik paviliun.
Namun, sebelum pemilik paviliun sempat mengambilnya, Liu Yuan, kakak Lin Hua yang satunya, angkat bicara. "Tunggu dulu, Han. Coba lihat yang ini." Liu Yuan menunjuk sebuah tusuk rambut emas yang dihiasi dengan mutiara-mutiara kecil yang berkilauan. Di bagian tengahnya terdapat batu ruby merah yang memancarkan cahaya yang memukau. "Menurutku, yang ini lebih cocok untuk Lin Hua. Warna merahnya akan sangat serasi dengan kulitnya yang putih."
Lin Hua menatap kedua tusuk rambut itu bergantian, merasa bingung. Keduanya sama-sama indah, tetapi memiliki pesona yang berbeda. Tusuk rambut perak dengan giok hijau memberikan kesan elegan dan anggun, sementara tusuk rambut emas dengan ruby merah memancarkan kemewahan dan keanggunan.
"Aku tidak tahu harus memilih yang mana," ujar Lin Hua akhirnya, merasa kesulitan untuk memutuskan.
Liu Han tertawa kecil melihat kebingungan adiknya. "Kenapa tidak kita ambil keduanya saja? Satu untuk hari ini, satu lagi untuk lain waktu," usulnya dengan nada santai.
Liu Yuan mengangguk setuju. "Ide bagus. Dengan begitu, Lin Hua bisa memakainya sesuai dengan suasana hatinya."
Mata Lin Hua berbinar mendengar usulan kedua kakaknya. "Benarkah? Kalian tidak keberatan?" tanyanya dengan nada riang.
"Tentu saja tidak," jawab Liu Han sambil mengacak rambut Lin Hua dengan sayang. "Apapun untuk adik kesayangan kami."
Pemilik paviliun tersenyum lebar melihat transaksi yang menguntungkan di depan matanya. "Tuan muda memang sangat menyayangi nona muda. Kedua tusuk rambut ini memang yang terbaik di paviliun ini. Pilihan yang sangat tepat!" pujinya dengan nada menjilat.
Setelah kedua tusuk rambut itu dibungkus dengan rapi, Liu Han membayar kepada pemilik paviliun dengan beberapa keping perak. Mereka kemudian melanjutkan perjalanan mereka, dengan Lin Hua yang menggenggam erat kedua tusuk rambut barunya, merasa sangat bahagia dan bersyukur memiliki kedua kakak yang begitu menyayanginya.
"Ayo kita pergi ke kedai itu," ajak Liu Yuan tiba-tiba, menunjuk sebuah kedai teh yang tampak ramai dan populer di seberang jalan. Aroma teh yang harum dan asap makanan yang mengepul keluar dari pintu kedai, membuat perut Lin Hua berkeroncongan.
"Paman, aku mau ruang khusus," ujar Liu Yuan kepada penjaga kedai yang menyambut mereka di depan pintu. Nada bicaranya menunjukkan bahwa ia adalah pelanggan tetap di tempat itu.
"Baik, tuan muda," jawab penjaga kedai dengan hormat, lalu mengantarkan mereka ke lantai dua, di mana ruangan-ruangan VIP berada. Lantai dua didekorasi dengan indah, dengan lampion-lampion merah yang tergantung di langit-langit dan lukisan-lukisan kaligrafi yang menghiasi dinding.
Setelah Lin Hua dan kedua kakaknya memasuki kedai, beberapa anggota organisasi Lotus yang menjaga Liu Han dan Liu Yuan dalam bayangan ikut masuk dengan tenang. Mereka berpencar dan mengambil posisi strategis di sekitar ruangan, memastikan tidak ada orang yang berniat jahat pada tuan-tuan mereka.
Kini di hadapan Lin Hua dan kedua kakaknya sudah tersedia beberapa hidangan lezat yang menggugah selera. Ada udang goreng saus madu, daging sapi lada hitam, sayuran hijau dengan saus tiram, dan tentu saja, teh hangat yang harum. "Tumben Kakak menghabiskan banyak uang untukku," ujar Lin Hua sambil tersenyum, mengambil seekor udang goreng dan memasukkannya ke dalam mulutnya. Rasanya manis, gurih, dan renyah, membuat matanya terpejam sejenak menikmati kelezatannya.
"Aku memiliki sedikit tabungan, dan ingin membelikanmu sedikit hadiah," jawab Liu Han dengan nada lembut, matanya menatap Lin Hua dengan penuh kasih sayang.
"Kalian sudah sering memberikanku hadiah, simpan saja uang kalian untuk kalian sendiri," jawab Lin Hua, merasa sedikit tidak enak karena selalu menerima hadiah dari kedua kakaknya.
"Mengapa kini kau jadi perhitungan? Biasanya kau tidak protes saat kita memberikan hadiah," sahut Liu Yuan, sedikit kesal karena menurutnya, Lin Hua yang manja dan ceria kini sudah tidak ada. Ada sesuatu yang berubah pada diri adiknya, dan ia tidak tahu apa itu.
"Kakak, usia kalian sudah bisa untuk menikah, apakah kalian tidak ingin mendapatkan seorang kekasih dan menikah? Uang kalian bisa kalian simpan untuk pasangan kalian," jawab Lin Hua, menyuarakan kekhawatiran yang selama ini ia pendam.
Usia dua puluh dua tahun di dunia ini memang sudah waktunya bagi mereka untuk setidaknya mendapatkan seorang kekasih atau tunangan. Semakin dewasa mereka, maka semakin sulit untuk menikah, terutama bagi pria dari keluarga biasa seperti mereka.
"Menikah atau tidak nanti urusan kita pada akhirnya, setidaknya adikku tidak akan menderita," sahut Liu Han dengan nada serius, yang membuat Lin Hua terdiam. Kata-kata kakaknya itu menyiratkan begitu banyak hal yang tidak bisa ia ungkapkan dengan kata-kata.
Mereka berdua ternyata selalu mengkhawatirkannya, dan dia juga mengkhawatirkan masa depan kedua kakaknya. Meski kehidupan mereka kini sudah sangat membaik, bukan berarti mereka akan selalu baik-baik saja, apalagi kini mereka berada di ibukota, di mana intrik dan persaingan antar keluarga bangsawan sangatlah kuat. Dan yang Lin Hua tahu, ibu mereka berhasil masuk ke kediaman Adipati sebagai selir, sebuah fakta yang selalu membuatnya merasa tidak nyaman.
Ibu yang telah berselingkuh dari Ayah mereka, dan ibu sialan yang selalu menjadi umpatan Lin Hua karena melahirkannya dari darah pria lain. Sedikit rasa sesak menghantam dadanya saat mengingat dia bukan putri kandung ayahnya, tapi Ayah dan kedua kakaknya sangat menyayanginya, seolah ia adalah putri kandung mereka sendiri. Rasa syukur dan cinta yang besar bercampur aduk dengan rasa bersalah dan tidak pantas, menciptakan badai emosi di dalam hatinya.