Amira adalah seorang barista yang bekerja di sebuah kafe biasa, namun bukan bar sepenuhnya. Aroma kopi yang pekat dan tajamnya alkohol sudah menjadi santapan untuk penciumannya setiap hari. Ia mulai terbiasa dengan dentingan gelas, desis mesin espresso, serta hiruk pikuk obrolan yang kadang bercampur tawa, kadang pula keluh kesah. Namun, di balik semua itu, ada satu hal yang tidak pernah benar-benar bisa ia biasakan—bayangan tentang Satria.
Satria tidak pernah menginginkan wanita yang dicintainya itu bekerja di tempat seperti ini. Baginya, Amira terlalu berharga untuk tenggelam dalam dunia yang bercampur samar antara cahaya dan gelap. Dan yang lebih menyesakkan, Satria juga tidak pernah bisa menerima kenyataan bahwa Amira akhirnya menikah dengan pria lain—pria yang kebetulan adalah kakaknya sendiri.
Takdir, kata orang.
Tapi bagi Satria, kata itu terdengar seperti kutukan yang kejam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Essa Amalia Khairina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 26
Di kamar, Hilda menepuk-nepuk meja riasnya dengan tangan gemas, wajahnya memerah oleh kemarahan yang membuncah. Nafasnya cepat dan tersengal, seolah setiap kata yang ia tahan sejak tadi ingin meledak sekaligus.
Sementara itu, Hendra duduk di tepi ranjang, tubuhnya membungkuk sedikit, tangan disatukan di pangkuan. Matanya menatap lantai, ekspresinya tampak lelah namun penuh beban pikiran. Diamnya berbeda dari kemarahan Hilda, Hendra lebih banyak memendam, merenung, dan mencoba menenangkan diri.
"Papa angkat Satria jadi anak kita, oke. Mama terima!" Angguk Hilda setelah beberapa saat mereka saling terdiam. "Mama juga awalnya keberatan kalau Amira tinggal bersama kita, Papa pikir rumah kita ini panti asuhan?!" Matanya menatap Hendra dari cermin. "Dan yang paling Mama gak terima sampai sekarang adalah ... menerima Amira sebagai anak menantu kita, Pa! Gimana masa depan Angga?!"
"Ma—"
"Papa lihat sendiri ekspresi Satria tadi?" Potong Hilda cepat. "Dia kaget gak percaya kalau Kakaknya sendiri mendapatkan wanita seperti Amira! Angga itu tampan, CEO perusahaan, pintar, mapan, mana mungkin dia bisa mendapatkan istri seperti Amira. Pernikahan Angga pun bahkan..." Napasnya tertahan. Ia menggeleng dan tertawa pahit.
"Amira itu anak Renaldi, Ma."
"Cukup, Pa... bawa-bawa nama Renaldi." Tanggap Hilda. "Mungkin saja Amira itu pura-pura jadi anak Renaldi supaya bisa masuk ke dalam keluarga kita!"
"Mama ini bicara apa, si? Jelas-jelas Amira itu anak Renaldi. Anak sahabat Papa, Ma! Anak dari seseorang yang sangat berjasa untuk keluarga kita."
Hilda berhenti sejenak, tubuhnya menegang menatap ke arah Hendra dengan mata yang masih menyala oleh kemarahan. Napasnya berat, dadanya naik turun dengan ritme cepat, menandakan ia belum bisa sepenuhnya menenangkan diri.
"Aku tahu ini gak mudah bagi Mama, apalagi Angga." Lanjut Hendra. "Tapi perlu Mama tahu kalau Amira … dia anak yang tulus, ikhlas, baik, dan nggak pernah berniat menyakiti siapa pun. Dia hanya ingin yang terbaik untuk pernikahannya bersama Angga.”
Hilda menunduk, napasnya tersengal, masih menahan kemarahan yang membara. Kata-kata Hendra mulai meresap sedikit demi sedikit, meski terjadi pergolakan batin—semua itu sama sekali enggan bisa ia terima.
Hendra menatap lurus istrinya. “Kita nggak bisa menilai orang hanya dari apa yang kita kira atau duga. Papa percaya, Amira... tidak akan pernah mengecewakan kita. Dia sama seperti Ayahnya."
Hening sejenak. Hanya terdengar suara napas mereka yang berat dan detak jam dinding yang bergema pelan di kamar.
“Mama lihat sendiri, kan? Angga sudah menunjukkan perubahan sikapnya yang sekarang,” Lanjut Hendra, suaranya lembut namun mantap. “Ini semua tentang waktu. Proses … butuh kesabaran, dan kita nggak bisa menilai semua dari satu momen.”
Hilda beranjak dari tempat duduknya, napasnya masih berat dan wajahnya memerah. “Oke…" Gumamnya pelan. Ia berbalik menatap lurus Hendra, suaminya. "Kita lihat saja, apakah Amira itu benar-benar sebaik yang Papa bilang, atau hanya tampak begitu di permukaan.”
Hendra menatap mata Hilda dengan penuh kesabaran, lalu perlahan menggeleng. “Papa tahu Mama masih ragu,” Ucapnya lembut, suaranya tenang namun tegas. “Tapi jangan biarkan keraguan itu menutup mata Mama dari kebenaran yang ada di depan kita.”
Hilda menahan pandangannya sejenak, napasnya tersengal, seolah ingin membalas namun kata-kata tak kunjung keluar.
Tanpa sepatah kata pun, Hilda berbalik dan melangkah pergi dari kamar, meninggalkan Hendra yang masih duduk di tepi ranjang dengan pandangan kosong.
Langkahnya cepat, tegas, seolah ingin menyingkirkan sisa emosi yang membara. Hendra menarik napas panjang, menatap pintu yang baru saja ditutup, merasa campur aduk antara khawatir, kesal, dan lega karena setidaknya kata-katanya telah terdengar.
Kamar itu kembali sunyi, hanya suara detak jam dan napas Hendra yang terdengar, meninggalkan ruang hampa yang berat, di mana ketegangan dan perasaan yang belum terselesaikan masih menggantung di udara.
****