NovelToon NovelToon
Ini Cinta 365 Hari Atau Cinta 669 Masehi?

Ini Cinta 365 Hari Atau Cinta 669 Masehi?

Status: sedang berlangsung
Genre:Transmigrasi ke Dalam Novel / Time Travel / Reinkarnasi / Fantasi Wanita / Peramal / Cinta Istana/Kuno
Popularitas:5.9k
Nilai: 5
Nama Author: Naniksay Nay

Kerajaan Galuh, sebuah nama yang terukir dalam sejarah tanah Sunda. Namun, pernahkah kita menyangka bahwa di balik catatan sejarah yang rapi, ada sebuah kisah cinta yang terputus? Sebuah takdir yang menyatukan seorang pangeran dengan gadis desa, sebuah janji yang terikat oleh waktu dan takdir.

Kisah tragis itu membayangi kehidupan masa kini Nayla, seorang wanita yang baru saja mengalami pengkhianatan pahit. Di tengah luka hati, ia menemukan sebuah kalung zamrud kuno peninggalan neneknya, yang membawanya masuk ke dalam mimpi aneh, menjadi Puspa, sang gadis desa yang dicintai oleh Pangeran Wirabuana Jantaka. Seiring kepingan ingatan masa lalu yang terungkap, Nayla mulai mencari jawaban.

Akankah di masa depan cinta itu menemukan jalannya kembali? Atau akankah kisah tragis yang terukir di tahun 669 Masehi itu terulang, memisahkan mereka sekali lagi?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Naniksay Nay, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 31 - Tak Ada Mimpi yang Datang

Jam delapan malam.

Lampu-lampu kafe sudah dinyalakan, menyorot lembut meja-meja kayu dan rak berisi toples-toples snack. Di sana, Nayla sedang menata ulang dan mengisi toples yang kosong.

“Nay!”

Rendi datang sambil menenteng kantong plastik besar.

Nayla menoleh. “Eh, Ren… apaan tuh? Gaya banget, bawa oleh-oleh segala.”

“Mangga. Dari Magelang,” kata Rendi, meletakkan plastik di meja. “Kiriman dari ortunya Wisnu.”

Nayla mengangkat alis, pura-pura cemberut. “Kirain kamu beli, baik hati traktir gitu.”

“Yah, kalau kamu mau bayar juga nggak apa-apa,” jawab Rendi santai.

“Tega banget yaaa…” Nayla memukul lengannya pelan, lalu terkekeh. “Ya udah, makasih. Kirim salam buat Wisnu juga, ya.”

“Nanti ku sampaikan,” jawab Rendi sambil menatap sekeliling. “Eh, kafenya makin rame, Nay. Bagus nih. Masih sendirian ngelola?”

“Iya, hari ini dibantu dua anak magang, siang doang"

Nayla mengambil satu mangga dari plastik itu, menimbang-nimbang di tangannya. “Wah, matangnya pas banget. Nih kalau dibikin jus, bisa manis alami.”

“Ya udah, bikinin satu, lumayan...,” canda Rendi.

Nayla memutar bola mata. “Dasar, kamu tuh yaa...gayanya kayak pelanggan tetap.”

“Kan pelanggan tetap… tetap nggak pernah bayar,” jawab Rendi cepat.

Mereka tertawa bersamaan.

Beberapa pengunjung lain duduk di pojok, sibuk dengan laptop dan obrolan masing-masing. Kafe itu tak terlalu besar, tapi aroma kopi dan kayu manis dari bakery yang dipanggang membuatnya hangat.

Sambil menyiapkan jus, Nayla bertanya, “Eh, Wisnu nggak iku”

“Katanya mau video call sama keluarganya,” ujar Rendi. “Padahal feeling-ku sih, dia lebih pengin tidur cepat.”

Nayla menoleh sekilas, penasaran. “Tidur cepat? Capek banget ya?”

“Entahlah,” gumam Rendi, menatap ke luar jendela. “Belakangan dia kayak… mikirin sesuatu. Diamnya beda.”

Nayla terdiam sejenak, tangan masih menggenggam sendok panjang.

“Kadang orang yang kelihatan tenang itu justru yang paling capek nyimpen pikiran, Ren.”

Rendi menatap Nayla, sedikit heran. “Kamu ngomongnya kayak udah lama kenal Wisnu aja. Atau kamu juga ngalamin banyak pikiran tapi diem nggak cerita ke siapa-siapa?”

“Siapa tahu iya,” bisiknya Pelan, hampir tak terdengar oleh siapa pun.

Nayla membawa dua gelas jus mangga segar ke meja dekat jendela.

“Nih…” katanya sambil mendorong satu gelas ke arah Rendi.

“Dikosan makan mangga potong, di sini minum jus mangga. Lengkap sudah penderitaan ku malam ini.”

Nayla terkekeh,

Rendi meneguk sedikit. “Mantap Nay. Udah kayak warung tropis tematik nih nuansanya”

Nayla ikut duduk. “Atau mau sekalian aku bikinin mango sticky rice kayak di restoran Thailand itu?”

Rendi langsung mengangkat tangan. “Udah, Nay. Aku nanti mabok mangga. Masih setengah kardus lho..m. Tadi aja waktu motong di kos, udah berasa kayak kerja di pabrik sari buah.”

“Lagian kok bisa dibawain banyak banget sih?” Nayla menatap penasaran. “Punya kebun sendiri apa gimana?”

“Betul,” jawab Rendi cepat. “Bapaknya Wisnu itu petani paling sukses di desanya. Nah, kebun mangganya tuh salah satu andalannya.”

Nayla mengangguk pelan. “Oh gitu… pantes aja manis banget. Mangga masak pohon tuh punya aroma khas, beda sama yang mateng karena di simpen dulu.”

“Kamu kayak reviewer buah di YouTube aja,” seloroh Rendi.

Nayla tertawa kecil. “Refleks. Soalnya dari kecil lumayan suka mangga kan...kamu tahu lah..m.”

Rendi langsung menatap curiga. “Oh… jadi waktu kamu ngajak maling mangga di rumah Pak RT itu karena emang doyan?”

Nayla mendengus, pura-pura kesal. “Ah, waktu SD kan? Kayaknya itu iseng doang deh…”

Nada suaranya menggantung, seperti ingin menghindar.

“Iseng yang bikin aku dilempar buku sama kakek ku pas pulang, Nay,” kenang Rendi, menahan tawa.

“Soalnya mangga di rumah Pak RT itu kelihatannya segar-segar dan gede-gede banget kan,” bela Nayla sambil ikut tertawa.

Rendi mengangguk cepat. “Bener, Nay. Taunya asem banget! Mana waktu itu kita udah sombong bawa satu plastik penuh.”

Nayla menepuk meja, ngakak. “Waktu SMP baru tahu kalo itu mangga apel! Bukan harum manis kayak di kebun belakang rumahku dulu.”

Rendi tertawa ikut-ikutan. “Makanya, sampe sekarang aku kalau lihat mangga apel tuh trauma.”

“Penyesalan karena mangganya asem?” goda Nayla.

“Penyesalan karena ketauan trus dimarahin kakek habis-habisan, tepatnya.”

Mereka kembali tertawa.

Rendi menyeruput sisa jus mangganya, lalu menatap Nayla dengan nada penasaran.

“Btw, Nay… kamu akhir-akhir ini beneran nggak mimpi lagi? Apa jangan-jangan gara-gara kalungnya kita bawa, ya?”

Nayla menatap meja sebentar sebelum menjawab.

“Nah, aku juga mau ngomongin itu. Nggak mimpi detail kayak dulu sih… cuma sering mimpi singkat aja.”

“Singkat gimana maksudnya?” Rendi mengernyit.

“Kayak… disapa Wira sebentar. Terus lihat Puspa bahagia, kadang Kencana nangis nyesel. Tapi cuma potongan-potongan doang. Sekian detik, terus hilang.”

“Ha? Jadi nggak mimpi, dong?” Rendi menatapnya lebih serius.

Nayla tersenyum, menatap ke arah gelas jus yang mulai berembun.

“Dibilang bukan mimpi, tapi aku jelas tidur. Tapi kalau dibilang mimpi… rasanya kayak cuma merem, terus kebayang aja. Habis itu kebangun, terus bisa tidur nyenyak lagi.”

Rendi terdiam sejenak. “Kayak... tayangan ulang yang cuma muncul sepenggal, ya?”

Nayla mengangguk pelan. “Iya. Tapi cuma bagian yang paling nyeseknya aja yang masih keingat.”

“Bagian nyeseknya gimana?” tanya Rendi pelan, masih menatap Nayla yang memutar sedotan di gelasnya.

Nayla menghela napas pendek.

“Wira itu… kesepian sampai akhir hayat. Maharesi yang kesepian.”

Rendi menautkan alis. “Lha, kalau nyapa kamu… Wira memangnya bilang apa?”

Nayla menunduk, pipinya sedikit memerah. “Ah, aku malu bilangnya.”

Rendi langsung mencondongkan badan, matanya berbinar usil.

“Apa sih? Jangan-jangan mesum, ya?”

“Enak aja!” Nayla mencubit lengannya pelan. “Nggak, cuma… dia kayak ngebelai rambutku sambil bilang—”

Rendi menunggu. “Bilang apa?”

Nayla menelan ludah, lalu menirukan suara lembut.

“Kamu makin cantik.”

Rendi terbahak keras sampai hampir tersedak.

“Astaga, Nay! Itu Wira apa cowok TikTok sih?”

Nayla menutup wajahnya menahan malu. Musik lembut dari speaker kafe terdengar samar.

"Eh, Ren… kamu sibuk? Mau bantuin sampai tutup nggak? Anak magang yang satu sore tadi izin sakit, jadi aku harus beresin rak sama catatan stok sendiri bertiga doang.”

Rendi melirik jam di dinding. “Tutup jam berapa emangnya?”

“Jam dua belas,” jawab Nayla sambil menghela napas. “Masih lama yaa.”

Rendi mengangkat bahu santai. “Nggak apa-apa, tugas udah kelar tadi siang. Besok kuliah juga baru jam satu. Hitung-hitung olahraga malam bantu kamu mindahin galon.”

Nayla tertawa kecil. “Olahraga apa, ngelap meja doang”

“Eh, jangan salah, Nay. Ngelap meja di kafe tuh kayak meditasi. Ada ritmenya,” balas Rendi pura-pura serius, membuat Nayla makin tertawa.

“Ya udah, kalo kamu nggak keberatan, bantuin aja. Tapi jangan ngelantur, ya.”

“Siap, Bos Nayla,” kata Rendi sambil memberi hormat.

...Tak Ada Mimpi yang Datang...

Sementara itu, di kos, Wisnu sudah mencoba tidur sejak pukul sembilan malam.

Udara kamar terasa lembap, aroma mangga yang menempel di udara belum juga hilang.

Ia memejamkan mata cukup lama, menunggu dunia mimpinya datang.

Namun tidak ada yang datang.

Tidak ada sungai, tidak ada Puspa, tidak ada bunga tanjung yang berguguran

Hanya gelap. Hanya sunyi.

Ia terbangun pelan, menatap jam di dinding.

Jarumnya menunjuk pukul sebelas lewat sepuluh.

Ia menghela napas panjang, duduk bersandar di kepala kasur.

Dari sela pintu yang terbuka sedikit, terlihat kamar Rendi masih gelap, kosong.

“Belum pulang…” gumamnya lirih.

Wisnu menatap langit-langit.

Ada perasaan aneh yang menggelayut,

semacam kecewa yang tak bisa dijelaskan.

“Kenapa… nggak muncul sama sekali?” bisiknya.

Wisnu berjalan pelan ke dapur kecil di pojok kos.

Ia membuka kulkas, mengambil air mineral dingin, lalu duduk di kursi plastik yang bunyinya berderit halus.

Dapur sederhana itu jarang mereka pakai, paling untuk masak air, rebus telur, atau bikin mi instan tengah malam.

Ia meneguk air pelan, menatap kosong ke meja kecil yang catnya mulai terkelupas.

Sunyi.

Hanya suara detak jam dari kamar terdengar samar.

Cukup lama ia diam begitu saja.

Sampai akhirnya, suara motor berhenti di depan kos.

Beberapa detik kemudian, Rendi muncul sambil membuka helm.

“Lho, belum tidur, Wis? Ngerjain apa?” tanyanya sambil menaruh kunci motor di meja.

“Udah tidur tadi. Ini kebangun aja,” jawab Wisnu pelan. “Haus.”

Rendi menghampiri, masih dengan jaket yang setengah terbuka.

“Kalau lapar, nih… toast.” Ia mengangkat sebuah kotak kertas berlogo kafe Nayla.

“Dari Nayla?” Wisnu menatap sekilas.

“Yoi.”

Wisnu terkekeh kecil. “Kita malah kayak barter makanan. Berangkat bawa mangga, pulang bawa toast.”

Rendi nyengir. “Eh, eh… ini bayaran ngelap meja, tau.”

“Ya udah, makan aja.”

Rendi duduk di seberangnya. “Nah, karena aku udah makan dua, ini bawain kamu satu.” Ia mendorong kotak itu ke arah Wisnu.

Wisnu membuka kotaknya pelan. Aroma roti panggang bercampur madu langsung menyebar.

Hangat. Manis.

“Hoaaam… ya udah, aku tidur dulu ya,” gumam Rendi sambil meregangkan badan.

Tapi arah jalannya bukan ke kamarnya.

“Ren… salah kamar,” ujCucian belum sempat dilipet. Jadi nebeng tidur sini aja, ya? Aku kebagian sedikit kasur nggak apa-apa deh.”

Tanpa menunggu jawaban, Rendi sudah rebah di pinggir kasur Wisnu, masih dengan posisi miring dan helm motor yang belum sempat disimpan.

“Wah… nggak jelas nih,” keluh Wisnu setengah tertawa. Ia mematikan lampu dapur, menutup pintu kamar, lalu ikut berbaring.

“Udah, ayo tidur aja,” kata Rendi dengan suara berat karena ngantuk. “Mumpung nggak banyak deadline. Badan kita perlu istirahat banyak.”

Wisnu mengangguk pelan. Benar juga, minggu ini pembimbing mereka sedang menghadiri seminar internasional, jadi tak ada tenggat yang mencekik.

“Sanaan...,” ujar Wisnu pelan sambil mendorong paha Rendi.

Rendi hanya menggeser sedikit, setengah sadar, tidak menjawab.

Beberapa detik kemudian, dengkuran halus terdengar dari sisi kanan kasur.

Wisnu menatap langit-langit kamar yang remang.

“Hmm…” desahnya pelan. “Kalau aku bisa meminta… tolong beri tahu aku cerita yang sebenarnya. Supaya aku tidak terus menebak-nebak.”

Tangannya bergerak perlahan, mengambil kalung zamrud milik Nayla.

“Dan kalau memang karena kamu…” Wisnu menatapnya lekat-lekat, “maka mungkin… kita berdua bisa bermimpi karena kamu masih ada di dekat kami.”

Ia menoleh ke arah Rendi yang sudah tertidur pulas, lalu meletakkan kalung itu di dekat bantal, di antara mereka berdua.

1
SENJA
wakaaka pasti bingunglah kamu ga masuk dalam mimpi 🤣
SENJA
naaah ga jelas kan ini cowok! usir nay! tuman nih orang ga tau malu! 🥴😤
SENJA
ck ... jangan lemah hati oiii ga bener itu orang 😤
SENJA
ahhh payah lu cemen! balas dulu penderitaan puspa! ratain kadipaten jagatpati 😳
Naniksay Nay: bentar kak..... nanti aja rata2innya🤣.....
total 1 replies
SENJA
terserah apa citamu tapi balas dulu kematian puspa! jagatpati harus mati jugalah
SENJA
hukum semua harusnya yang ada di kadipaten itu wira 😳
SENJA
jadi tempat puspa dibakar itu ibu kota kadipaten atau ibu kota galuh? lupa aku 😂 wilayah jagatpati ya?
SENJA
kamu harus tindak tegas itu jagatpati, ga beres ini 😤
SENJA
wilayah yang suram 🥱 kalau di jepang di jaman feodal juga mungkin ini wilayah Shinbata Katsuie yang kaku dan kejam 🥴 beda dengan wilayah Kinoshita Tokichiro yang bebas lepas apa adanya 😂
SENJA
naaah iya harus tegas! mau wilayah jagatpati kek kalau ga beres yah tegur 😌🥱
SENJA
sekarang jagatpati lagi keblinger 😂😂😂
SENJA
di wilayah sunda mungkin gelarnya rakeyan jadinya, kalau di jateng jatim dan wilayah lain rakai atau rakryan yah 🤔
Naniksay Nay: Tergantung pada literatur yang dibaca kak
Sejauh yang saya tahu, “Rakryan” dan “Rakeyan” merupakan dua bentuk ejaan yang sama-sama merujuk pada gelar kebangsawanan di Kerajaan Sunda.
Namun, “Rakryan” lebih sering digunakan dalam sumber-sumber historis, sedangkan “Rakeyan” kadang muncul dalam konteks yang lebih umum atau sebagai bagian dari nama tokoh tertentu.
Gelar tersebut digunakan di kerajaan-kerajaan Jawa dan Sunda pada masa lampau
total 1 replies
Naniksay Nay
🤭diawasi pun licin kaya belut kak🙏
SENJA
naaah ini harus extra pengawasannya 🤭😂
SENJA
daaaan ada kencana si ular beludak 😌
SENJA
kaya reels gitu yah di otak langsung 🤭
SENJA
kaya kamu nay 😁
Yoseph Kun
balik lah guys. puspa mau dibakar... dia wanita. bukan singkong 🤣🤣🤣
Naniksay Nay: 🤭bentar bara api nya belom besar
total 1 replies
Yoseph Kun
di ajak ketemu puspa beneran. malah pilih ketemu puspa di mimpi. wisnu wisnu
SENJA
sama... nayla juga liat 🥱
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!