NovelToon NovelToon
Santri Kesayangan Gus Zizan

Santri Kesayangan Gus Zizan

Status: sedang berlangsung
Genre:Diam-Diam Cinta / Cinta pada Pandangan Pertama / Mengubah Takdir / Keluarga / Romansa
Popularitas:5.4k
Nilai: 5
Nama Author: Julia And'Marian

Di sebuah pesantren besar yang terkenal dengan ketegasan sekaligus karismanya, Gus Zizan dikenal sebagai sosok ustadz muda yang tegas, berwibawa, namun diam-diam punya hati yang lembut. Kehidupannya yang teratur mulai berubah ketika Dilara, seorang santri baru dengan masa lalu kelam, datang untuk menuntut ilmu.

Dilara datang bukan hanya untuk belajar agama, tapi juga untuk mencari tempat aman setelah keluarganya hancur karena sebuah fitnah. Sifatnya yang pendiam dan penuh luka membuatnya jarang berbaur, namun keuletan dan kecerdasannya menarik perhatian Gus Zizan.

Awalnya, perhatian itu murni karena Dilara sering terlibat masalah—mulai dari disalahpahami teman, dituduh melanggar aturan, hingga menjadi korban gosip di pesantren. Namun, seiring waktu, Gus Zizan mulai melihat sisi lain dari santri itu, ketulusan, kepintaran, dan keteguhan hati yang menginspirasi banyak orang.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Julia And'Marian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bab 5

Malam itu, udara Pondok Nurul Falah terasa dingin meski jendela-jendela sudah tertutup rapat. Angin malam berhembus membawa aroma tanah basah, seolah ikut mengintip setiap rahasia yang terpendam di balik tembok pondok. Suara jangkrik dari kebun belakang terdengar samar, diselingi sesekali lolongan anjing dari kejauhan.

Di dalam kamar asrama putri, lampu temaram membuat bayangan-bayangan panjang di dinding. Dilara duduk di sudut ranjang, memeluk lutut, tatapannya kosong ke arah lantai. Mita dan Dewi berbaring di kasur masing-masing, pura-pura membaca kitab, padahal telinga mereka mencuri setiap desahan napas Dilara. Salsa duduk di kursinya sambil mengayunkan kaki, sesekali melirik ke arah sahabatnya itu.

“Lara… kamu mau cerita?” tanya Salsa pelan.

Dilara menggeleng, meski hatinya sebenarnya penuh. “Nggak… aku cuma… takut.”

“Takut sama apa?” Dewi ikut bertanya.

Hening sebentar. Dilara menelan ludah. “Takut kalau yang Kyai putuskan nanti… nggak berpihak sama aku. Aku baru saja mulai merasa pondok ini kayak rumah. Tapi kalau gosip ini makin besar, aku bisa saja dikeluarkan.”

Salsa berdiri, duduk di samping Dilara, lalu menepuk pelan bahunya. “Kamu nggak sendirian. Kita bertiga bakal ada buat kamu. Lagipula, kalau sampai pondok ambil keputusan nggak adil, aku sendiri yang bakal maju ngomong sama Kyai.”

Dewi menimpali, “Iya, aku juga. Nggak adil banget kalau cuma karena gosip, orang dihukum.”

Ucapan itu menghangatkan hati Dilara, tapi juga membuat hatinya semakin berat. Ia tahu, urusan ini bukan sekadar gosip biasa. Ada yang sengaja mendorong semuanya supaya ia jatuh. Dan ia sangat yakin siapa orang itu.

Sementara itu, di kamar berbeda, Wulan sedang duduk di meja belajarnya, menulis sesuatu di buku kecil. Di depan cermin, wajahnya tampak puas. Ia mengulang-ulang kata yang sama dalam pikirannya: “Kalau Kyai sudah ikut bicara, pertunjukan baru saja dimulai.”

Namun, di sela senyumnya, ada bayangan gelap. Wulan tak sekadar ingin Dilara dipermalukan—ia ingin Dilara benar-benar pergi. Dan untuk itu, gosip saja tidak cukup. Ia butuh sesuatu yang terlihat nyata, bukti yang membuat semua orang percaya tanpa banyak tanya.

Keesokan paginya, suasana pondok benar-benar terasa berbeda. Santri-santri berjalan lebih cepat, seolah ada jadwal yang tak boleh mereka lewatkan. Desas-desus tentang “pembicaraan Kyai dengan Gus Zizan” sudah menjadi topik utama. Bahkan santri madrasah dasar ikut berbisik-bisik di halaman belakang surau.

Di aula putri, Ustadzah Siti terlihat sibuk mengatur jadwal piket. Saat Dilara lewat untuk menyapu, beliau menghentikan langkahnya.

“Lara,” panggilnya lembut.

Dilara menoleh, jantungnya sedikit berdegup. “Iya, Ustadzah?”

“Kalau nanti ada yang bertanya atau mengusik kamu, cukup jawab seperlunya. Jangan terpancing emosi. Kyai itu bijak, beliau nggak akan asal percaya omongan orang.”

Dilara mengangguk, meski dalam hati ia belum sepenuhnya yakin.

Menjelang sore, suara bel tanda kegiatan belajar selesai terdengar. Semua santri berkumpul di aula besar. Ummi Latifah sudah berdiri di depan, sementara di kursi tamu di sebelahnya, Kyai Zainal duduk dengan jubah putihnya.

Suasana hening.

“Anak-anakku,” suara Kyai Zainal terdengar dalam, mengisi seluruh ruangan, “beberapa hari ini saya mendengar banyak kabar yang tidak baik. Tentang seorang santri yang katanya melanggar aturan. Saya ingin meluruskan satu hal: kita tidak boleh menuduh tanpa bukti.”

Beberapa pasang mata melirik ke arah Dilara. Ia bisa merasakan tatapan itu menusuk punggungnya.

“Jika ada yang melihat, dengar, atau mengalami sendiri, bicarakan pada pengurus, bukan sebarkan ke semua orang. Gosip itu seperti api, membakar bukan hanya orang yang jadi sasaran, tapi juga hati orang yang menyebarkannya.”

Wulan menunduk dalam-dalam, tapi dalam hati ia merasa aman—karena ia belum pernah mengaku menyebar.

Kyai melanjutkan, “Saya sudah berbicara dengan Gus Zizan, dan beliau menjelaskan semuanya. Namun, saya juga ingin dengar langsung dari santri yang dimaksud…”

Hening. Semua mata beralih ke Dilara.

Salsa di sebelahnya berbisik, “Tenang, kamu bisa.”

Dilara berdiri perlahan. Jantungnya berdetak kencang. “Kyai… saya tidak pernah keluar pondok tanpa izin. Saya tidak pernah melakukan hal yang diceritakan orang. Saya…” suaranya bergetar, “…saya cuma ingin belajar di sini, tidak ingin mencoreng nama baik pondok.”

Kyai menatapnya lama, lalu mengangguk. “Baik. Saya percaya, kebenaran akan terbuka pada waktunya. Dan bagi yang menyebar kabar tanpa dasar, ingatlah, Allah Maha Melihat.”

Sorot mata Kyai itu membuat Wulan untuk pertama kalinya merasa tidak nyaman.

Namun, ketika pertemuan usai, ia tersenyum tipis di sudut bibir. Karena malam nanti, rencananya akan berjalan ke tahap berikutnya—sesuatu yang akan membuat semua orang, termasuk Kyai, tidak punya pilihan selain mempercayai gosip itu.

Malam mulai turun. Di asrama putri, semua terlihat normal. Tapi di luar pagar samping pondok, seseorang—yang wajahnya tertutup kerudung lebar—menyelinap sambil membawa sesuatu di tangannya.

Dan tanpa disadari Dilara, “badai” yang Ustadzah Siti sebutkan itu… baru saja mulai benar-benar menggulung.

*

Malam itu, Pondok Nurul Falah seperti terbungkus dalam selimut gelap yang lebih pekat dari biasanya. Lampu-lampu di lorong asrama berkelip pelan, sesekali mati hidup seolah hendak padam. Udara malam begitu lembap, menusuk kulit. Di kejauhan, suara angin yang menyeret dedaunan kering terdengar seperti bisikan-bisikan rahasia yang tidak ingin ketahuan.

Gus Zizan pergi ke luar kota beberapa hari, karena harus menghadiri beberapa acara. Ia terpaksa pergi, walaupun hatinya tidak ingin, ia tetap ingin tinggal di sana. Namun, sang Abi meminta Gus Zizan yang pergi.

Di luar pagar samping pondok—tempat yang jarang dilewati santri karena gelap dan tertutup semak—sesosok perempuan berkerudung lebar berjalan cepat. Wajahnya sulit dikenali, apalagi sebagian tertutup masker kain. Di tangannya, ia menggenggam sebuah plastik hitam. Di dalamnya, ada sesuatu yang bergerak pelan—atau mungkin hanya bayangan plastik yang bergoyang karena langkahnya.

Perempuan itu berhenti tepat di balik gudang kecil pondok yang jarang dibuka. Ia menoleh ke kiri dan kanan, memastikan tak ada yang melihat, lalu mengeluarkan isinya: sepotong kain panjang, seperti selendang, dengan motif bunga merah muda. Di ujung kain itu, ada noda lumpur kering—dan noda lain yang warnanya jauh lebih gelap, nyaris hitam.

Ia tersenyum miring. “Kalau ini ditemukan… tidak ada lagi yang bisa membela kamu, Dilara.”

Dengan hati-hati, ia menyelipkan kain itu ke celah pintu gudang, tepat di dekat tumpukan kardus bekas logistik. Letaknya strategis—tidak langsung terlihat, tapi pasti akan ditemukan oleh pengurus yang sedang bersih-bersih. Dan saat ditemukan, semua orang akan mengira kain itu milik Dilara… karena memang benar, itu adalah milik Dilara, yang entah bagaimana sebelumnya berhasil diambilnya.

Di dalam kamar asrama, Dilara sudah berbaring, tapi matanya belum bisa terpejam. Ia memandangi atap, mendengarkan dengus napas teratur Salsa, Mita, dan Dewi yang sudah tertidur. Hatinya gelisah tanpa sebab jelas, seakan ada yang bergerak di balik dinding pondok ini.

Ia teringat kata-kata Kyai siang tadi—percaya bahwa kebenaran akan terbuka pada waktunya. Tapi bagaimana jika kebenaran itu tak pernah muncul? Bagaimana jika fitnah justru yang dianggap kebenaran?

Dilara memejamkan mata, mencoba mengusir pikiran itu. Namun di sudut pikirannya, bayangan Wulan selalu muncul, dengan senyum tipis dan mata yang menatapnya seperti pemangsa yang sabar menunggu mangsanya lemah.

Subuh berikutnya, udara pondok terasa segar tapi penuh ketegangan. Selepas shalat berjamaah, Ustadzah pengurus logistik putri mengumumkan bahwa sore ini semua santri putri akan mendapat giliran membersihkan gudang kecil di belakang aula.

Salsa yang duduk di samping Dilara mengeluh pelan, “Aduh, itu gudang banyak tikusnya. Males banget.”

Dilara mengangguk tanpa minat. Ia tidak tahu, pengumuman itu sebenarnya akan menjadi awal dari badai yang sesungguhnya.

Sore tiba. Matahari condong ke barat, melemparkan bayangan panjang di halaman pondok. Gudang kecil di belakang aula dibuka untuk pertama kalinya setelah berbulan-bulan. Bau lembap bercampur debu langsung menyeruak keluar.

Para santri mulai mengeluarkan kardus-kardus lama, karung beras kosong, dan peralatan dapur yang sudah berkarat. Dilara ikut mengangkat tumpukan kardus bersama Dewi.

“Lara, sini deh, kita geser yang di sudut itu,” ujar Dewi.

Dilara mengangguk dan membantu menarik tumpukan barang di dekat pintu. Tapi saat salah satu kardus diangkat, sesuatu jatuh tergelincir dan tergeletak di lantai—sehelai kain panjang bermotif bunga merah muda, dengan noda lumpur dan noda gelap yang sudah mengering.

Hening sejenak.

Dewi memandangnya dengan alis terangkat. “Eh… ini kayaknya kain kamu deh, Lara. Bukannya kamu punya yang kayak gini?”

Sebelum Dilara sempat menjawab, salah satu santri lain yang ikut bersih-bersih sudah berseru keras, “Ustadzah! Ada yang aneh di sini!”

Beberapa detik kemudian, Ustadzah pengurus logistik mendekat. Ia memungut kain itu, memeriksanya, lalu menatap Dilara. “Ini… punyamu, Lara?”

Semua mata langsung beralih ke arah Dilara. Bisik-bisik mulai terdengar di antara santri yang lain.

“Aku… iya, itu punya aku. Tapi—” suara Dilara tercekat. “Tapi aku nggak pernah taruh di sini. Aku bahkan nggak tahu kain itu ada di gudang.”

Wulan, yang ikut bersih-bersih di sisi lain gudang, menoleh dengan ekspresi pura-pura kaget. “Loh, Lara… bukannya kain kayak gini biasanya dipakai buat keluar pondok ya? Aku pernah lihat kamu pakai pas ambil air di sumur belakang.”

Bisik-bisik makin ramai. Beberapa santri mulai saling melirik.

Ustadzah menghela napas. “Baik. Kain ini saya amankan dulu. Nanti malam kita bicarakan dengan Ummi Latifah dan Kyai.”

Dilara ingin membantah, ingin berteriak bahwa ini jebakan. Tapi lidahnya kelu, apalagi tatapan semua orang padanya seperti sudah menghakimi.

Sementara itu, Wulan menunduk dalam-dalam… untuk menyembunyikan senyum kemenangannya.

Malam nanti, seluruh pondok akan membicarakan kain itu. Dan saat itu terjadi, gosip yang tadinya cuma bisikan… akan menjadi “bukti”.

1
Sahabat Sejati
/Kiss//Kiss/
Sahabat Sejati
/Drool//Drool/
Lia se
bagusss
Dewi Anggraeni
sangat bagus
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!